Perjuangan si Merah Jambu.

12 4 0
                                    

Dijuluki sebagai hari apa hari ini? Bahagia? Tidak..tidak. hari ini hari paling menjengkelkan. Aku harus merasakan malu di depan rekan-rekan kerjaku di hari senin pagi. Rehan, si surat merah jambu. Lagi-lagi karena ulahnya yang berani melamarku di kantor membuatku hanya bisa terus tertunduk, menyembunyikan wajah karena teman-temanku terus menyoraki ku.

Aku tersenyum kikuk saat kejadian tadi. Rehan duduk berjongkok sambil memegang sebuah cincin, cincin yang sama saat malam ia datang melamarku di rumah. Puluhan kata yang terangkai menjadi kalimat bersajak ia lontarkan, menceritakan awal ia bisa menaruh hati padaku.

Katanya sejak SMA, ketika tidak sengaja aku membantunya mengobati lukanya saat cedera bermain bola. Ohh astaga, saat SMA aku adalah anggota PMI di sekolah, wajar jika aku membantunya. Dan jika semua orang yang aku obati luka cederanya bisa sebaper Rehan, mungkin bukan hanya dia yang menyatakan cinta padaku, tapi banyak!

Tidak hanya sampai di situ, ia juga mengeluarkan banyak janji manis yang membuat rekan kerjaku bersiul-siul, yang perempuan katanya merasa baper. Setelah itu, ia meminta jawaban. Ingin ia memasangkan cincin itu di jari manis kananku, aku menolak tapi dengan cara halus. Aku bilang, belum ada jawaban, mungkin sebentar siang, sore, besok atau mungkin tidak akan pernah ada jawaban atas lamaran ini.

Yang lain bersorak, memintaku untuk menjawab saat itu juga. Andaikan aku tidak memikirkan perasaan Rehan, mungkin aku akan menolak saat itu juga, tapi aku masih punya hati dan tahu kapan waktu yang tepat untuk menolak.

Dan sekarang, aku harus menerima cacian juga sindiran dari teman-teman kerjaku, yang katanya aku sok cantik, sok jual mahal sampai seenaknya menolak Rehan.

"Kamu tuh harusnya senang, tahu. ternyata Rehan bisa romantis juga," puji Yani memperlihatkan wajah kagumnya. Aku hanya berdecak kesal.

"Bener tuh. Gita, kamu tuh beruntung, dua cowok ganteng deketin kamu, dan kamu malah nggak milih satupun?" giliran Novi yang berceloteh.

"Tuh si Galang, dia ganteng dari SD, trus pintar dan sekarang seorang polisi, masih ditolak juga sama Gita, gila nggak sih?"

"Kamu kenal sama Galang si polisi yang selalu antar jemput Gita itu?'

"Teman SD, kenal aja nggak akrap banget,"

"Git, kalau kamu nggak mau, Galang dikasih ke saya aja"

"Selera kamu yang kayak gimana sih?"

"Kantor tuh tempat kerja bukan ajang gosip," bentakku mendebrak meja tidak kuat mendengar celotehan mereka.

"Gita!" panggilan seseorang mengalihkan pandangan kami semua.

Rehan. Dia lagi. Mungkin dia ingin menagih jawabanku atas lamaran tadi pagi. Baiklah, akan kuselesaikan semuanya.

"Tuh udah ditagih," kata Yani.

Aku mengambil tas yang berada di atas meja kerjaku lalu melenggang keluar untuk menemui Rehan. Sekarang adalah waktunya makan siang dan mungkin sekarang adalah waktunya untuk melalukan sebuah penolakan, lagi.

Rehan membawaku menuju mobilnya yang terparkir di parkiran kantor.

"Kenapa ke sini? Cuman makan siang sekaligus ngasih jawaban, kan?"

"Di kantin banyak orang, lagipula kantin tidak cocok untuk sebuah penolakkan" jawabnya yang mungkin sudah tahu seperti apa jawabanku. Tapi, jika ia tahu, untuk apa mengikhlaskan waktunya hanya untuk sebuah penolakkan?

"Waktu makan siang hanya dua puluh menit,"

"Saya sudah izin di atasan, hari ini kita berdua libur," jawabnya sambil membukakan pintu dan mempersilahkan aku untuk masuk. Sebuah perlakuan manis, jika teman satu ruanganku melihat ini, mungkin mereka sudah teriak histeris karena merasa cemburu.

Selama perjalanan kami hanya terdiam. Rehan yang memang menyandang pria tidak banyak bicara hanya fokus menyetir, sedangkan aku sesekali memainkan ponsel.

Rehan membawaku di sebuah tempat yang aku tahu betul tempat ini. Daerah Pampang Raya yang sudah melewati sekret MJK. Aku terbengong sejenak, "Mau kemana?" tanyaku sarkatis.

Rehan diam, ia tidak menjawab. Mobilnya lalu berhenti dan ia turun dari mobil. Kulihat ia mendekati sungai yang ada di pinggir jalan Pampang Raya. Aku mengikutinya.

"Ngapain ke sini?"

"Sudah berapa tahun sejak kejadian kamu mengobati luka di kaki saya?" tanyanya tanpa melihat ke arahku.

Aku mendecih, ia mengungkit hal itu lagi.

"Hampir tujuh tahun, yha?'

"Karena kejadian itu, saya rela ngikutin kamu masuk Fakultas Ekonomi di universitas yang sama, niatnya agar ingin bisa lihat kamu terus," jeda. Aku tidak berkomentar, membiarkan dia supaya bercerita lebih banyak.

"Di semester lima, saya ingin pindah kuliah hanya karena saya tahu kamu pacaran dengan ka Adit"

Aku terkekeh sekaligus mendecih, "Bodoh!" caciku.

"Iya, bodoh memang. Apalagi ketika melihat kalian selalu berdiri di sini dan tertawa bersama, saya cemburu" ungkapnya.

Inilah yang membuatku malas ke tempat ini lagi, tempat dimana dulu Adit selalu menceritakan pengalaman aksinya di berbagai tempat, tempat Adit selalu membuatku tertawa dengan celotehan garingnya dan tempat inilah yang menjadi satu-satunya tempat kami melakukan kencan.

Padahal, di tempat ini tidak ada yang spesial. Sungainya tidak begitu bersih, terkadang banyak sampah yang tergenang, juga tidak ada bau alam yang begitu menyejukkan. Tapi, karena kisahku dengan Adit, tempat ini mampu mengalahkan indahnya panorama sunset.

Dan hingga sekarang, tidak ada yang berubah. Aromanya masih sama, baunya, kotornya, bisingnya dan segalanya. Kecuali, orang yang berdiri di sampingku.

Aku menatap lekat Rehan yang matanya menatap lurus ke arah Pampang Raya seberang, tepatnya pampang dua yang dipisahkan oleh sungai ini.

"Saya kos di dekat sini, jadi mau tidak mau setiap kali kalian berdiri di sini saya selalu melihat kalian."

"Gita," panggilnya dan aku jawab dengan berdehem.

"Adit sudah meninggalkanmu, terima lamaranku dan menikah denganku, saya mohon," akhirnya ia kembali ke topik utama.

Aku mendesah berat, mengungkapkan bahwa ia sudah lama menyukaiku belum bisa mengubah hatiku. Aku tetap tidak bisa menerima laki-laki ini sebagai kekasih apalagi sebagai suami. Hatiku masih terpaut dengan sosok Adit.

"Rehan, maaf. Tapi saya tetap belum bisa," jawabku lirih. Kali ini, aku sungguh tidak tega mengatakan kalimat penolakkan ini. Tapi mau bagaimana lagi, aku tidak mungkin menerimanya dan memaksa perasaanku.

"Berhenti mengejarku, jangan habiskan waktumu untuk berjuang demi orang yang selalu menolakmu. Saya menolakmu bukan karena membencimu, tapi ada hati yang perlu saya jaga, maaf sekali lagi."

Rehan membuang nafasnya berat, kulihat matanya mulai berkaca-kaca.

"Izinkan saya berjuang lebih keras lagi." Ia mengucapkan itu sambil menatapku dalam. Aku kasihan padanya. Tidak tega jika ia harus tersakiti tiap pekannya. Tapi, perasaan siapa yang harus di persalahkan? Mungkin ini konsekuensinya, siap jatuh cinta berarti siap merasakan sakit hati. Siap berjuang maka siap kalah.

Cinta memang sekejam itu, berani menaruh hati berati harus menyiapkan mental untuk menyambut kekecewaan. Banyak yang berkata, cinta itu mampu membunuh. Aku benarkan, tapi yang kumasud bukan membunuh jiwa seseorang melainkan membunuh hatinya sendiri untuk bertekad tidak akan jatuh cinta lagi. Ini berbahaya, karena cinta adalah bagian dari hidup yang meskpipun untuk mendapatkannya harus berjuang mati-matian.

Rindu yang Salah.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang