Bagian 3: Ruth

827 206 24
                                    


Sepertinya tetangga baruku itu tidak membawa barang banyak.

Setelah truk pengangkut barang yang muncul kemarin pagi, tidak ada truk lainnya. Padahal pindah rumah selalu identik dengan membawa barang yang banyak.

Suara grasak-grusuk khas orang pindahan juga hanya terdengar seharian saja kemarin. Hari ini hening. Dari jendela kamarku, aku menanti tanda-tanda kemunculan tetangga baruku itu, tetapi dia belum nampak.

Sekarang kami jadi punya dua tetangga di kanan dan di kiri. Rumahku dan kakakku letaknya di tengah. Kami juga pindah kemari setahun yang lalu. Syukurlah tetangga kami sekarang lengkap.

Di rumah sebelah kiri, aku melihat sahabat baikku sedang duduk-duduk di teras depan rumahnya, menikmati udara segar. Beraktivitas di luar memang tidak disarankan saat ini mengingat penyebaran virus mematikan itu. Namun aku dan kakakku selalu mengunjungi sahabatku itu setiap hari. Usianya sudah tua dan dia butuh teman bercerita. Selama dua bulan belakangan, itulah tempat terjauh yang pernah kukunjungi: ke rumah tetangga sebelah.

Kakakku masuk ke ruang keluarga sambil mengenggam seikat bunga matahari. "Dipetik dari taman belakang," katanya sambil tersenyum bangga. "Bagusnya ditaruh di mana, ya? Di atas meja makan atau meja tamu?"

"Di meja makan aja," usulku.

Kakakku berpikir sejenak. "Kayaknya lebih bagus di meja tamu," katanya sambil meraih vas bunga kaca dan mengisinya dengan air. "Siapa tahu tetangga baru kita datang dan mengenalkan diri."

"Bisa jadi," kataku. Mengenalkan diri sudah jadi semacam tradisi di kompleks ini. Waktu kami baru pindah, pada minggu pertama kami selalu kedatangan tetangga yang datang membawa berbagai macam "sesajen".

"Kira-kira orangnya seperti apa, ya?" tanya kakakku. "Kamu udah lihat?"

"Laki-laki. Tubuhnya tegap. Mungkin pengacara atau polisi."

Kakakku menengadah, matanya yang agak sendu berpendar. "Begitu, ya... Apa sebaiknya kita saja yang mengenalkan diri lebih dulu?"

Memperkenalkan diri lebih dulu bukan sifatku. "Nanti saja, deh."

"Oh, kamu pasti mau menulis lagi, ya?" tanya kakakku.

Aku mengangguk dan meraih laptop.


...


Kisah tentang Ruth dimulai jauh lebih lama sebelum kisah Kencana atau Dalu. Untungnya aku mendengar kisah ini dari saksi mata langsung, jadi bisa menuliskannya dengan lengkap.

Aku tak tahu kapan pastinya kisah Ruth dimulai karena penuturnya sendiri tidak ingat saking tuanya kejadian-kejadian itu. Tetapi dari perhitungan kasarku, cerita ini dimulai sekitar tahun seribu delapan ratus empat puluh.

Ya, lebih dari seratus tahun yang lalu.

Pada masa itu, Indonesia masih dalam masa penjajahan. Belanda menguasai sebagian besar bagian Barat Indonesia dan sedang gencar melakukan ekspansi besar-besaran ke wilayah Timur. Istilah Indonesia belum umum dikenal, karena nama resmi negara ini masih Hindia Belanda.

Ruth adalah seorang gadis keturunan pribumi asli. Hanya saja penampilan Ruth agak berbeda. Kulitnya putih dan mulus seperti mutiara, rambutnya yang tebal hitam seperti diberi tinta, dan bibirnya yang mungil merekah seperti kuncup mawar muda. Matanya bulat dan besar, dengan bulu mata lentik yang melengkung. Tubuhnya juga tinggi untuk ukuran gadis-gadis seusianya. Karena penampilannya inilah Ruth sering dikira Indo – sebutan untuk keturunan campuran antara warga Belanda dan penduduk pribumi.

6 LIVES [TAMAT]Where stories live. Discover now