Hijrah

1.2K 132 14
                                    

Yuuri tidak banyak bicara saat mobil yang dikendarai Fauzan melaju meninggalkan rumah, membawanya ke tempat baru. Ia hanya sesekali mengembuskan napas panjang sambil memperhatikan jalan di depannya.

Tidak pernah terpikir sebelumnya jika ia akan menjadi seorang istri pemilik pondok pesantren. Kenyataan ini sedikit membuatnya ngeri. Bagaimanapun, itu bukan sebuah posisi yang akan mudah ditempatinya. Ia masih harus menyesuaikan diri dengan posisinya sebagai istri. Sementara, ia mungkin akan dituntut sebagai panutan. Mungkin akan banyak mata yang menyorot gerak-geriknya nanti.

Ia masih merasa heran saat mengetahui jika laki-laki yang dipilihkan ayahnya adalah seseorang seperti Fauzan. Seorang ustaz. Bukan tipikal yang ada dalam perkiraannya sebagai calon suami selama ini. Apa yang melatarbelakangi ayahnya memilihkan Fauzan sebagai suami, masih menjadi pertanyaan, walau Yuuri masih enggan bertanya lebih jauh. Ia hanya perlu menyepakati perjodohan itu.

Ia memang sudah pasrah mengenai hubungannya dengan Kento, semenjak laki-laki itu Papah interogasi. Yuuri mulai merasakan adanya perubahan, terlebih saat Kento sudah kembali ke negara asalnya. Ada keraguan yang ia tangkap. Kento berubah?

Bukan alasan itu saja yang membuatnya mau menerima perjodohan. Yuuri mulai mengamini perkataan Papah satu persatu, saat hubungannya mulai merenggang. Ia tahu bagaimana orangtuanya sudah membuat ia sadar, walau Yuuri bersikeras mempertahankan hubungannya selama ini. Namun, saat ia melihat dengan mata kepala sendiri seorang wanita muda yang tiba-tiba datang dan bergelayut manja di tangan Kento, alasannya untuk melupakan laki-laki itu semakin menguat.

Apa yang ia lihat sudah cukup sebagai alasan dan bisa menjadi jawaban kenapa Kento menghilang, walau Kento berusaha mengejarnya untuk memberikan penjelasan. Yuuri hanya merasa semua pengorbanannya selama ini sia-sia.

Wanita itu kembali mendesah hingga meninggalkan jejak embun di jendela mobil suaminya.

"Kenapa? Apa menjadi istri saya sebegitu beratnya?" Fauzan menoleh sambil mengulas senyum. Sedari tadi istrinya hanya mengembuskan napas panjang-panjang.

"Tentu tidak mudah juga buatmu." Yuuri tidak menoleh. Pandangannya masih lurus ke depan.

"Awalnya memang begitu."

Sontak wanita itu mengalihkan pandangan ke arah laki-laki di sebelahnya. "Maksudmu, sekarang sudah tidak?"

Fauzan mengangguk sambil melebarkan senyumnya. "Selama kita ikhlas menjalaninya, pasti akan lebih mudah."

Yuuri tidak menyahut. Jawaban suaminya hanya membuat dirinya sadar jika belum sepenuhnya menerima.

"Aku tidak akan bisa diandalkan sebagai istri seorang ustaz, apalagi sebagai istri pimpinan pesantren." Yuuri tidak bisa lagi menutupi kekhawatirannya.

"Cukup menjadi dirimu sendiri, dan tetap berada di sampingku." Fauzan kembali menoleh setelah ada jeda dalam kalimatnya

Entah mengapa ucapan Fauzan membuat hatinya menghangat, walau tidak serta merta menghapus semua kegusarannya.

Yuuri terbangun ketika mobil yang dikendarai Fauzan berbelok memasuki jalan yang hanya bisa dilalui oleh dua kendaraan. Rupanya tadi ia tertidur cukup lama. Ia juga baru menyadari jika udara terasa lebih dingin dari sebelumnya, walau AC mobil sudah dimatikan. Matanya mulai mengamati sekitar. Ia seperti akan dibawa menuju sebuah bukit yang berada lurus di ujung jalan.

Wanita itu bisa melihat hamparan padi dan sayur di kanan kirinya, meski petakan sayur lebih mendominasi. Ia seketika merasa lebih berantusias, membayangkan sayuran segar yang bisa dikonsumsinya setiap hari.

"Kedinginan?" Fauzan menengok istrinya yang sedang menggosok-gosokkan tangan ke wajah.

Kepala Yuuri mengangguk. "Apa setiap hari dingin seperti ini?"

"Iya. Semakin malam bisa semakin dingin. Tapi kalau siang suhunya bisa mencapai tiga puluh derajat, cukup hangat."

"Warga yang tinggal di sini jadi tidak perlu pasang AC." Yuuri bergumam sendiri. Ia melihat rumah-rumah panggung yang terbuat dari kayu, juga beberapa rumah setengah permanen yang tetap didominasi kayu di sepanjang jalan. Rumah panggung memang pilihan tepat untuk menyiasati suhu dingin seperti di daerah ini. "Eh, tapi ada pemanas air, kan?" Tiba-tiba wajahnya memucat saat terpikir sebuah kemungkinan buruk.

Fauzan menggeleng. "Kami terbiasa mandi air dingin. Bahkan, hampir semua santri terbiasa mandi sebelum subuh."

Yuuri tidak bisa membayangkan bagaimana kulitnya harus menyentuh air sedingin es, bahkan sebelum matahari terbit.

"Katanya jadi lebih segar dan lebih sehat, kok. Bahkan kalau mandinya siangan malah lebih dingin." Fauzan terkekeh melihat ekspresi keberatan Yuuri. "Boleh dicoba kalau tidak percaya."

Yuuri tahu bahwa mandi sebelum subuh dengan air dingin bagus untuk kesehatan, tapi air dengan suhu berkisar dua puluh satu derajat dan tidak kurang. Membayangkan dirinya harus mandi dengan air dingin saja sudah membuat tubuhnya menggigil, apalagi sampai harus melakukannya.

"Warga di sini rata-rata menggunakan air gunung untuk keperluan sehari-hari, termasuk di pesantren."

"Tidak ada santri yang terkena hipotermia?" Yuuri masih penasaran. Ia membulatkan matanya untuk memastikan.

"Alhamdulillah sejauh ini tidak, dan semoga tidak ada. Tapi kalau ada santri yang memang tidak kuat mandi air dingin, mereka tidak memaksakan diri. Lama-lama juga akan terbiasa. Tubuh hanya perlu waktu untuk menyesuaikan diri." Fauzan kini berbicara sambil melihat ke depan.

"Tentu saja. Manusia itu seperti mamalia, berdarah panas. Jadi bisa mudah menyesuaikan suhu dengan lingkungan."

Yuuri kembali mengamati jalanan yang mulai gelap. Mereka harus segera sampai sebelum azan maghrib.

"Masih jauh?"

"Sudah dekat. Itu, di depan. Kamu bisa lihat kubah masjidnya?"

Yuuri harus memicingkan mata untuk melihat ke arah yang ditunjukkan di sebelah kanan jalan. Sebuah kubah masjid yang terhalang embun beserta beberapa bangunan tinggi di belakangnya mulai terlihat.

"Itu pesantrennya?"

Fauzan mengangguk. "Pondok putra dan pondok putri dipisah. Yang sebelah kanan itu pondok putra, sebelah kirinya pondok putri."

Yuuri merasa kegugupan seketika menyerangnya.

Beberapa menit kemudian mobil mereka sudah tiba di depan sebuah gerbang bertuliskan 'Anda memasuki kawasan Yayasan Daarul Qur'an' di atasnya. Dua orang yang berjaga di dalam pos mengangguk sopan sambil tersenyum, lalu membukakan gerbang.

Mobil berbelok ke kiri setelah melewati masjid, lalu berhenti di depan sebuah rumah yang hanya berjarak beberapa meter dari parkiran.

Fauzan turun yang disusul oleh Yuuri. Ada beberapa orang yang berjalan dari arah pondok putra menuju masjid menyapanya. Fauzan kemudian menjelaskan jika mereka adalah ustaz di sini. Pesantren menyediakan tempat tinggal asatiz di dekat pondok putra dan tempat tinggal asatizah di dekat pondok putri.

Seorang wanita menyambut Yuuri dari dalam rumah, lalu menyalaminya. Kulitnya putih dan memiliki senyum lebar, dengan pembawaan yang ramah. Yuuri menaksir umur wanita itu lebih muda dua tahun dari umurnya.

"Saya Aida, sepupunya A Fauzan." Logat Sunda dalam suara wanita itu sangat kental. "Hayu masuk, Teh. Dingin."

Yuuri memiringkan kepalanya karena baru kali ini ia dipanggil dengan sebutan seperti itu. Terasa aneh dan agak asing di telinganya.

"Aida dan suaminya yang membantu saya mengurus semuanya di sini." Fauzan menjelaskan. "Keduanya lulusan Al-Azhar."

Yuuri tersenyum pada laki-laki yang disebut Fauzan sebagai suaminya Aida. Mereka rupanya pasangan muda.  

Merapal Cinta Tertulis [Completed]Where stories live. Discover now