Ingatan yang kembali.

15 1 3
                                    

Sudah empat jam kami bertiga menunggu di depan ruangan Dekan Kemahasiswaan Fakultas Ekonomi, namun orang yang di tunggu belum juga menampakkan kehadirannya. Kemarin, aku memohon pada Ira dan Nabila agar mau menemaniku ke kampus, padahal niat awalnya kami akan ke sekret MJK lagi untuk memaksa oraang-orang di sana yang mungkin tahu tentang Adit. Tapi, karena mimpiku semalam, instingku seolah berkata bahwa aku harus ke kampus. Nabila sudah mengerang karena merasa bosan, sedangkan Ira masih terlihat sama dengan empat jam yang lalu.

Sambil menunggu kedatangan pak Syamsul yang merupakan Dekan Kemahasiswaan Fakultas Ekonomi, aku terus mencoba menghubungi nomor Bara yang kemarin Galang berikan. Nomor itu tidak bisa dihubungi sejak kemarin, seorang wanita dari belakang ponsel terus mengatakan bahwa nomor yang aku hubungi saat itu sedang di luar jangkauan.

Aku mendesah panjang, sudah mulai bosan dengan pencarian ini.

"Saya pulang deluan, deh" ucap Nabila mengagetkanku.

"Ketemu pak dekannya juga belum, Bil. Satu jam lagi, yah?" kataku memohon.

Nabila menghela nafasnya, "Git..."

"Git..git, itu pak Syamsul!" Ira menyenggol tanganku, kuikuti arah matanya. Tepat! Pak Syamsul baru saja datang.

Aku berlari menuju pak Syamsul, lalu bersalim sebagai rasa hormatku pada orang yang dulu pernah memberiku ilmu. Kulihat pak Syamsul sedikit terkejut karena kedatanganku.

"Ada apa?" tanyanya.

"Ehm, anu pak. Saya mau tahu sesuatu tentang salah satu mahasiswa di fakultas ini," ucapku to the point.

"Siapa?"

"Aditya Putra Pratama."

Air muka pak Syamsul mendadak berubah, "Ngapain kamu tanyain dia? Dia sudah bukan mahasiswa sini lagi!" ucapnya tegas lalu masuk ke dalam ruangannya meninggalkan kami yang melongo mendengar jawaban dingin beliau.

"Dih, kasar yha tuh dekan" komentar Nabila.

"Kayaknya kasus yang Adit buat itu besar deh, Git. Pak Syamsul aja sampai gitu emosinya saat kamu tanyain soal dia," lanjut Ira.

"Kasus apa sih sebenarnya? Lebih besar daripada drug? Kalau emang iya, kenapa Galang nggak langsung bilang aja ke saya? Trus pak Syamsul?"

"Dulu bukannya juga ada yha, mahasiswa yang terlibat narkoba, tapi dia nggak di DO dari kampus, masuk bui sih, cuman nggak lama soalnya keluarganya mau si tersangka ini di rehab. Dosen-dosen juga memperlakukan dia biasa aja, nggak sampai segininya," komentar Nabila, yang sepertinya kali ini mulai tertarik dengan apa yang kita lakukan.

"Diaz, kan nama orangnya?" tanyaku. Saat kasus itu, aku, Ira dan nabila masih semester empat.

"Iya. Dia emang tetap dapat hukuman dari pengadilan, tapi dari kampus? Nggak di DO sama sekali, bahkan selama tuh orang menjalankan hukuman dan rehab, pihak kampus menyatakan itu cuti. Kan nggak adil banget apalagi buat mahasiswa yang ketahuan melakukan aksi, padahal untuk masyarakat lho, buat peroleh kesamaan hukum, tapi mereka yang ketahuan nge-aksi dapat masalah dari kampus bahkan bisa sampai DO," ungkap Nabila panjang lebar. Sesekali ia menggelengkan kepala.

"Kalian lupa? Anak sultan mah bebas. Keadilan itu bisa di peroleh dengan kertas bernilai rupiah. Nggak punya dolar yha berarti nggak punya hak peroleh keadilan." Kata Ira menjelaskan.

Aku melongo sesaat mendengar kalimat Ira. "Itu..."

"Iya, itu kalimat yang selalu kak Adit keluarkan ketika menuntut keadilan untuk masyarakat kalangan bawah, makanya dia incaran polisi dan orang-orang besar"

"Berarti bisa dibilang, ka Adit itu, musuhnya kebanyakan dari kalangan pejabat?"

"Yah gitu deh,"

"Artinya, kasus ini juga?" tanyaku. Ira mengangguk meng-iyakan.

"Tapi, sebenarnya kasus apa sih?"

Nabila dan Ira menghela nafas, "Git. Coba kamu ingat, apa yang Adit lakukan sebelum dia benar-benar pergi?" Ira bertanya kepadaku dengan intonasinya yang terdengar serius.

Aku berfikir, memaksa otakku untuk berusaha mengingat. Aku menggeleng, "Nggak bisa,"

"Atau pertanyaannya di ganti, apa yang terakhir kamu ingat tentang Adit sebelum pergi tanpa kabar?"

Aku kembali berfikir, hasilnya sama, aku tidak mengingat apapun.

"Dulu, saat kejadian itu, kita bertiga ada di rumah kamu, lagi ngerjain tugas di kamar kamu, tiba-tiba ada yang nelfon dan ngasih tahu sesuatu sama kamu,"

"Siapa yang telfon, dan dia ngasitau apa?" potongku. Aku menatap lurus wajah Ira.

"Kak Bara. Saya nggak tahu apa yang kak Bara bilang ke kamu, tapi tiba-tiba..."

"Apa?"

"Kamu pingsan" Nabila yang menyambung. Aku mengalihkan pandanganku ke arahnya.

Aku mengernyit. Kejadian itu rasanya sama sekali tidak pernah aku alami. Bahkan aku merasa tidak pernah pingsan selama aku hidup. Tiga tahun lalu, kejadian apa yang membuatku bisa sampai pingsan? Aku tidak ingat sama sekali. Otakku seakan menolak kejadian itu untuk di masukkan dalam memori ingatanku. Aku memaksa otakku untuk mengingatnya, dan aku menemukannya.

"Dia demo."

Rindu yang Salah.Where stories live. Discover now