Interogasi

1.8K 137 0
                                    

"Kak, dipanggil Mamah, tuh. Di teras samping." Kirei muncul dari balik pintu dapur. "Sini, biar Kirei yang lanjutin."

Gadis itu menggeser sedikit tubuh Yuuri dan mengambil spon pencuci piring dari tangan kakaknya. "Cepetan! Kayaknya ada yang penting," bisik Kirei.

Yuuri menatap adiknya sambil bertanya "ada apa" dengan isyarat mata, yang dijawab Kirei dengan mengedikkan bahu. Gegas ia menuju teras yang berbatasan dengan ruang makan dan ruang keluarga itu.

"Duduk di sini, Yuu," ujar mamah sambil menepuk kursi kosong di antara mereka. Yuuri melihat Papah di ujung kursi sedang memasukkan gawainya ke dalam saku. "Ada yang mau kami bicarakan."

"Ada apa, Mah?" tanyanya setelah duduk. Sepertinya memang ada hal serius.

Mamah mengarahkan pandangan pada sang suami yang masih terdiam. Secara refleks, Yuuri ikut mengalihkan pandangannya.

Papah bergeming, tidak memperhatikan. Netranya menerawang ke atas, seperti ingin menembus gumpalan awan putih yang menggantung di langit. Pandangannya lalu turun pada deretan pot bunga anggrek kesayangan istrinya yang tersusun vertikal di dinding pembatas rumah.

"Apa sudah ada kemajuan dari Kento?" Papah membuka suara, lalu menatap anak gadisnya.

Yuuri terkesiap, tapi dengan halus segera disembunyikan. Ia memang sudah memprediksi pertanyaan itu sebelumnya. "Iya," jawabnya. "Kento sudah mengalami banyak kemajuan."

Semenjak menginjakkan kaki di Indonesia, Kento memang sudah menunjukkan ketertarikannya pada Islam. Bukan semata karena Yuuri, tapi karena ia melihat bagaimana kehidupan muslim--agama mayoritas penduduk Indonesia--yang ada di sekitarnya secara langsung.

Contohnya pada sebuah siang di kantin kampus, Kento terduduk mematung sambil memejamkan mata. Yuuri sempat panik, menyangka kekasihnya sakit. Beberapa menit kemudian Kento membuka mata dan mengatakan bahwa yang barusan didengarnya sangat merdu dan menyentuh hati. Rupanya Kento sedang menikmati kumandang azan duhur dari masjid yang tak jauh dari tempat mereka duduk.

"Sugoi*," ucapnya. Tentu saja di Jepang sulit untuk bisa mendengarkan azan, apalagi azan yang bersamaan--seolah saling menyahut--dari beberapa tempat yang cukup berdekatan.

"Apa kalian juga sudah pernah membahas rencana ke depannya seperti apa?" Suara Papah membuyarkan lamunan Yuuri.

Yuuri kembali terdiam. Pembicaraan terakhir mereka ketika Kento mengabarkan akan meyakinkan keluarganya lagi pada pertemuan tahunan, saat mengenang mendiang kematian neneknya. Namun semenjak itu, Kento seperti hilang tertelan bumi. "Sudah," jawab Yuuri akhirnya.

"Lalu?"

"Terakhir, Kento masih berusaha meyakinkan keluarga besarnya. Setelah mendapat restu dari keluarganya, mereka akan segera datang untuk melamar."

"Kento dan keluarganya?"

Yuuri mengangguk.

"Kapan?"

Gadis itu kini menggeleng. "Entah, tapi Kento sedang mengusahakan secepatnya."

Ada desah panjang di tarikan napas laki-laki yang sudah memiliki beberapa uban di kepalanya itu. "Kapan keluarganya akan melamarmu jika keluarga besarnya saja belum memberikan restu?" Kali ini pertanyaan Papah lebih tajam, tidak berbasa-basi, seperti biasa. "Kamu masih ingat kalau dia menyanggupinya dalam enam bulan, kan?"

Merapal Cinta Tertulis [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang