Permulaan

1.2K 132 7
                                    

Antrian tamu undangan yang mengular membuat Yuuri sesekali memijat kakinya secara diam-diam, saat bisa mencuri kesempatan untuk duduk beberapa detik. Tamu yang datang didominasi oleh undangan Papah, Mamah, dan--tentu saja--Fauzan, sementara teman Yuuri yang hadir hanya dua puluh persennya.

Sepertinya Fauzan memang bukan orang sembarangan, terbukti beberapa tokoh ulama, beberapa orang anggota DPR, bahkan seorang menteri yang biasa Yuuri lihat di televisi saja hadir. Walaupun tidak bisa bersalaman, karena alur tamu laki-laki hanya menyalami mempelai pria, Papah, dan ayah Fauzan, setidaknya mereka sempat berfoto bersama.

Akhirnya resepsi berakhir sebelum azan ashar berkumandang. Yuuri bisa bernapas lega, karena akhirnya bisa melepas selop sepatu yang membuat kakinya kesemutan beberapa waktu lalu, juga bebas menyingkap kain penutup di wajahnya yang terasa mulai gerah karena tidak terbiasa. Belum lagi mulut dan pipinya terasa kebas karena hampir seharian tersenyum pada tamu undangan yang mengucapkan selamat. Asal tahu saja, walaupun mulut dan pipinya tertutup, orang akan tahu ia tengah tersenyum atau tidak lewat tarikan garis matanya.  

"Cobain ini, Kak. Ternyata enak, lho." Kirei menghampiri kakaknya yang masih memijat menyandarkan punggung di kursi pelaminan. Di tangannya terdapat piring berisi Qatayef-- pancake Arab yang berisi keju, kacang, apel, puding dan krim--yang menyerupai bulan sabit. Tangannya lalu menyuapi kakaknya yang mengabiskan pancake itu dalam tiga gigitan. "Kelaperan?" Mata Kirei memicing.

"Capek," jawab Yuuri sambil merapikan lagi kain penutup wajah.

"Pantesan Aa Fauzan tadi bilang katanya Kakak kecapean. Kirei disuruh bawain ini."

"Apa tadi? Aa?" Yuuri memiringkan kepalanya.

Kirei mengangguk dengan senyum yang menyembulkan gigi gingsulnya. "Iya, Aa. Tadi Kirei disuruh manggilnya gitu."

Yuuri mengikuti tubuh Fauzan--yang tadi sedang berbincang dengan seorang temannya di kursi belakang beranjak ke pintu keluar--dengan matanya, lalu beralih pada wajah sang adik.

"Mau cobain yang lain lagi, nggak? Mumpung belum ditutup semua buffet-nya. Ada stand Mie Kocok yang masih sisa beberapa porsi. Mau Kirei ambilin?" Senyum Kirei masih mengembang.

Kakaknya hanya menggeleng, sambil bangkit yang dibantu oleh adiknya.

***

Malam ini jatah mereka tidur di rumah Yuuri, sebelum keesokan harinya wanita yang sudah menyandang gelar sebagai istri itu akan diboyong ke Cianjur, Pesantren Daarul Qur'an, yang akan menjadi tempat tinggalnya kelak. Mereka tidak akan menghabiskan malamnya di kamar Yuuri di lantai atas, melainkan di kamar tamu di lantai bawah yang sudah Mamah sulap menjadi kamar pengantin.

Selepas menghabiskan makan malam bersama di ruang makan, Yuuri membantu Mamah dan Kireina merapihkan meja. Fauzan dan Papah masih berbincang di tempat duduknya.

"Sudah, ke kamar saja." Mamah menepuk bahu putrinya. "Ajak suamimu istirahat. Sepertinya dia juga kelelahan."

Yuuri mengikuti arah tatapan ibunya. "Kayaknya masih seru ngobrolnya." Entah canggung atau hanya mencari alasan, Yuuri menjawab.

"Papah bisa lupa waktu kalau suda nemu teman ngobrol yang cocok," bisik Mamah. "Mungkin Fauzan mau pamit istirahat tapi nggak enak."

Yuuri menghela napas panjang, lalu tidak lagi membantah ketika ibunya menyodorkan sebuah nampan yang berisi segelas susu segar dan setoples buah kurma. Hampir saja Yuuri refleks menyeruput gelas susunya jika tangannya tidak ditepuk oleh sang mamah.

"Kak Fauzan sudah mau istirahat? Yuuri mau ke kamar sekarang." Yuuri tidak menoleh lagi, langsung menuju kamar yang hanya berjarak sekitar empat meter dari meja makan.

Papah segera mengerti dan menyuruh menantunya untuk istirahat. Laki-laki itu menurut dan mengekori Yuuri ke kamar setelah pamit undur diri.

Yuuri meletakkan nampannya di atas nakas yang tidak jauh dari tempat tidur. Kakinya masih terasa pegal, hingga tangannya kembali mengurut telapak kakinya di atas tempat tidur.

"Masih pegal?"

Wanita itu mengangguk dan menurunkan kembali kakinya begitu Fauzan mendekat.

"Nggak apa-apa, dinaikkan saja." Laki-laki itu sudah duduk di ujung tempat tidur. "Mana sini kakinya?" 

Awalnya Yuuri ragu, tapi melihat kesungguhan di nada suara Fauzan, akhinya ia mengangkat kembali kedua kakinya ke atas tempat tidur. Lagipula kakinya benar-benar letih, seperti sudah dipaksa keliling lapangan basket seharian.

"Nggak apa-apa?" Keningnya berkerut, memastikan kembali.

Laki-laki di hadapannya mengangguk. Tangannya segera memberikan pijatan lembut di kaki Yuuri yang sempat mengerjap karena kaget. "Saya masih sering memijat kaki Ummi kalau pulang. Walau Ummi hanya di rumah seharian membantu Abi mengurus pesantren, tapi Ummi tidak pernah duduk diam. Pasti ada saja yang dikerjakannya, selain bolak-bolak mengecek santrinya."

Yuuri menyimak. Ia percaya dengan penuturan Fauzan, terbukti bahwa pijatannya bisa membuat otot kakinya mulai mengendur. Lama kelamaan wanita itu mulai menikmati pijatan suaminya.

"Aw!" Yuuri mengaduh saat jari-jari kakinya dipijat dengan jempol tangan fauzan dengan arah melingkar.

"Terlalu kencang?"

Yuuri mengangguk, membuat Fauzan mengendurkan pijatannya.

"Pasti tidak mudah," Fauzan memulai lagi obrolan yang membuat Yuuri mendongak ke arahnya dengan tatapan bertanya. "Akhirnya memutuskan mau menikah dengan saya." Fauzan melebarkan senyumnya.

"Ya," jawab Yuuri jujur.

"Ke depannya juga mungkin bukan kehidupan yang mudah bagi Yuuri, tapi jangan ragu untuk berbagi semuanya dengan saya mulai sekarang." Fauzan menjeda kalimatnya. "Hal apa yang membuat Yuuri merasa berat sejauh ini?" Ia melemparkan pandangan pada istrinya yang tengah menikmati empuknya bantal.

"Hm. Mengajukan surat resign ke kantor?" Kepalanya mulai mengingat. "Itu hanya salah satunya."

Fauzan tergelak walau dengan suara yang tidak terlalu keras. "Ya, maaf. Tapi saya sudah menyiapkan sebuah klinik yang bisa dipakai Yuuri untuk praktek di sana. Nanti kita urus izinnya."

Yuuri mengangguk, tapi matanya terasa begitu berat. Ia tidak tahu pada menit keberapa matanya benar-benar terpejam.

***

"Maaf, semalam ketiduran." Yuuri benar-benar menyesal tertidur saat mengobrol, terlebih saat kakinya masih mendapatkan pijatan lembut. "Mungkin aku benar-benar kecapean semalam." 

Fauzan yang baru keluar dari kamar mandi dengan handuk yang tersampir di bahunya mengulas sebuah senyum sambil mengangguk. Wajahnya masih basah dengan air wudu, membuatnya terlihat lebih segar.

"Jam berapa ini?" Yuuri bangkit dan meregangkan seluruh otot tubuhnya di atas kasur.

"Jam dua. Mau salat bareng?"

Shalat tahajud bareng? Yuuri segera mengangguk dan bergegas beranjak ke kamar mandi yang berada di dalam kamar. Ia tidak ingin melewatkan alunan suara merdu milik Fauzan saat membacakan ayat-ayat dalam Al-Qur'an.

Merapal Cinta Tertulis [Completed]Where stories live. Discover now