Bagian 6: Cake

533 196 18
                                    


'Keesokan paginya, para petugas pelabuhan dikejutkan dengan penemuan jenazah seorang gadis berkulit gelap di dermaga. Tubuhnya setengah telanjang dan wajahnya babak-belur bekas dianiaya.

Polisi mencatat penemuan itu sebagai kasus pemerkosaan dan pembunuhan. Mereka menduga pelakunya adalah para preman pelabuhan yang sering bikin onar di daerah itu. Dari hasil investigasi, polisi tahu bahwa korban bekerja di toko jahit Schneider. Frau Schneider bersama kedua pegawainya diinterogasi tentang gadis itu. Mereka terpukul sekali begitu tahu apa yang terjadi. Para saksi mata yang lain juga melihat gadis itu sedang bercakap-cakap dengan seorang pria yang turun dari kereta kuda sore itu, beberapa jam sebelum waktu kematiannya. Tapi saat ditanyai, pria itu juga mengaku tidak tahu apa-apa.

Polisi juga menanyai teman satu kos gadis itu.

Namun Ruth mengaku dia tidak melihat gadis itu lagi setelah dia meninggalkan rumah. Para petugas polisi percaya pada Ruth, karena dia demam. Wajar jika dia tidak tahu apa-apa. Dia tidak mungkin meninggalkan rumah dalam kondisi sakit parah seperti itu. Untuk berdiri saja dia kelelahan, apalagi melacak keberadaan sahabat karibnya yang belum pulang...

Setelah penyelidikan itu tuntas dan pelaku kejahatannya diringkus, kematian Ella hanya dikenang sebagai peristiwa malang yang menyakitkan. Orang-orang di sekitar situ mengenalnya sebagai gadis pintar yang cekatan, dan mereka menyayangkan kepergiannya yang begitu cepat. Mereka juga bersimpati pada Ruth yang kehilangan sahabat baiknya. Mereka tahu Ruth sangat terpukul sampai-sampai tak mampu menitikkan airmata saat penguburan Ella.

Akhirnya Ruth melanjutkan hidupnya seorang diri. Dan sama seperti ketika dia meninggalkan orangtua dan kampung halamannya, dia tidak pernah lagi menengok ke belakang...'

Aku berhenti mengetik karena ada yang menyentuh bahuku.

"Kai, istirahatlah sebentar," tegur kakakku. "Kamu udah mengetik selama berjam-jam, lho..."

Aku mengacungkan kedua tangan di udara dan meregangkan diri. Kakakku benar. Punggungku terasa kaku karena sudah mengetik begitu lama. Namun syukurlah kisah Ruth dan Ella sudah selesai.

Kakakku mengintip sedikit ke layar laptop. "Apa kamu nggak mau menunjukkan hasil tulisan ini ke sahabat baikmu itu?"

Aku memikirkan usulan itu sejenak. "Hmm... gimana ya kak. Takutnya dia nggak suka."

"Lho, bukannya dia udah tahu kalau kamu memang sedang menulis cerita ini?"

"Iya, sih. Tapi..." Aku jadi ragu. Aku tidak keberatan tulisanku dibaca orang lain. Malah rasanya menyenangkan, apalagi kalau mereka mengapresiasinya. Tapi kalau menunjukkan cerita ini ke sahabatku itu, entahlah. Rasanya aneh. Mungkin karena sahabatku itu berperan penting dalam cerita yang kutulis ini.

Kakakku bangkit dan pergi ke dapur. Tak berapa lama dia kembali ke ruang keluarga sambil membawa seloyang cake. "Ini, kakak tadi iseng lihat resep di YouTube dan coba-coba bikin cake susu..."

Aroma susu yang manis tercium dari cake itu. "Wah, kebetulan. Aku lapar, nih. Enak, nggak?"

"Eits! Jangan!" Kakakku memukul tanganku yang sudah siap mencomot sepotong cake. "Antarkan cake ini ke sahabat kamu itu! Sekaligus tunjukkan cerita itu padanya. Kamu kan udah lama nggak mengunjunginya, pasti dia kesepian."

"Aaah, tapi aku mau makan cake dulu."

"Cake untuk kita sedang dipanggang, sebentar lagi siap. Kamu bawa ini ke sebelah dulu..."

Aku menutup laptopku, bangkit dari sofa, dan mengambil loyang berisi cake itu. Kukepit laptop di ketiak, lalu pergi ke luar. Kakakku membantu membukakan pintu.

Di luar, hari sudah menjelang sore. Langit berwarna jingga, pertanda tak lama lagi malam datang. Aku melirik rumah tetangga baru kami di sebelah kanan itu. Rumah itu tampak sepi, tetapi lampu teras depannya sudah dinyalakan. Sampai hari ini, tetangga baru kami ini belum mengenalkan diri. Kalau sampai seminggu lagi dia belum berkenalan, kakakku sudah bertekad untuk mengunjunginya sambil membawa cake.

Aku masuk ke halaman rumah sahabatku itu yang terletak di sebelah kiri rumah kami. Rumput dan semak di pekarangan depannya sudah tumbuh lumayan tinggi. Kakakku benar, aku sudah hampir seminggu tidak kemari. Besok pagi aku akan mampir untuk memangkas rumput dan semak ini supaya rapi kembali. Aku khawatir rumput yang tinggi ini akan jadi sarang ular dan membahayakan sahabatku yang senang jalan-jalan di kebunnya itu.

Aku memindahkan laptop dari ketiak, menjepitnya dengan paha, lalu menekan bel. Terdengar langkah kaki yang diseret-seret perlahan dari dalam rumah. Lalu pintu dibuka.

Sahabatku tampak senang melihatku. Sebuah senyum lebar tersungging di wajahnya yang sudah keriput. "Kai! Wah, akhirnya kamu datang juga! Aku sudah menunggu kapan kamu akan mampir lagi."

"Maaf soal itu, Ruth!" Aku masuk ke dalam rumahnya dan menutup pintu. "Ini, kakakku bikin cake susu. Apa kamu mau mencobanya?"

6 LIVES [TAMAT]Where stories live. Discover now