Takdir, aku menyerah (2)

14 3 7
                                    

Nafsu makanku benar-benar hilang, ibu sudah membentakku berapa kali karena terus menolak untuk makan dan meminum obat dari dokter. Air mataku sudah tidak bercucuran lagi, mungkin habis. Pekerjaanku seharian full ini hanyalah melamun, merutuki kebodohanku sendiri atas apa yang sudah terjadi.

Ibu sedang keluar, aku sendirian di dalam ruang rawat serba putih ini. Benda yang kemarin tertempel di hidungku sudah di lepas. Sekarang tersisa infus yang tertempel rapi di tangan kiri ku.

"Udah baikan?" sapa seseorang yang baru saja masuk.

Orang bernama Galang itu lalu duduk di samping bed ku. Aku mengalihkan pandangan, enggan melihat ke arahnya.

"Maaf baru bisa jenguk sekarang." ucapnya.

Bohong, ia kira aku tidak tahu bahwa selama ini ia berada di luar menungguku bersama Kak Fajar?

"Gita," panggilnya. Aku berdehem, mungkin itu jawaban yang sesuai.

"Maaf," ucapnya lirih. Aku menatapnya yang menundukkan kepala seperti menyesali sesuatu.

"Saya tahu semua tentang Adit." ia mengangkat wajahnya dan membalas tatapanku.

Aku tersenyum kecut, rasanya ingin sekali air mataku kembali jatuh, tapi berusaha aku tahan. Ternyata, pembohong banyak berkeliaran di sekitarku, kenapa aku baru menyadarinya sekarang?

"Saya, Kak Fajar dan teman-teman kamu sengaja nggak ceritain semuanya. Kita punya alasan, saya mau jelasin sekarang, boleh?" izinnya.

Aku menarik nafas panjang. Mendengar penjelasan Galang artinya aku harus siap mendengar apapun yang tidak kuketahui tentang kematian Adit. Aku terdiam, tidak mengiyakan juga tidak menolak.

"Boleh, kan?" Galang kembali bertanya, kali ini aku menjawab dengan deheman.

Kudengar Galang menghembuskan nafasnya berat, "Adit meninggal tiga tahun yang lalu, tepatnya di hari ulang tahun kamu. Dia menjadi korban tabrak lari, dia sempat dilarikan ke rumah sakit karena saat itu dia masih terlihat baik-baik saja, tapi ternyata dia meninggal di perjalanan, ada luka tusuk di perutnya," aku meringis ketika mendengar hal itu.

"Di hari itu, organisasi mereka sedang menyiapkan untuk melakukan aksi esok harinya. Aksi itu gagal, karena teman-teman organisasi Adit memutuskan untuk mencari si pelaku yang menabrak dan menikam Adit. Hari berikutnya, polisi melakukan pencarian barang bukti di sekitar tempat kejadian, polisi menemukan pisau dapur yang kemudian pisau dapur itu menjadi satu-satunya barang bukti. Tapi..." Galang menjeda ucapannya.

"Tapi apa?"

"Di pisau itu hanya ada sidik jari Adit..."

"Jadi maksud kalian Adit menikam dirinya sendiri?" potongku membentak.

Kulihat Galang mengangguk, "Itu hasil persidangan."

Aku mendecih.

"Pelaku yang menabrak Adit juga tidak berhasil di temukan. Tidak ada saksi yang melihat nomor plat mobil pelaku, di daerah itu juga tidak ada cctv yang terpasang. Kemudian kasus itu ditutup dengan hasil persidangan yang masih belum jelas,"

Aku menutup mata, menahan agar air mataku tidak kembali jatuh. Kenapa aku tidak tahu tentang hal itu, kemana aku saat itu? hingga akhirnya air mataku jatuh, aku sudah tidak kuat menahannya, ternyata air mataku masih ada.

"Saya?" tanyaku terisak mempertanyakan keberadaanku saat itu di mana, karena aku tidak mengingat apapun tentang tiga tahun yang lalu kecuali telfon dan hadiah dari Adit, itu saja.

"Ketika Adit meninggal, Bara nelfon kamu dan ngasih tahu tentang hal ini. Kamu pingsan saat itu juga. Ira dan Nabila yang kebetulan malam itu ada di rumah kamu berusaha mebangunkan kamu. Ira menjawab telfon dari Bara lalu mendengar semua tentang Adit," Galang kembali menjeda untuk sekedar mengatur nafas.

Rindu yang Salah.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang