Takdir, aku menyerah.

10 2 3
                                    

Takdir, aku ingin bertanya padamu, ini sebuah mimpi, kan? Jawablah iya. Aku ingin segera bangun dari mimpi buruk ini. Sadarkan aku dan katakan ini hanyalah sebuah bunga tidur. Jika bukan sebuah mimpi, jadikan aku seorang aktris yang seolah sekarang sedang memerankan seorang wanita yang kehilangan. Hapuslah dunia fiksi ini, jangan memintaku untuk terus memerankannya, aku membenci kisah ini.

Bau ini lagi, dinding putih, diatas sebuah tempat tidur dengan selimut berwarna putih, langit-langitnya pun berwarna putih, rasanya muak melihat warna ini. Kepalaku berdenyut, tanganku terasa keram, dan benda apa yang di tempelkan di hidungku? Samar-samar aku melihat ternyata sebuah alat bantu pernapasan yang biasa kulihat di televisi, ketika sang pemeran berada di ruang rawat rumah sakit. Aku berada di tempat yang barusan kusebut?

Kemudian aku mendengar sebuah bunyi yang diulang terus-menerus, seperti alat pendeteksi. Lalu aku mendengar suara isakan beberapa orang, ada yang menyebut-nyebut namaku sambil meminta maaf. Hal ini seperti pernah kualami, entah kapan aku tidak tahu.

Mataku berhasil terbuka lebar. Kulihat di sekelilingku, ada ibuku yang terlihat terisak. Dibalik alat bantu pernapasan ini aku melempar senyum kepadanya. Aku merasakan mataku sembab, sepertinya aku habis menangis.

"Jangan bicara dulu." larang ibu ketika melihatku berusaha membuka mulut ingin mengatakan sesuatu. Aku menurut, lagipula rasanya sulit untuk berbicara dalam kondisi seperti ini. Mulutku terasa kaku, jangankan berbicara untuk menghirup udara dari alat ini saja aku sedikit kesulitan.

Tapi, aku ingin menanyakan banyak hal. Tentang untuk apa benda berwarna hijau ini ditempelkan di hidungku, tentang tempat buruk ini dan tentang aku yang kenapa bisa berbaring di atas kasur ini. Juga tentang, kejadian apa yang barusan kulalui?

Mataku tiba-tiba mengeluarkan sebuah cairan, aku menangis. Kenapa? Apa yang sudah terjadi, aku tidak mengingat apapun, dan kenapa mataku seolah tidak ingin berhenti mengeluarkan air mata?

Kulihat ada kak Fajar yang datang mendekatiku, ia terisak, mengusap kepalaku dan mengelusnya lembut. Kak Fajar lalu meraih tanganku yang tadi di genggam ibu, ia menggenggam tanganku kuat seolah sedang berusaha mentransfer kekuatan untukku. Kulihat bibirnya seperti mengatakan sesuatu, 'maaf' itu saja yang mampu kutangkap. Mataku kembali mengeluarkan cairan, aku bingung dengan keadaan ini. Tolong jelaskan apa yang terjadi.

***

Aku memandangi pintu masuk kamar rawat dengan tatapan kosong. Rupanya aku sudah hampir dua minggu di tempat ini. Sepuluh hari merasakan hidup yang mati. Masih bernafas tapi tidak bisa merasakan apa-apa. Aku koma.

Air mataku masih betah mengeluarkan cairan padahal aku sendiri sudah bosan.

Aku hanya bisa tersenyum kecut ketika mengingat sebuah fakta sebelum aku berada di tempat berbau infus ini. Adit rupanya telah meninggal. Aku terisak dalam bentuk tawa. Mungkin hal yang harus kulakukan sekarang adalah merutuki diriku sendiri karena hidup dalam kebodohan, tiga tahun aku hidup tanpa fakta ini. Hidup dalam bayang-bayang Adit, dan hidup dalam rindu yang salah. Lagi, air mataku kembali jatuh.

