Jamuan

1.1K 127 2
                                    

"Sholatnya di rumah saja, biar bisa istirahat dulu. Di sebelah sana ada kamar mandi." Fauzan mengarahkan telunjuknya pada sebuah pintu di sisi kiri ruang baca, sementara letak kamar tidur berada di sisi lainnya.

"Ba'da isya nanti ada acara ramah-tamah di aula, nanti saya jemput," ujarnya lagi dengan datar. Setelah mengantar Yuuri memasuki kamar dan menyimpan kopernya di sebelah lemari, Fauzan bergegas menuju masjid.

Yuuri tidak menyahut. Badannya memang sedikit lelah, walau di perjalanan tadi sempat tertidur cukup lama. Tubuhnya masih harus beradaptasi dengan dingin yang menggigil. Ia tidak yakin jika dua helai selimut bisa membuatnya terlelap nanti malam.

Kamar yang Yuuri masuki berukuran 4x6 meter. Cukup luas untuk kamar yang hanya diisi oleh ranjang king size, nakas, dan sebuah lemari jati dengan tiga pintu. Hampir seluruh lantainya ditutupi dengan karpet tebal. Meski demikian, Yuuri enggan untuk melepas sandal rumahan yang ia ambil dari balik pintu ruang tamu.

Kesan pertama yang Yuuri dapat dari rumah ini adalah rapi. Semua barang tersimpan di tempatnya, termasuk di dalam kamar. Tidak banyak barang, memang. Entah Fauzan sendiri yang terbiasa merapikan atau ada orang lain yang biasa membantunya. Namun, Yuuri bisa menyimpulkan bahwa Fauzan termasuk orang yang disiplin.

Ruangan yang paling menyita perhatiannya setelah berkeliling tadi adalah ruang baca. Ruangan seukuran kamar yang harus dilaluinya sebelum mencapai kamar tidur itu terdiri atas rak-rak buku yang tinggi. Berjilid-jilid kitab tersusun membentuk tulisan menyerupai kaligrafi Arab. Terdapat sebuah kursi dan meja kerja di tengahnya. Di sisi kanan ruangan, sebuah sofa dengan sandaran rendah terpajang.

Suara iqomah menggema. Yuuri segera bergegas mengambil air wudhu. Ia kembali mengernyit ketika air yang menyentuh kulitnya lebih dingin dari perkiraan. Sebenarnya tubuh Yuuri sudah pernah terbiasa dengan suhu dingin pada musim salju di Jepang. Namun, itu dulu. Kini, ia harus mulai membiasakannya lagi.

Selepas berjamaah magrib Fauzan rupanya tidak langsung pulang, melainkan mengisi kajian tafsir Al-Qur'an sekitar tiga puluh menit di masjid. Yuuri menyimak dari dalam kamar sembari menekuri ponselnya setelah memberi kabar kepada orang rumah. Setelah salat isya, Fauzan baru kembali ke rumah untuk menjemputnya.

Letak aula tepat berada di sebelah masjid. Sepertinya aula tersebut bisa menampung sampai ribuan orang. Mungkin memang sengaja dibangun untuk acara-acara massal.

Yuuri tidak menyangka jika santri yang mondok dan mengikuti acara--yang katanya--ramah-tamah itu jumlahnya bisa mencapai ratusan. Mereka dipisah oleh hijab setinggi orang dewasa antara santri putra dan putri, dengan beralaskan karpet yang bisa digulung kembali selesai acara. Para pengajar duduk berjejer di depan mereka.

Wanita itu merapatkan mantelnya untuk mengusir sedikit gugup yang datang ketika harus maju dan memperkenalkan diri. Rupanya acara ini khusus dibuatkan untuknya, semacam acara penyambutan. Acara yang berlangsung kurang dari satu jam itu ditutup dengan makan-makan. Para panitia telah menyiapkan hidangan dengan menu utama daging kambing, serta beberapa kudapan ringan. Menurut Fauzan, mereka sampai memotong tiga ekor kambing dewasa dari kandang.

"Kok nggak bilang kalau bakalan ada acara semacam sambutan?" Yuuri protes saat mereka sudah tiba di rumah. "Aku ngerasa nggak enak karena tidak mempersiapkan apa-apa."

"Tapi tadi para santri antusias, kok."

"Antusias makannya?" Yuuri menoleh pada Fauzan yang berjalan di belakangnya.

Laki-laki itu terkekeh melihat ekspresi Yuuri. "Ya ... antusias waktu nyimak kamu memperkenalkan diri, lah. Ruangan tiba-tiba hening. Kamu tadi sadar, nggak? Kayaknya kamu ada bakat juga jadi pembicara."

"Itu karena mereka ingin tahu istrimu seperti apa. Apakah sesuai dengan ekspektasi mereka atau tidak." Yuuri kembali merengut. "Apalagi tadi ada santri yang tanya hafalanku sudah berapa juz. Rasanya kayak ditampar bulak-balik sama anak TK. Eh, kita nggak tidur sekamar, kan?" Yuuri melotot saat Fauzan masih mengekor ke kamar. "Tadi aku lihat di rumah ini ada kamar kosong di depan."

"Kamar tamu?" Fauzan mengernyit. "Kalau saya tidur di sana, nanti orang-orang bisa curiga, apalagi kita masih pengantin baru. Rumah ini letaknya paling depan. Kalau ada orang yang ke masjid pasti bisa lihat lampu di kamar nyala atau tidak. Kamar itu biasanya nyala kalau ada tamu atau keluarga yang menginap." Fauzan menjelaskan.

"Tidurnya sambil matiin lampu kan bisa." Yuuri memberi saran. Ia tidak bisa membayangkan jika harus tidur lengkap memakai kerudungnya. Walaupun ia sudah syah menjadi istri, tapi kan ....

Fauzan masuk tanpa mempedulikan protes istrinya. Ia lalu duduk di atas tempat tidur sambil mengembuskan napas panjang.

"Kalau kita tidur terpisah, gimana mau saling kenal?" Ia menatap Yuuri yang ikut mengembuskan napas panjang. "Pelan-pelan saja. Kita mulai sebagai teman. Bagaimana?"

"Aku hanya belum siap." Suara Yuuri berupa gumaman. "Aku harap kamu bisa ngerti."

"Tentu. Kita harus berusaha untuk saling mengerti, karena sebelumnya kita memang tidak saling mengenal. Oh iya, mau dipanggil apa? Rasanya kurang nyaman kalau panggil saya-kamu."

"Panggil nama saja," usulnya.

"Saat di depan banyak orang? Kita tidak bisa saling menyebut nama, kan? Apalagi saat di depan santri."

Yuuri menggeleng, tidak punya ide. "Selama ini mereka menyebutmu apa?"

"Aa Fauzan."

Yuuri merasa kurang suka dengan panggilan itu. Apalagi saat tadi Aida memanggil Fauzan dengan sebutan Aa. Terlalu akrab.

"Bagaimana kalau aku panggil Kakang?"

Fauzan memiringkan kepalanya. "Kakang? Terdengar seperti seorang Kakang Prabu." Tiba-tiba ia tergelak. "Kalau begitu kamu bisa dipanggil Nyai atau Neneng. Kita jadinya kayak sebutan tokoh di film-film laga kolosal."

Yuuri tidak membalas olokan Fauzan. "Panggil Neneng saja. Atau cukup dengan Neng," tutupnya.

***

Eh sudah ganti hari lagi, ya.
Tadi ketiduran 😅


Merapal Cinta Tertulis [Completed]Where stories live. Discover now