Pertemuan

1.1K 129 0
                                    

Janji bertemu dengan teman yang Mamah ceritakan kemarin sepertinya bukanlah agenda utama. Setidaknya, itu yang dirasakan oleh Yuuri. Mereka hanya bertemu sebentar, kurang dari tiga puluh menit urusan sudah selesai. Sisanya? Mamah menyeret Yuuri--kebetulan Kirei punya alasan untuk mengelak dengan revisi skripsinya--merapat ke masjid di sebelah mall milik IPB tersebut.

"Ada kajian bagus," jelasnya saat mendapat tatapan bingung Yuuri.

Tumben. Mungkin itu arti tatapannya.

Ketika mereka naik ke lantai atas, kajian sudah di mulai. Di televisi layar datar--yang ada di kedua sisi shaf paling depan--menampilkan wajah seorang ustaz yang tengah mengkaji tafsir Al-Qur'an Surat Al-Ahzab ayat 59.

Yuuri mengeja dalam hati nama yang tertera di layar. Fauzan Alfatih, Lc., M.A.

Gadis itu melirik wanita di sebelahnya yang sedang khusyuk menyimak. Dia menilik wajah yang terlarut dalam penjelasan sang ustaz.

Apakah laki-laki di depan itu ada hubungannya dengan perjodohan?

Yuuri tidak habis pikir. Bagaimana mungkin orangtuanya bisa memiliki koneksi dengan seorang ustaz terkemuka. Ia mengakui jika wawasan keilmuan orang yang sedang berbicara di depan bisa diacungi jempol. Setidaknya, Yuuri menilai dari caranya memaparkan dan menjelaskan tafsir ayat yang tidak terkesan kaku dan menggurui. Sekali-kali ustaz itu juga mengaitkan ayat yang dikajinya dengan contoh-contoh kontekstual. Bahkan, dengan hal-hal sederhana yang sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari, tanpa menghilangkan esensi dari kandungan ayatnya.

Mungkin Papah meminta ustaz Fauzan ini untuk mencarikanku jodoh--bisa jadi muridnya, jika melihat bagaimana antusiasnya Mamah mengajakku ke mari.

***

Sebuah Fortuner putih keluaran terbaru memasuki halaman. Papah bergegas menyambut keluar.

Kireina segera berlari menuju ambang pintu. Pagi ini ia mengenakan gamis batik warna coklat yang senada dengan batik yang dikenakan orangtuanya. Matanya lalu mengamati satu per satu orang yang turun dari mobil.

Di kursi depan sebelah kiri, turun seorang laki-laki yang ia taksir usianya lebih tua dari papahnya. Laki-laki itu memiliki wajah yang bersahaja. Nampak ramah dengan senyum yang tak lepas dari wajah. Mengenakan celana kain hitam, jas koko warna merah marun, juga berpeci hitam. Laki-laki itu langsung disambut oleh Papah. Bersalaman lalu saling berpelukan.

Mungkin itu ayahnya.

Dari bangku penumpang sebelah kiri turun seorang wanita yang mengenakan gamis senada dengan laki-laki tadi. Wajahnya sangat keibuan dan saat tersenyum, aura kecantikannya masih terlihat.

Mungkin itu ibunya.

Seorang laki-laki bertubuh tegap dengan postur–yang menurut Kireina–terlalu tinggi menyusul dari pintu lainnya. Mengenakan jas koko yang serupa dengan sang ayah. Ada bulu-bulu halus di sekitar rahangnya. Tampan, gagah, tapi ... Kirei taksir usianya sudah di atas tiga puluh tahun. Tiga puluh tujuh mungkin. Kirei mengernyit.

Itukah calon kakak ipar?

Kirei lupa jika sore itu Mamah mengajak mereka ke kajian untuk bertemu dengan sang calon kakak ipar, tapi ia batal berangkat.

Merapal Cinta Tertulis [Completed]Where stories live. Discover now