"Dek, ada Ira dan Nabila di luar," beritahu Ibu. Aku mengangguk, tanda bahwa aku membolehkan dua sahabatku itu masuk menjengukku sekarang. Ibu lalu keluar memanggil mereka. Aku menghapus air mataku agar tidak terlihat seperti habis menangis. Sebenarnya tidak ada gunanya menghapus air mata ini, mataku sembab dan bengkak, siapapun pasti tahu bahwa aku terus menangis.

"Gitaaaaaa, uhhh akhirnya kamu udah baikan," sorakan Nabila dan Ira memenuhi satu ruangan serba putih ini. Aku menatap keduanya dengan bibir tersenyum. Mereka berdua lalu memelukku yang sedang duduk di atas kasur rumah sakit. Aku mengamati kejadian ini, lagi aku merasa sepertinya kejadian ini pernah terjadi, dejavu. Tapi hingga sekarang aku tidak bisa mengingat kapan kejadian ini pernah terjadi.

"Makasih udah jenguk."

"Sama-sama, oh iya bentar sore atau mungkin besok teman-teman kantor yang lain bakal datang juga," kata Ira.

Aku mengangguk.

"Gita," panggil Nabila. Aku melihat kearahnya. Nabila menaikkan lengannya, mengepal tangannya, memberikan sebuah istilah bahwa aku harus kuat, aku kembali melempar senyum.

"Kalian lihat Kak Fajar?"

Mereka berdua mengangguk, "Ada di luar sama Galang" jawab Ira.

Sudah tiga hari aku sadar dari koma, kak Fajar belum menemuiku kecuali saat pertama kali aku membuka mata, apalagi Galang, ia tidak pernah menemuiku. Padahal, kata Ibu mereka ada di luar kamar rawat, duduk di kursi tunggu seharian dan menanyakan kondisiku melalui Ibu ketika ibu keluar.

"Ira, Nabil" panggilku pada mereka yang sibuk mengupaskan apel untukku.

"Ya, Git?"

"Ada apa?"

"Kalian berdua tahu?"

"Tentang apa?" tanya Nabila. Ira terdiam, sepertinya ia tahu arah pertanyaanku.

"Jangan mikirin hal itu sekarang, pikirkan kesehatan kamu dulu," kata Ira.

"Emang tentang apa?" Nabila masih belum mengerti.

"Adit." Jawabku.

Nabila terdiam. Ira menghembuskan nafasnya pelan, "Fokus sama kesehatanmu dulu,"

"Kalian berdua tahu tentang Adit, kan?" aku tidak peduli dengan ucapan Ira. Aku hanya ingin mereka berdua menjawab pertanyaan ini.

"Kamu masih sakit,"

"Jawab!" Tanyaku sarkatis.

Mereka berdua diam. "Ira, Nabila jawaaaab!" teriakku membentak. Air mataku kembali keluar.

"Iya, kita berdua tahu." Aku tersenyum miring mendengar pernyataan Ira barusan.

"Keluar!" usirku.

"Git, kita berdua bisa jelasin kenapa kita nggak ngasih tahu kamu,"

Aku menggeleng dengan air mata kembali bercucuran.

"Git, inituh demi kamu,"

"Keluar!" usirku lagi.

"Gitaa,"

"Keluar saya bilang!" bentakku meronta, melempar bantal ke arah mereka.

Keduanya pasrah, mereka lalu keluar meninggalkanku yang terisak dengan semua kepahitan hidup.

Mereka berdua tega, Kak Fajar pun sama. Mereka membiarkanku menjadi orang bodoh selama tiga tahun. Mereka membiarkanku terus merindui orang yang sudah mati tanpa pernah mau memberitahukan fakta yang sebenarnya. Mereka melarangku untuk tidak merindukan Adit, katanya agar tidak dinilai gila, tapi mereka yang sudah membuat predikat itu melekat pada diriku sendiri.

Tiga tahun aku harus menunggu kepastian yang tidak akan pernah pasti. Menunggu dalam skenario hidup yang tidak ada gunanya dijadikan sebuah kisah hidup. Merindukan seseorang yang tidak akan pernah kutemui di alam penuh godaan ini dan mengharapkan sebuah balasan rindu dari dia yang telah tiada.

Takdir, aku menyerah.

Rindu yang Salah.Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz