Penolakkan untuk Galang

13 3 12
                                    

Jika perempuan lain berada di posisiku saat ini, mungkin mereka akan langsung meng-iyakan permintaan pria di hadapanku ini untuk menjadi kekasihnya. Sayangnya, aku tidak.

Malam ini, Galang mengajakku nonton konser Iwan Fals, yang kebetulan di gelar di Pantai Losari. Setelah seru-seruan, Galang lalu mengajakku menikmati makanan Jepang. Senang? Jangan ditanya, apalagi kalau di traktir, senangnya dua kali lipat.

Banyak teman-temanku yang secara terang-terangan mengatakan iri padaku, katanya aku beruntung. Bisa dekat dengan Galang Widyatama, polisi tampan yang juga memiliki prestasi yang patut diacungi jempol. Untuk menjadi suami impian, Galang memang sudah masuk dalam daftar. Seiman, mapan, ganteng, penyayang, sedikit humoris dan jomlo, tapi entahlah hatiku belum berpacu ketika bersama orang ini. Ia masih kuanggap sebagai kakak dan juga bodyguard ku. Sedangkan hatiku, masih tersimpan untuk orang yang sampai sekarang menjadi isi relung ruang rinduku, Adit.

"Makan woe, melamun bae!" ucapan Galang berhasil membuyarkan lamunanku.

"Iya-iya"

"Eh, besok kan hari minggu, jogging yuk?"

"Udah jadi agenda kita kali, nggak usa diingatin"

Galang terkekeh lalu hening. Hanya suara kunyahan yang terdengar, juga suara sumpit yang tidak sengaja menyentuh permukaan piring dan menghasilkan bunyi.

"Gita?"

Aku berdehem sebagai bentuk jawaban atas panggilan lirih Galang. Ia diam, seakan lupa dengan kalimat yang akan ia ucapkan.

"Kenapa?" tanyaku karena ia hanya menunduk.

"Usia kita sudah dua puluh lima, bentar lagi nambah. Kita berdua juga sudah punya kerjaan," ia menjeda. Aku sudah tahu kemana arah ucapannya itu.

"Kita sudah saling kenal, selalu sama-sama sejak kecil. Saya tahu, ini bukan kali pertamanya saya ungkapkan, tapi seperti yang kamu bilang tempo hari, kalau hati nggak diperjuangin maka nggak akan bisa di dapat. Saya mencintai kamu..."

Aku mendesah berat, "Belum, Lang," potongku. Galang menatapku dalam, aku berusaha mengalihkan, takut menatap matanya yang tersirat rasa kekecewaan.

"Belum sekarang. Saya belum mau nikah," ucapku membuat Galang kembali memperlihatkan wajah kecewanya.

"Karena Adit?" Aku menggeleng.

Galang terkekeh hambar, "Jangan bohongi pembohong," ucapnya.

"Yasudah habisin nih, kalau enggak dihabisin konsekuensinya bayar sendiri," ucapnya lagi kembali terkekeh, kali ini lebih renyah.

Galang berbohong, tawanya, senyumnya semuanya rekayasa. Ia hanya berusaha menyembunyikan luka yang aku ciptakan berulang kali. Ia tidak jauh beda dengan si surat merah jambu, bisa menerima penolakkan tiga sampai empat kali dalam sepekan. Mungkin, aku akan dikatain sebagai perempuan sok jual mahal, karena selalu menolak. Tapi, ada hati yang harus ku jaga, meskipun hati itu terlihat abu-abu saat ini.

1.

Bukan hanya cinta yang ingin kucari, bukan pula status untuk dijadikan ajang pamer pada teman-temanku. Aku mencari Adit hanya ingin menanyakan apa yang ia lakukan selama tiga tahun terakhir, dan apakah ia pernah merasakan rindu kepadaku. Itu saja, jika ia sudah menikah, percayalah aku tidak akan menjadi seorang pelakor untuk mendapatkannya. Aku bukan gadis yang terlalu fanatik akan cinta dari sesosok laki-laki, tapi aku hanya perempuan yang hanya menginginkan pembalasan rindu dari orang yang selalu kurindukan di setiap penghujung waktu. Tapi keinginanku ini, selalu diartikan sebagai bucin oleh orang lain.

Disaat seperti ini, aku sangat benci pada orang yang sengaja menganggu perasaan rinduku.

"Dek, niat dia tuh serius sama kamu," kata Kak Fajar dengan kalimat yang sama sejak sepuluh menit terakhir.

Aku membuang nafas dengan penuh kejengkelan. Akibat kedatangan si surat merah jambu yang membawa cincin, niat untuk melamarku, ka Fajar tidak henti-hentinya memaksaku untuk menikah dengannya. Ibu dan babah ku, sudah kuwalahan membujukku untuk menerima lamaran perdana dari si surat merah jambu, Rehan. Alasannya usiaku sudah matang, ooh astaga, bisakah jangan memaksaku untuk hal seperti ini? Bukannya tidak siap untuk menikah, hanya saja aku tidak ingin menikah dengan Rehan, laki-laki kaku yang hanya berani mengungkapkan perasaannya melalui media alias surat. Bukan akan berfikir ia romantis, yang ada aku makin tidak suka. Melalui media kita tidak tahu bagaimana garis wajahnya saat mengungkapkan perasaan, tidak tahu bagaimana kesungguhannya dari mimik yang ia perlihatkan.

Lamaran Galang saja masih aku pertimbangkan, apalagi lamaran Rehan yang secara jujur, aku sangat tidak menyukainya.

"Kamu terima lamaran dia, nikah dan setelah itu semuanya selesai, Gita!"

"Ibu dan babah akan merasa senang kalau kamu menikah dengan Rehan!" bujuk lagi kak Fajar.

Aku mendecih. Harusnya, malam ini aku duduk di teras sepanjang malam, menikmati rindu ditemani secangkir kopi dan menuliskan suara hati di atas lembaran kertas. Atau tidur di ranjang empukku dan memimpikkan sosok Adit yang datang menemuiku di sini.

"Gita, kamu dengar saya tidak?"

"Kak, saya kan sudah bilang, saya tidak suka sama dia!" jawabku.

"Cinta itu akan muncul dengan sendirinya, kalau kalian berdua sering sama-sama, lama kelamaan kamu bakalan suka sama dia." Ceramahnya. Aku makin eneg dengan pembahasan ini.

"Kalau kamu nggak terima lamaran dia, berarti kamu harus nikah sama Galang." Lanjutnya memutuskan.

Aku melongo mendengar keputusan sepihaknya, enak saja mau mengatur-ngatur jodoh orang.

"Galang itu sudah saya anggap sebagai kakak, lagipula Galang nggak pernah maksa saya kok buat nikah sama dia"

"Tapi dia suka sama kamu. Pokoknya diantara mereka berdua kamu harus milih buat jadi calon suami kamu!"

"Saya nggak mau kak, kenapa maksa sih?"

"Ini tuh demi kebaikan kamu juga!" bentaknya.

"Kebaikan saya bukan sama dia, kak!" jawabku tidak kalah keras dengan bentakan kak Fajar, mungkin aku sudah tergolong adik durhaka sekarang.

"Trus sama siapa? Adit? Mikir dek, dia nggak mungkin masih inget kamu, dia masih hidup atau udah mati juga kita nggak tahu,"

"Kak!"

"Apa? Kamu mau marah? Jangan bucin kamu sama dia!" Bentak lagi Kak Fajar. Aku hanya bisa diam, meringis dalam hati ketika dibentak seperti ini. Sejak kecil, aku tidak pernah melihat ka Fajar semarah ini padaku.

Aku menarik nafas sekuat-kuatnya, sebagai pertahanan agar aku tidak menangis saat ini. Tapi aku bisa apa, air matakku sudah akan tumpah, kata-kata Kak Fajar benar-benar membuatku hampir saja rubuh. Penglihatanku mulai buram, rupanya air mataku sudah berjatuhan, berebutan untuk mencapai pipiku yang sedang panas.

Aku mengusap air mataku gusar dan meninggalkan Kak Fajar yang emosinya masih belum reda.

Kenapa meyakinkan perasaan ini pada orang-orang begitu sulit? Apa yang salah dengan menunggu seseorang? Aku hanya ingin menjadi wanita setia yang siap menunggu kabar dari sang kekasih untuk memberi kepastian, juga menjadi pasangan setia yang banyak diidamnkan banyak orang. Tapi kenapa begitu sulit? Lagi, aku meringis ketika ucapan Kak Fajar kembali terputar di memoriku.

Adit, kepergianmu yang tiba-tiba adalah sebuah racun bagiku. Racun itu bernama 'Rindu' yang bisa membunuh secara perlahan dengan sangat pedih. Jika disuruh memilih, lebih baik aku mati dengan satu tusukan yang tepat mengenai jantung, atau mati dengan sabetan belati yang begitu tajam. Rasanya memang sakit, tapi aku hanya merasakannya saat itu saja, saat benda tajam yang kusebutkan diatas menengenai tubuhku. Sementara rindu? Rasa sakitnya muncul setiap saat, dan tidak pernah tahu kapan rasa sakit itu akan hilang. Boleh aku berkata? Rindu itu bagian dari pembunuh berdarah dingin.

Adit, pulanglah. Sampaikan pada mereka bahwa kau juga merindukanku, mengingatku dan mengharapkanku. Aku sudah tidak kuat membendung rasa rindu ini sendirian.

Rindu yang Salah.Where stories live. Discover now