Pergi

508 191 3
                                    


"Menikah? Mama serius? Ini bukan bercanda, kan?"

Ibu Ruth mengangguk, wajahnya berseri-seri. Ruth belum pernah melihat ibunya segirang itu.

"Iya. Hermann sedang berbicara dengan ayahmu." Ibu Ruth menunjuk pintu ruang tamu yang tertutup. "Bagus sekali, kan? Mama tidak tahu kalau ternyata kalian saling suka!"

"Saling suka? Aku nggak suka sama Hermann!"

"Mama dan Papa lihat sendiri kalian pulang berdua tadi malam. Sudahlah, tidak perlu ditutup-tutupi lagi. Ini alasan kenapa kamu sering mengajak Hermann mengobrol, kan?"

Apa aku harus memberitahu Mama soal kejadian yang sebenarnya tadi malam? Ruth memutar otak. Harus ada cara lain. "Tapi... kenapa tiba-tiba sekali membicarakan pernikahan?"

"Karena umurmu sudah delapan belas tahun, Ruth! Kamu sudah jadi perawan tua!"

"Perawan tua?" Ruth sama sekali tidak merasa tua. "Aku baik-baik saja, Ma!"

"Dengar, gadis-gadis lain seusiamu sudah menikah. Si Lila tetangga kita yang seumuran dengan kamu saja sedang hamil anak kedua. Apa kamu tidak malu sudah setua ini masih belum menikah?"

Pada masa itu, perempuan seperti berlomba-lomba untuk menikah sedini mungkin. Gadis-gadis yang sudah menstruasi dianggap sudah matang dan siap menikah.

Kemarahan menyala di dada Ruth. Dia tahu bahwa gadis-gadis seusianya memang sudah menikah dan punya anak – tapi itu kan mereka, bukan dirinya. "Aku belum mau menikah!"

Ibunya mendelik gusar. "Terus mau kamu apa?"

Jadi Mama tahu! "Aku mau keliling dunia!"

"Lupakan mimpi konyol itu!" pekik Ibu Ruth. "Harusnya kamu bersyukur Ruth! Hermann adalah calon suami idaman bagi setiap gadis-gadis. Mereka pasti rela melakukan apa saja demi menikahi seseorang seperti Hermann. Sekarang Hermann terang-terangan mau menikahimu, tapi kamu malah menolak! Jangan bodoh, Ruth!"

"Gadis-gadis itulah yang bodoh!" Ruth membiarkan amarah keluar dari setiap pori tubuhnya – air mata yang menggenang di pelupuk matanya bahkan turut terasa panas. "Mama tidak mengerti, ya? Mana mungkin aku menikah dengan seseorang yang tidak kucintai?"

"Kamu akan menikah dengan laki-laki yang dipilihkan untuk kamu!" kata ibu Ruth tegas. "Sudah begitu aturannya sejak dulu! Papa sama Mama memilih Hermann dan kamu akan menurut! Tidak jadi soal apakah kamu mencintainya! Kamu akan jadi istrinya, mengurusnya sebagai suamimu, dan melahirkan anak-anak untuknya!"

"Aku nggak bisa, Ma! Aku nggak mencintai Hermann!"

"Pernikahan bukan soal cinta! Tapi soal pilihan yang tepat. Hermann seorang tuan tanah, dia punya pengaruh dan koneksi yang kuat dengan orang-orang Belanda itu. Kalau menikahinya, kamu tidak akan menderita."

"Aku akan mati perlahan-lahan! Aku nggak mau menjual harga diriku cuma demi harta dan kekuasaan, Ma!"

"Harga diri?" Suara ibunya kini berubah menjadi bisikan dingin yang tajam, seperti pisau dapur yang baru diasah. "Harga diri kata kamu, Ruth? Orang-orang menganggap kamu gadis kurang ajar karena kelakuan dan cara pikir kamu! Dan kamu malah bangga, mempertontonkan kevulgaran kamu itu seperti mahkota! Mama sama Papa malu sekali! Kami tidak bisa keluar dari rumah ini dengan kepala tegak seperti dulu! Papamu diolok-olok teman-temannya, mereka bilang dia seorang guru tetapi tidak bisa mendidik putrinya sendiri! Kamu sudah tidak berharga, Ruth!"

Ruth memejamkan matanya. Dia tidak percaya ibunya sendiri baru mengatakan hal sekejam itu. Sambil mengacuhkan kata-kata ibunya, Ruth membuka pintu ruang tamu lebar-lebar.

6 LIVES [TAMAT]Where stories live. Discover now