Prolog

4.4K 481 27
                                    

Ada banyak kisah yang hebat, tapi hanya segelintir yang betul-betul hebat sehingga layak dibaca.

Aku menggaruk kepalaku untuk yang kesekian kalinya malam ini. Sial, masih belum ketemu juga. Di luar sudah sangat hening, pastilah sekarang malam sudah semakin larut. Sekedar untuk mengecek tebakanku, aku melirik ke jam dinding di seberang ruangan.

Pukul sebelas malam.

Aku kembali menekuni catatanku. Bukan berarti selama ini aku mengabaikannya. Aku sudah menekuni catatan itu selama berhari-hari, mencoba menghubungkan potongan-potongan peristiwa yang sudah kukumpulkan agar menjadi sebuah kisah yang hebat – yang bukan hanya sekedar hebat, tapi yang layak dibaca.

Mungkin kedengarannya sepele. Aku paham, itu alasan yang bisa diterima. Pada dasarnya setiap orang adalah storyteller – pencerita, yang punya kisah untuk diutarakan. Setiap kali baru mengalami sesuatu yang menggugah, pasti kita selalu bersemangat untuk memberitahu orang lain, untuk menceritakannya. Begitu juga dengan keenam orang yang kisahnya sedang coba kutuliskan ini. Sayangnya mereka bukanlah pencerita ulung dan jika tak ada yang bersedia bercerita untuk mereka, aku khawatir kisah-kisah ini akan hilang begitu saja ditelan masa.

Untuk alasan inilah kuputuskan untuk menceritakannya lewat tulisan.

Namun aku masih belum berhasil.

Beberapa kali aku sempat terlena dan mempertanyakan kemampuanku dalam menulis. Oh, ayolah. Aku sudah melakukan ini selama sembilan belas tahun! Meski aku tidak terus-terusan menulis, tapi karya pertamaku rampung saat aku duduk di bangku kelas empat SD. Itu hanyalah sebuah cerita pendek yang betul-betul pendek – maksudku, panjangnya hanya satu halaman saja, tapi waktu itu aku merasa sudah menyelesaikan sebuah mahakarya besar yang pantas dikenang zaman.

Karya itu bertahan seminggu di majalah dinding sekolah, lalu diturunkan dan diganti dengan cerpen baru hasil karya anak lain, yang pastilah menganggap tulisannya adalah sebuah mahakarya agung yang lebih hebat dari tulisanku.

Meski hanya seminggu, tapi tulisan perdanaku itu mendapat sambutan yang lumayan antusias, lho. Aku sendiri kurang ingat ceritanya tentang apa – kalau tidak salah tentang anak kecil yang bersahabat dengan monster. Iya, iya, aku tahu premisnya kekanakkan, tapi hei... waktu itu kan usiaku baru sepuluh tahun. Memang bukan jenis cerita dengan plot twist mengesankan yang bikin para pembaca termangu seperti karya-karya Jo Reinaldo, penulis hebat yang senegara denganku. Namun tetap saja cerpen itu banyak dibaca orang. Dan sejak saat itu pulalah aku mendapat reputasi sebagai penulis. Bahkan Ibu Fina, guru Bahasa Indonesia-ku waktu itu menggadang-gadangkanku sebagai calon penulis hebat masa depan.

Sembilan belas tahun sesudahnya, ramalan Ibu Fina tak terwujud – salah, maksudku, belum. Selama itu aku terus berlatih menulis dan aku yakin bisa menjadi hebat jika diberi kesempatan. Soal kesempatan, nah... ini nih yang sedang kucari-cari. Ada yang bilang kesempatan hanya datang pada mereka yang sudah siap. Nah, sekarang aku sudah siap.

Maksudku, tidak betul-betul siap, sih. Nyaris siap.

Aku harus menuntaskan cerita yang satu ini dulu.

Mungkin sampai di sini kalian bertanya-tanya, cerita apa sih yang sebenarnya sedang coba kutulis? Satu hal yang pasti, ini bukan cerita tentang anak kecil yang bersahabat dengan monster.

Ini cerita tentang orang-orang yang... entahlah. Bagaimana ya mendeskripsikannya dengan benar?

Toh kalau bisa menceritakannya dengan lancar, mana mungkin aku terpaku di kursi ini sejak pagi tadi sambil menggaruk-garuk kepala?

Cerita yang akan kuceritakan ini bukanlah jenis cerita yang pernah kalian dengar atau baca sebelumnya. Kalian pasti berpikir aku gila kalau aku langsung menceritakan semua yang kutahu tentang peristiwa ini sekaligus, tanpa ditata atau diatur terlebih dahulu. Aku bahkan tidak yakin apa ini pantas disebut cerita, kalau aslinya kisah ini hanyalah untaian peristiwa belaka. Tapi sesuatu di dalamnyalah yang membuatnya berharga, menjadikannya tak biasa, sehingga pantas untuk dikenang lewat kata-kata.

Jarum panjang jam dinding sudah bergerak menuju angka enam. Hmm, sebentar lagi tengah malam.

Memang sih, aku tidak akan berubah seperti Cinderella ketika jam dua belas nanti. Namun aku tidak bisa menunda-nunda lebih lama lagi. Entah yang satu ini bakal jadi mahakarya atau tidak, tetapi cerita ini tetap harus dituliskan.

Baiklah kalau begitu. Mari kita mulai....

6 LIVES [TAMAT]Where stories live. Discover now