Konfirmasi

1.9K 156 12
                                    

Yuuri kembali mendesah dan menghembuskan napas kuat-kuat, membuat Fauzan mengangkat wajahnya dari atas piring. Ia merasa sudah berada di ambang batas kemampuan untuk menahan diri. Harus ia akui, pengendalian dirinya tidak sebagus Fauzan.

"Kenapa?" tanya laki-laki di hadapannya heran. Jika mau menghitung, mungkin itu desahan istrinya yang kesekian puluh kali selama di meja makan malam ini.

Wanita itu meletakkan sendoknya di atas piring dan menggesernya ke samping. "Tadi siang aku lihat kalian keluar dari sekretariat Yayasan." Yuuri langsung ke inti persoalan.

"Siapa? Saya dan Ustaz Yusuf?" Fauzan menyebut nama suami Aida.

"Juga Aida dan Fatimah," sambung Yuuri.

Mata laki-laki itu melebar "Kamu kenal Fatimah?" Suaranya masih terdengar datar.

"Ya. Aida pernah memperkenalkan kami saat acara tasyakuran waktu itu. Setahuku, Fatimah sekarang sedang ta'aruf dengan seseorang." Yuuri memperhatikan dengan seksama raut wajah suaminya.

"Oh, iya," jawab Fauzan pendek. Ia lalu melanjutkan suapannya yang masih tersisa di piring.

"Jadi, dugaanku benar?" Yuuri kembali memulai setelah hening beberapa saat. Ia sudah benar-benar kehilangan selera menghabiskan makanannya.

Sendok yang dipegang Fauzan menggantung di udara. "Tentang apa? Itu makanannya nggak dihabiskan? Sini, biar saya bantu rapikan." Alih-alih menanggapi, Fauzan malah menggeser piring Yuuri ke dekatnya dengan tangan yang lain.

Wanita itu kembali mendengkus. "Aku lagi serius!" Suaranya terdengar antara putus asa dan meminta perhatian.

"Saya juga serius, tapi masih belum selesai makan." Laki-laki di hadapannya masih sibuk dengan isi piring milik Yuuri. "Dengar, kok. Lanjutin aja," lanjut Fauzan tanpa menoleh.

Ingin rasanya Yuuri menelan bulat-bulat laki-laki cuek yang ada di hadapannya, seandainya mampu. Fauzan sudah menguji kesabarannya sejauh ini.

"Kenapa diam?" Laki-laki itu sudah menumpuk piring kotor di salah satu ujung meja. Ia memperbaiki duduknya dengan santai dan sudah siap menyimak.

Lagi-lagi Yuuri menghela napas sebelum mulai bicara. "Apa ini sudah direncanakan sejak awal?" Kali ini ia berhasil menahan diri supaya intonasi suaranya tetap stabil.

"Maksudnya?" Fauzan memiringkan kepala supaya bisa melihat ekspresi Yuuri lebih jelas. Wajahnya menyiratkan kalau ia memang tidak mengerti.

"Kamu menikahiku, lalu akan menikahi wanita lain."

Yuuri memegangi dadanya. Sakit. Seperti ada aliran panas yang menggelegak di sana. Bukan hal mudah baginya untuk mengucapkan kalimat barusan. Hatinya sudah teriris. Air matanya pun siap meluap, seandainya Fauzan memberikan respon yang tidak sesuai dengan harapan. Dia memang belum rela berbagi ataupun melepaskan, tapi harus segera membuat semuanya menjadi terang benderang.

"Saya tidak mengerti." Dahinya mengernyit. "Apa hubungannya antara tadi siang dengan menikah? Oh, jangan bilang kalau ...?" Mulutnya yang masih terbuka tidak sanggup menyelesaikan kalimat.

"Kamu mau menikahi Fatimah, kan?" Satu air matanya lolos. "Kamu menikahiku hanya karena balas budi dan tidak benar-benar berniat menjadikanku pendamping. Untuk membesarkan pesantren ini, jelas kamu butuh wanita lain." Ia segera mengusap pipinya yang tiba-tiba basah. Kalimatnya barusan penuh dengan penekanan. Ia tidak tahu jika emosinya bisa meledak secepat itu.

Mulut Fauzan masih menganga. Matanya tidak berkedip demi mendengarkan Yuuri memuntahkan kalimatnya.

"Astagfirullah! Kenapa sampai berpikiran ke sana? Saya tidak pernah sekalipun berniat menduakanmu dari awal. Demi Allah!" Matanya membulat, masih tidak percaya. "Saya tidak akan berbuat senekat itu, Yuuri. Kamu bisa memegang perkataan saya."

Ada geleyar lain yang menyusup ke dadanya. Hangat. Sumpah Fauzan menghujam langsung ke jantungnya, menentramkan, walaupun diucapkan dengan intonasi tinggi. Ia tidak menduga laki-laki itu akan mengucap sumpah, demi mengonfirmasi kecurigaannya semata.

Seketika pipi Yuuri merona, menyadari kesalahannya lain yang baru dibuatnya. Entah harus senang atau malu, Yuuri balik bertanya. "Jadi, maksudmu kalau asumsiku salah?" Suaranya sedikit terbata.

Fauzan mengangguk. "Tentu saja salah! Apa karena tadi siang melihat Fatimah juga keluar dari sekretariat?" Ia masih menatap Yuuri jengah. "Tadi saya di sana untuk membahas alokasi dana dari donatur untuk rencana perluasan bangunan pesantren, dengan Ustaz Yusuf. Aida, Fatimah, dan ibunya ada di ruangan lain. Mungkin benar, mereka sedang membahas proses ta'aruf, tapi bukan dengan saya, melainkan dengan ustaz Hamzah. Tadi kamu lihat ustaz Hamzah keluar dari sana?" Suara Fauzan kembali normal.

Tenggorokan Yuuri tercekat. Jadi ia telah salah menduga?

"Kenapa tadi nggak langsung bertanya? Kamu bisa manggil, kan? Pantas saja tadi jadi uring-uringan. Ternyata cemburu." Fauzan mulai mengulas senyum kecil.

"Siapa yang cemburu?" kilahnya seraya berpaling.

"Oh iya." Fauzan mengubah nada suaranya dan meletakkan kedua tangan di atas meja, menatap Yuuri lebih serius. "Kento mau kembali ke Jakarta besok pagi. Ia mempercepat rencananya karena tempat barunya berkerja ternyata memajukan jadwal. Saya sudah merekomendasikan seorang ustaz untuk tetap bisa membimbingnya nanti di sana."

"Kenapa?" Yuuri menatap suaminya. "Kenapa harus memberitahuku?" tanyanya tidak mau tahu, atau mungkin— lebih tepatnya—karena tidak ingin disalahkan.

"Supaya kamu tidak menuduh saya telah mengusirnya." Senyumnya melebar.

"Mengusir karena cemburu?" tegas Yuuri. "Tadinya kupikir begitu. Kamu akan mengusir Kento karena marah setelah mendapati kami sore itu di jalan."

Kini giliran Fauzan yang menghela napas. "Saya memang marah dan cemburu, tapi mengusir Kento dari sini bukan keputusan bijak. Dia seorang mualaf dan saya tidak bisa semena-mena mengambil tindakan. Terlebih saat Kento meminta maaf dan berjanji untuk tidak mengusikmu lagi. Dan saya percaya."

"Lalu, kamu memilih tidak mempercayaiku?" Yuuri menekuk bibirnya, lalu melipat kedua tangan di depan dada, pura-pura tersinggung.

"Siapa bilang?" Fauzan malah terkekeh. "Saya tidak bilang kalau tidak mempercayaimu, kan?"

"Tapi kamu menghukumku untuk merenung selama tiga hari!" Wanita itu mengacungkan tiga jarinya untuk mengingatkan. "Apa kamu menghukum Kento juga? Tidak, kan? Padahal dia juga tidak mengaku dari awal kalau mengenalku. Itu namanya tidak adil!" Yuuri melengos.

"Jadi kamu sudah tahu kesalahanmu yang lain?"

Yuuri tidak mau menjawab, lantas berdiri. Fauzan pasti senang karena telah berhasil menggodanya. Namun, laki-laki itu tidak membiarkan istrinya kabur.

"Jawab dulu!" perintahnya sambil menarik tangan Yuuri, supaya wanita itu mau kembali duduk di kursinya semula.

Yuuri memandang sebal ke arah Fauzan karena merasa tengah dipermainkan. "Jangan membuat suamiku cemburu!" jawab Yuuri asal, yang kemudian mendapat cubitan gemas di pipinya.

"Seratus!" seru Fauzan, mengabaikan Yuuri yang mengaduh. "Nanti-nanti kalau mau keluar izin dulu, ya. Kamu kan sudah jadi tanggung jawab saya." Fauzan sudah menangkupkan kedua tangannya di pipi Yuuri. "Saya belum siap cari pengganti kalau ada apa-apa sama kamu. Aww!" Fauzan mengusap pinggangnya yang mendapat serangan balasan dari jurus kepiting Yuuri yang tiba-tiba.

Merapal Cinta Tertulis [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang