Amarah

1.1K 134 9
                                    

Tubuh Yuuri seperti melayang saat Fauzan menatapnya lekat, sebelum mata itu beralih pada Kento yang juga berdiri mematung. Tatapan mata Fauzan terasa menghakimi, bak tengah memergoki sepasang kekasih yang tengah berduaan memadu kasih dan tak sempat membela diri. Ada getar amarah yang wanita itu rasakan dari gestur tubuh yang tidak biasa.

Tanpa diperintah, Yuuri langsung menghampiri suaminya dengan kepala yang tertunduk dalam, tidak berani menatap kedua mata itu lagi yang mengisyaratkan luka. Ia menyadari kesalahan yang telah diperbuatnya, jauh sebelum kejadian sore ini.

Fauzan memutar motor setelah Yuuri selesai mengenakan atasan jas hujannya. Tanpa mengucap sepatah kata pun, ia menjalankan motor dan meninggalkan Kento, begitu Yuuri naik ke atas motor.

Dengan tangan gemetar, Yuuri mengeratkan pegangannya pada pinggang Fauzan. Laki-laki itu tidak merespon dan hanya menatap lurus jalan di depannya. Tidak ada ada yang memulai percakapan, hingga mereka tiba di depan rumah.

"Maaf," lirih Yuuri saat Fauzan melepas jas hujannya dan beranjak ke dalam. "Tadi aku--"

"Segera mandi dan ganti pakaian, sebelum kedinginan," perintah Fauzan tanpa melihat lagi ke belakang. Ia berjalan mendahului, lalu beranjak ke dapur.

Yuuri menghembuskan napas berat. Ucapan maaf tentu tidak akan menghapus kesalahannya begitu saja. Namun, setidaknya Yuuri berharap Fauzan akan memberikannya kesempatan untuk sekadar menjelaskan, supaya tidak terjadi kesalahfahaman yang lebih fatal lagi. Fauzan tentu telah melihat semuanya. Dengan tanpa dijelaskan pun ia akan tahu, jika Yuuri dan Kento telah saling mengenal. Lebih dari itu, kedekatan mereka sebelumnya dapat terindera dengan mudah dari bahasa tubuh masing-masing.

Hal yang ingin Yuuri lakukan di bawah guyuran air hangat kemudian adalah menangis sepuas-puasnya, tapi segara ia urungkan. Saat ini ia harus cepat berpikir dan mencari cara supaya Fauzan mau mendengar penjelasannya, walau hanya terkesan mencari alasan. Membayangkan Fauzan yang sepanjang perjalanan tadi terlihat hanya mengeraskan rahangnya--dari kaca spion--saking menahan amarah, justru membuat Yuuri semakin ketakutan. Ia tidak bisa menilai sebesar apa kemarahan suaminya, dan itu bahkan lebih daripada berbahaya.

Sebuah cangkir berisi susu jahe hangat mengepulkan asapnya di atas nakas. Yuuri tahu jika Fauzan sengaja meletakkan minuman itu untuknya di sana. Dari arah depan, terdengar suara Aida menanyakan kabar Yuuri pada Fauzan.

Apakah Fauzan sudah mengganti pakaian basahnya? Yuuri mengejar ke depan. Tentu Fauzan akan menuju masjid karena kumandang maghrib baru saja menggema.

"Teteh tidak apa-apa?" tanya Aida dengan nada khawatir, menghadang langkah Yuuri yang tadi berlari keluar dari kamar.

Fauzan yang sudah mencapai pintu tidak lantas menoleh, meskipun tahu kehadiran Yuuri di sana.

"Eh iya," jawab Yuuri ragu, sambil matanya terus mengamati tubuh Fauzan yang menghilang di balik dinding rumah.

"Tadi A Fauzan kelihatan khawatir banget waktu tahu teh Yuuri tidak ada," lapor Aida. "Rumah tidak dikunci, tapi teh Yuuri tidak bisa ditemukan di mana-mana. Telepon juga tidak diangkat dan katanya HP teh Yuuri ditemukan di kamar."

Yuuri terduduk di salah satu kursi tamu.

"Benar teh Yuuri tidak apa-apa? Teteh dari mana?" Ia menyelidik. "Tadi bahkan Aida meminta beberapa santri untuk bantu mencari di dalam pesantren, tidak ketemu."

"Tadi hanya berjalan di belakang kebun."

"Lalu? Tembus ke jalan bukit?" Bola mata Aida seperti hendak meloncat keluar.

Yuuri hanya bisa mengangguk.

"Itu yang membuat A Fauzan tadi terlihat kesal dan marah?" Aida seperti bertanya pada diri sendiri. "Tapi sepertinya bukan karena itu. Tadi A Fauzan mengkhawatirkan kesehatan Teh Yuuri, tapi tidak akan semarah itu jika berhasil menemukan Teteh baik-baik saja." Ia menatap Yuuri penuh tanda tanya. "Apa kalian bertengkar di jalan?" tanya Aida pelan-pelan. Lalu, ia kembali meralat. "Eh maaf, bukan bermaksud mau ikut campur. Abaikan saja pertanyaan Aida."

Yuuri tidak menanggapinya, ia balas menatap. "Apa Aida pernah melihat Kakang marah?"

Aida memiringkan kepalanya dengan bola mata yang diputar ke atas "Tidak, seingat Aida tidak pernah. Ini pertama kalinya Aida melihat ekspresi seperti itu. Maksud Aida, jika marah pada santri yang melakukan pelanggaran, itu sudah biasa, dan biasanya hanya sesaat."

Terdengar helaan napas berat dari hidung Yuuri.

"Setahu Aida, A Fauzan bukan tipe orang yang pendendam. Mudah-mudahan sepulang dari masjid nanti kemarahannya sudah reda. Tidak usah khawatir." Wanita itu kemudian tersenyum dan segera undur diri, karena iqomah sudah terdengar dari pengeras suara masjid.

Namun perkiraan Aida meleset. Fauzan masih menampakkan wajah yang sama sepulang dari berjamaah salat isya di masjid. Yuuri sudah menyiapkan makan malam untuk mereka di dapur, tapi Fauzan beranjak ke ruang baca dan malah membuka laptopnya.

"Saya sudah masak barusan. Mau makan sekarang?" Yuuri memberanikan menganggu keasyikan Fauzan yang sedang menuliskan sesuatu di keyboard-nya.

"Nanti saja, saya belum lapar." Tatapan laki-laki itu tidak beralih dari layar laptopnya.

Yuuri mengambil tempat duduk di sofa kecil dekat pintu kamar, lalu menghela napas panjang sebelum memulai. "Berikan aku kesempatan untuk menjelaskan semuanya."

Fauzan tampak tidak menghiraukannya. Ia masih terfokus pada benda di hadapannya.

"Tadi sore aku hanya berniat ke kebun belakang." Yuuri berhenti sejenak dan mengamati Fauzan yang bangkit menuju salah satu rak bukunya. Tangannya menjelajah deretan buku dan mengambil salah satunya, kemudian kembali duduk. Ia lantas membuka daftar isi dan menemukan halaman yang sedang ia cari.

"Aku dan Kento tadi--" Kalimat Yuuri terhenti dan hampir saja ia melonjak dari tempat duduknya saking kaget. Buku yang tadi dipegang Fauzan ditutup dengan keras dan diletakkan dengan kasar di atas meja.

"Sekarang saya lapar," katanya setelah memejamkan mata sejenak, lalu bangkit.

Belajar dari kejadian tadi, Yuuri tidak berani membuka suara ketika keduanya sudah berada di meja makan. Ia membiarkan Fauzan menghabiskan makanannya, kemudian buru-buru membereskan semua piring yang ada di atas meja. Walaupun terdengar konyol, tapi bisa saja Fauzan menjatuhkan piringnya dengan keras seperti buku tadi. Begitulah kemungkinan yang sempat melintas di kepala Yuuri.

"Aku memang bukan Aisyah yang Allah bebaskan dari fitnah dengan turunnya surat An-Nuur ayat 11," Yuuri mengutip kisah yang pernah ia dengar saat Fauzan menceritakan kisah yang melatarbelakangi turunnya ayat tersebut. Saat itu Ummul Mukminin--Aisyah--difitnah berselingkuh dengan sahabat bernama Shafwan sepulang dari perang bersama Rosullulah, karena tertinggal rombongan. Allah membebaskan tuduhan tersebut dengan turunnya ayat, karena memang Aisyah tidak berselingkuh, sementara gosip semakin menyebar dengan cepat.

Seketika Fauzan menatap Yuuri dan kembali mendudukkan dirinya di kursi.

"Setidaknya, dengarkan dulu penjelasanku." Yuuri kembali mengendalikan situasi. "Setelah itu, kamu boleh memutuskan apakah aku bersalah atau tidak. Aku tidak akan protes dengan keputusanmu nantinya. Aku akan terima."



Merapal Cinta Tertulis [Completed]Where stories live. Discover now