Roket

489 188 27
                                    




'Korban jiwa tercatat sebanyak seratus dua belas orang. Saat ini Tim SAR masih berupaya mengevakuasi korban lain yang tertimpa reruntuhan...'

Tayangan berita di layar sedang memperlihatkan kondisi sebuah kelurahan yang luluh lantak.

Nino meringis dan menutup aplikasi YouTube itu. Yang baru saja ditontonnya adalah laporan berita terbaru tentang korban dari keanehan cuaca ini. Tanggul darurat yang dibangun pemerintah untuk membendung luapan sungai jebol sehingga satu daerah terseret air. Dan itu bukan satu-satunya kabar buruk. Belakangan korban jiwa akibat hujan tanpa henti ini kian bertambah banyak; ada yang tenggelam, terseret arus, tersengat listrik, tertimpa bangunan ambruk, hingga tersambar petir.

Nino berdoa dalam hati. Semoga semua ini cepat berlalu.

Jalan di depan kompleks rumah petak itu juga jadi korban. Deretan paving block-nya lumat menjadi bubur karena terus-terusan diterjang air. Nino tidak yakin kompleks ini akan bertahan lebih lama. Jika sampai kebanjiran, sepertinya Nino harus membawa Chan mengungsi ke rumah Eyang.

Dia menoleh pada Chan yang sedang tertidur di kasur. Seperti biasa, anak itu terlelap dengan damai, tidak terganggu oleh berbagai peristiwa mengerikan di dunia. Ingin rasanya Nino seperti Chan, tidak ambil pusing dengan rupa-rupa urusan.

Rupanya jadi anak kecil itu memang menyenangkan, ya...

Kedamaian Chan dalam tidurnya seakan menular. Melihatnya saja mampu membuat Nino merasa tenang. Dia tersenyum dan mengusap lembut kepala anak itu. Lalu dia berbaring di tikar di samping kasur dan memejamkan mata.

...

Hari ini Nino libur kerja dan kuliah, jadi dia terbangun agak siang. Chan masih tertidur, hari ini dia juga tidak ke PAUD. Nino bangkit dari tikar dan mulai melakukan tugas-tugasnya.

Yang pertama harus dilakukannya setiap hari adalah menyiapkan sarapan. Biasanya Chan makan roti isi selai, kadang-kadang sereal. Anak itu juga minum susu. Sedangkan Nino, dia menghentikan sarapannya untuk berhemat. Dia lebih memilih makan siang lebih awal, sekitar jam sebelas. Dengan begitu, dia hanya perlu makan dua kali sehari.

Setelah sarapan siap, Nino mulai beres-beres. Dia mencuci piring-piring bekas makan semalam. Ada setumpuk pakaian yang harus dicuci, tapi karena tidak ada panas matahari, jemuran baru akan kering setelah dua tiga hari. Pakaian kotor paling banyak adalah milik Chan – anak itu memang aktif dan suka bermain sampai keringatan. Sebagian baju-baju ini dibeli Nino dengan tabungannya, yang lain adalah pemberian Bertha dan Sakti.

Nino mengisi ember dengan air dan merendam pakaian-pakaian itu dulu dengan detergen. Lalu dia mengambil sapu. Saat lewat di kamar, dilihatnya Chan masih tertidur di kasur.

Sudah hampir jam delapan. Kenapa Chan belum juga bangun? Dia mendekati anak itu dan menggoyangnya sedikit. "Chan? Bangun, yuk. Sarapan udah siap."

Tidak ada jawaban.

Nino membalik tubuh Chan. Astaga, dia panas sekali! "Chan, bangun..."

Chan bergerak sedikit. "Papa?"

"Iya. Kamu kenapa? Badannya panas, ya?"

Chan membuka matanya sedikit menatap Nino lalu mengangguk.

"Ya udah. Kamu bangun, sarapan habis itu minum obat, ya?"

Chan mengangkat tubuhnya sebentar tapi jatuh lagi ke kasur. Dia memegang tangan Nino dengan gemetar. "Chan capek."

"Capek?" Nino mengusap-usap dahi, dada, dan lengan anak itu. "Maksud kamu lemas?"

6 LIVES [TAMAT]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt