Terberat

1.2K 137 5
                                    

Ada yang berbeda dengan pantulan wajah Yuuri di cermin pagi ini. Ia memperhatikan dengan seksama wajahnya yang terlihat lebih segar dibanding beberapa hari lalu, saat pertama kali ia tinggal di sana. Walau tadi hanya menyapukan lip cream merah tipis-tipis di bibirnya, tapi aura merahnya sudah menular sampai ke pipi.

Setelah merasa penampilannya terlalu berlebihan, Yuuri menghapus kembali bibir menggunakan tisu, lalu menggantinya dengan lip tint berwarna nude.

Entah kenapa, setelah malam itu Yuuri merasa hubungannya dengan Fauzan lebih mencair dan tidak sekaku dulu. Mereka sudah mulai bisa saling melempar canda, walau masih menjaga batasan. Kendati demikian, ia masih saja merasa canggung saat Fauzan mendapatinya tidak sedang mengenakan kerudung.

"Nggak apa-apa kalau mau berhias untuk suami," goda Fauzan saat masuk ke dalam kamar dan mendapati Yuuri yang tengah mematung mengamati cermin.

"Apaan, sih? Jangan kegeeran, deh." Yuuri membalas sambil menyunggingkan senyum, lalu beranjak ke luar.

Becanda versi Yuuri dan Fauzan hanya hal-hal semacam itu.

***

"Aku nggak mau belajar tahsin lagi. Malu, salah terus." Yuuri menggembungkan mulutnya dan duduk di tepi ranjang. Ia menghempaskan tas berisi buku di atas kasur. Fauzan yang duduk di sebelahnya mulai melirik dan segera meletakkan ponsel setelah mengirim sebuah pesan.

"Kenapa?"

"Masa sih dari kemarin salah terus? Yang dikoreksi itu lagi, itu lagi. Kapan aku bisanya kalau begini terus?"

Fauzan terkekeh. "Memang apanya yang dikoreksi?"

Yuuri melipat tangannya di dada. Mulutnya masih menggembung, membuat Fauzan gemas melihatnya.

"Kata Aida huruf-hurufku ada hamzah sukun di belakangnya. Mana ada hamzah sukun! Dari dulu huruf hijaiyah kan memang begitu bacanya. Kenapa, mau meledek?" Yuuri membulatkan mata ketika Fauzan menanggapinya dengan tawa yang ia tahan.

"Bukan. Maaf," laki-laki itu mulai mengerem tawanya. "Mulut kamu itu tuh yang lucu. Eh sorry-sorry, jangan marah lagi." Fauzan berusaha agar Yuuri mau melanjutkan cerita, saat wanita di sampingnya melengos kesal.

"Coba, gimana contoh huruf yang Aida bilang salah?" tanya Fauzan begitu tawanya benar-benar berhenti.

"Tiga hari cuma buat benerin huruf a-ba-ta-tsa!" ketus Yuuri, tanpa merubah posisi duduknya.

"Masih mending, lah. Dulu saya dibenerin sama syeikh sampai berbulan-bulan."

Mendengar seorang Fauzan saja harus dibenarkan selama itu, Yuuri mulai tertarik.

"Membetulkan bacaan Al-Qur'an itu butuh proses yang panjang, bukan sesuatu yang instan. Kita harus mau sering dikoreksi supaya bisa istiqomah melafalkan huruf dengan benar. Sampai sekarang saya masih punya guru dan harus menyetorkan bacaan secara berkala."

"Beneran?"

Fauzan mengangguk. "Manusia itu tempatnya salah. Kita harus sering diingatkan supaya tidak banyak melakukan kesalahan. Kalau tidak mau dikoreksi, tidak ada bedanya dengan orang yang sombong."

Yuuri menaikkan sebelah alisnya. "Sombong?"

"Bukan sombong yang itu," jelas laki-laki itu lagi. Kemudian ia mengutip sebuah hadis riwayat Muslim secara utuh, sebab jika separuh saja yang dikutip, khawatir Yuuri salah tangkap.

"Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi.” Ada seseorang yang bertanya, “Bagaimana dengan seorang yang suka memakai baju dan sandal yang bagus?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain."

Merapal Cinta Tertulis [Completed]Where stories live. Discover now