Pilihan

1.4K 127 1
                                    

“Kak Yuuri akan baik-baik saja, kan, Mah?” tanya Kirei, cemas. “Ini sudah jam tiga lewat, sebentar lagi asar. Kakak belum keluar semenjak jam delapan pagi tadi, kan? Belum sempat makan selain sarapan.” Jemarinya diketuk-ketukan pada pintu kulkas, tidak sabar.

Mamah menghentikan aktivitasnya mengaduk bubur jagung yang baru saja mendidih di dalam panci. Kepalanya menggeleng.

“Memangnya kak Yuuri mau dijodohkan dengan siapa?”

Mamah tersentak. Pupil matanya melebar. Gegas tangannya mematikan kompor.“Kirei tadi ikut menguping?” tanyanya sambil membalikkan badan. Menatap lamat putri bungsunya.

“Tentu saja dengar. Makanya tahu kak Yuuri marah karena apa.” Kirei menekuk bibirnya. "Jadi, siapa laki-laki yang akan dijodohkan dengan kakak?" lanjutnya.

Alih-alih menjawab, Mamah malah mendorong pelan tubuh Kirei untuk menjauh dari depan pintu kulkas. "Geser! Mamah mau ambil keju."

Kirei mencebik sambil menghentakkan kaki, mirip anak kecil yang sedang protes ketika tidak dibelikan eskrim. "Jawab dulu dong, Mah."

Mamah terkekeh. "Kamu ini, udah kuliah kok tingkah masih kayak bocah."  Diambilnya keju--yang sudah dibungkus dengan alumunium foil--dalam kotak Tupperware. Bubur jagung jika ditambah dengan parutan keju rasanya akan lebih nikmat. Mamah memang tidak terlalu banyak menambahkan gula tadi, karena jagung sendiri rasanya sudah manis.

"Calon kak Yuuri itu dosen kayak Mamah sama Papah juga, ya?" Kirei masih mengejar. "Atau eksekutip muda yang rambutnya selalu pakai pomade?"

Mamah hendak terkekeh, tapi urung. Kepalanya kembali menggeleng. "Bukan."

"Pengusaha kayak suaminya Mbak Sasa?" Mbak Sasa yang dimaksud adalah kakak sepupunya.

Mama terdiam. "Bukan," jawabnya lagi.

"Lantas?"

Mama menarik napas panjang, lalu meneliti wajah putrinya. "Kirei mau tahu?" Setelah putrinya mengangguk, Mamah melanjutkan. "Seorang ustaz."

"Apa?" Kirei terbatuk. "Ustaz?"

"Ya, bahkan memiliki sebuah pesantren. Pesantren boarding school gitu."

"Serius?" Bola mata Kirei sudah membulat.

Mama menganggukkan kepalanya enteng. “Kirei pernah dengar pesantren Daarul Qur’an di dekat Puncak itu?”

“Daarul Qur’an?” Kirei coba mengingat sesuatu, tetapi tidak berhasil. “Kayaknya nggak pernah dengar ... atau mungkin lupa. Memangnya kenapa, Mah?”

“Papah ingin menjodohkan kakakmu dengan pemilik pesantren itu.”

Kirei membulatkan mulutnya, membentuk huruf O dengan pikiran yang sudah menerawang ke mana-mana.

"Pesantren warisan gitu ya?"

"Bukan, tapi mendirikan sendiri. Memang sih keluarganya turut membantu."

"Keluarganya keluarga pesantren juga?"

"Iya," jawab Mamah. "Keluarganya malah lebih salaf, ngaji kitab kuning gitu. Kalau putranya ini lebih ke pesantren modern. Maksud Mamah, ada SMP-nya."

Merapal Cinta Tertulis [Completed]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant