Prasangka

1K 114 3
                                    

“Mah,” Kireina menatap sosok yang sedang menyendokkan nasi ke dalam piring. Wajahnya terlihat letih.

Malam ini mereka hanya makan berdua. Papah tidak pulang karena sedang mengikuti seminar dua hari di Bogor, sementara kakaknya masih belum pulang dari Jepang.

Wanita–yang rambut hitamnya sudah diselingi beberapa helai uban yang nampak–itu hanya menoleh, lalu melanjutkan mengisi piringnya dengan ikan balado dan tumis acar yang dimasaknya tadi sore, sepulang mengajar.

“Ada apa?” tanya Mamah saat Kireina belum membuka suaranya lagi.

Setelah lama terdiam, akhirnya gadis itu melanjutkan. “Kenapa Papah mengizinkan Kakak ke Jepang?” tanyanya sambil mengambil kerupuk dari toples.

Mamah mengangkat dagu, menatap anak bungsunya.

“Kenapa?” tanya baliknya sambil meletakkan sendok yang siap ia masukkan ke dalam mulut. “Memangnya kenapa kalau kakakmu diizinkan pergi?”

Kireina menggigit kerupuk yang dipegangnya sambil kepalanya terlihat sedang berpikir. Mamah hanya tersenyum menanggapi tingkah putrinya, lalu kembali melanjutkan suapan.

“Apa Papah tidak pernah berpikir kalau Kakak hanya mencari alasan untuk bisa pergi dari rumah?” Tangannya sudah sibuk memotong-motong kerupuk putih bundar yang ukurannya hampir menyamai piring. Terlalu besar untuk digigitnya langsung.

“Maksudnya bagaimana?” Kali ini wanita itu tidak mengalihkan pandangannya ke arah seberang meja dan melanjutkan suapan.

“Bagaimana kalau kakak tidak kembali? Bagaimana kalau kakak memilih kabur dengan--”

Astaghfirullahal ‘adzim!” potong Mamah dengan keras.

Hampir saja Kireina menyemburkan kerupuk dari mulutnya. Dia terkaget saking nyaringnya suara istighfar Mama yang mengingatkannya untuk berhenti mengoceh.

“Ini hanya seandainya.” Kireina meralat dan memberikan penekanan pada kata seandainya. Tangannya memungut serpihan kerupuk yang tercecer di atas meja.

“Tidak usah berandai-andai, sebab bisa membuka pintu masuk setan.” Mamah menatap putrinya dengan penuh perhatian. “Sesama muslim itu harus berusaha menghadirkan prasangka baik diatas prasangka buruknya. Apalagi terhadap saudara sendiri,” ceramahnya. "Kirei harus berprasangka baik sama Kak Yuuri."

"Bukannya Kirei mau berprasangka buruk sih, Mah. Hanya berjaga-jaga saja. Waspada boleh, kan?" Matanya balas menatap sepasang mata yang sudah mulai menampakkan keriput di sudut-sudutnya.

Mamah menggeleng-gelengkan kepala menanggapi komentar putrinya itu. “Kirei tidak percaya sama kak Yuuri?” tanya Mamah kemudian sambil memotong ikan dengan sendok di atas piringnya.

"Kirei percaya kak Yuuri, tapi ...” Kirei menggantung kalimatnya.

“Tapi?" Mamah mengalihkan fokusnya dari piring. "Papah juga percaya kakakmu. Tanpa tapi,” lanjutnya. “Kepercayaan orangtua terhadap anaknya itu tak ada kata ‘tapi’-nya. Jika percaya, mereka harus mempercayainya seratus persen. Kepercayaan yang diberikan orangtua akan membuat sang anak lebih bertanggung jawab. Itu yang Papahmu inginkan.”

“Kirei percaya kak Yuuri, tapi Kirei juga tahu bagaimana perasaannya terhadap kak Kento selama ini,” jelasnya lagi.

Terdengar helaan napas panjang.

“Mamah bisa membayangkan perasaan kakak sekarang?” Kireina kembali memandangi kedua netra wanita yang duduk di hadapannya.

“Bagaimana rasanya menjalani hubungan jarak jauh selama tujuh tahun, tapi tiba-tiba kekasihnya menghilang tanpa kabar? Bagaimana rasanya saat menyadari bahwa orang yang dicintainya tidak menepati janji untuk datang melamar? Bagaimana rasanya saat tahu bahwa sudah dijodohkan dengan seseorang yang belum dikenal sebelumnya? Bagaimana perasaannya saat kembali bertemu dengan laki-laki yang dirindukannya?” Kireina terus bertanya, mencari rasa di kedua manik ibunya.

“Perasaan kakak sangat terluka, bukan?” Kirei menutup dengan pendapatnya. "Bukankah sampai malam ini Kakak belum memberi kabar setelah tadi siang bertemu dengan Kak Kento di Kyoto? Kakak belum menghubungi Mamah lagi, kan? HP-nya mati, atau ... bisa jadi sengaja dimatikan." lanjut gadis itu saat tidak mendapat jawaban.

Wanita yang dipanggil Mamah itu masih terdiam. Kekhawatiran itu juga sempat menelusup di hatinya, walau sempat dienyahkanya jauh-jauh.

"Mungkin handphone-nya memang mati. Bisa jadi kakakmu sedang kecapean lalu ketiduran, tidak sempat mengisi batreinya. Berhenti berpikir negatif."

Kireina tidak mengalihakan pandangannya dari wajah wanita di hadapannya yang sekarang mulai memucat. "Mamah juga sempat khawatir, kan?"

Mamah menyimpan sendoknya lagi. "Lalu apa yang bisa kita lakukan? Menyusulnya? Mamah rasa tidak. Kakakmu sekarang sudah dewasa. Pikirannya sudah lebih terbuka. Kita doakan saja semoga semuanya berjalan lancar dan kakakmu pulang dengan selamat."

"Semoga saja. Semoga Kak Yuuri tidak mencoba pergi seperti waktu itu." Kireina tidak melanjutkan kalimatnya. Pikirannya tersedot pada kejadian tujuh tahun silam, saat kakaknya menolak pulang setelah bertengkar hebat dengan Papah.

Untung saja waktu Kireina bisa segera mengejar dan menemukan keberadaan kakaknya di sebuah taman yang temaram, sementara malam itu sudah mulai turun hujan. Akhirnya kakaknya mau pulang setelah dibujuk dengan susah payah.

Kala itu, Papah baru mengetahui hubungan kakaknya dengan Kento. Papah marah besar.

Beberapa menit kemudian meja makan menjadi hening. Sesekali hanya terdengar suara sendok yang beradu dengan piring.

“Lalu Mah, kalau-seandainya-jika-apabila," ucap Kiren lagi. "Seumpama Kakak benar-benar tidak pulang. Amit-amit." Kirei mengetuk meja dengan punggung jemarinya. "Terus, bagaimana dengan perjodohan itu?” Matanya bersinar penuh ingin tahu.

Mamah yang telah selesai dengan makan malamnya mengambil air minum sebelum menjawab. “Mamah kan punya dua anak gadis,” jawabnya enteng.

Refleks, gadis yang memiliki bentuk bibir tipis bergelombang itu terbatuk karena tersedak.

"Jangan bilang Mamah mau menukar perjodohan." Kirei kembali bersuara setelah berhasil meredakan batuknya.

Wanita itu terkekeh. "Memang Kirei bersedia?"

"Ya nggak, lah. Kirei mau nyari calon suami sendiri, nggak perlu pakai jodoh-jodohan."

Tiba-tiba kedua ujung alis Mamah tertaut di tengah saat menyadari sesuatu, sambil mengamati air muka serius gadisnya. “Kirei,” ucapnya. “Kenapa dari tadi kamu hanya makan kerupuk?”

Merapal Cinta Tertulis [Completed]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora