TUJUH

4.2K 520 18
                                    

"Lo bilang mau bantuin gue deketin Andini. Gimana jadinya?"

Adrian mendongak sekilas begitu mendengar suara sesorang di depan kubikelnya. "Emang gue belum ngasih tahu ya?" tanyanya tanpa mengalihkan perhatian dari layar laptopnya yang menampilkan lembar kerja yang di penuhi angka.

"Ya belom Maemunah! Makanya kan ini gue nanyain." Dimas berseru jengkel. "Gimana?"

"Sori deh, lupa." balas Adrian. Namun tetap tidak terlalu mengindahkan kehadiran Dimas yang masih berdiri di depannya.

"Ya Tuhan..." Dimas menggeram, frustasi melihat Adrian yang masa bodoh dengan pertanyaannya. "Kalo nggak karena temen lu itu emang cakep banget, ogah gue capek-capek dateng kesini cuma buat di cuekin."

Adrian menggigit bibirnya menahan tawa. Salah sendiri datang di saat dirinya sedang di pusingkan oleh laporan mingguan yang seharusnya menjadi pekerjaan sang atasan. Ya, manajernya yang menikah sebulan yang lalu baru mengambil cutinya untuk bulan madu sekarang. Jadilah Adrian yang menjabat sebagai asisten manajer divisi keuangan, harus menerima getahnya mengerjakan semua hal yang menjadi tanggung jawab atasannya itu selama seminggu ke depan.

"Lo nggak liat gue lagi pusing gini? Ditungguin big boss nih."

"Bisa kali di jawab bentaran doang." sahut Dimas kesal.

Mendengus sebal Adrian berujar tegas, "Nanti jam istirahat aja ngomonginnya. Gue lagi ribet beneran ini. Bantuin kagak malah nambahin pusing aja lo." sungutnya. Tangan kanan Adrian memijat perlahan pelipisnya yang terasa berdenyut. Pening melihat deretan angka dan grafik sejak tadi.

"Hehehe, oke deh. Santai dikit, ah jangan ngegas aja bawaan lo." Dimas kemudian meninggalkan Adrian dan kembali ke kubikelnya sendiri yang terletak di ujung ruangan dengan langkah santai.

Adrian hanya bisa geleng kepala melihatnya. Sepertinya Dimas benar-benar tertarik pada Andini. Harus di akui jika sahabatnya itu memang memiliki wajah cantik yang bisa membuat kaum adam terpesona.

Menyandarkan punggungnya yang pegal pada kursi kerja yang sudah berjam-jam di dudukinya, Adrian meletakkan kedua tangannya di belakang untuk menyangga kepalanya. Di pejamkannya kedua mata sekadar untuk merelaksasi saraf yang tegang.

Dering ponselnya membuat Adrian mendesah lelah namun tetap membuka matanya. Tangannya menggapai ponsel yang ia letakkan di sudut meja. Nama Ana tertera di layar membuat senyumnya terbit seketika.

"Iya, Na?" sambutnya antusias. Adrian bahkan menegakkan tubuhnya yang tadi bersandar malas di kursi kerja.

"Yan... bantuin gue dong."

Suara Ana terdengar begitu Adrian selesai menyapa.

"Apaan?"

"Cariin fotografer dong buat produk clothing line gue sama Andini."

"Fotografer?" Adrian berpikir sesaat sebelum tersenyum cerah. "Ada sih temen kantor gue. Mau buat kapan emang? Oh... oke deh entar gue kabarin lagi."

Setelah meletakkan kembali ponselnya Adrian mulai melanjutkan pekerjaannya yang menumpuk. Setidaknya mendengar suara Ana sedikit meringankan sakit kepalanya.

****

"Gue bercanda doang kali." Dimas menyeruput pelan kopinya lalu kembali menatap Adrian. "Masa iya segala urusan pacaran di sangkut pautin sama fengshui, angka baik angka buruk. Gue nggak seekstrim itu juga lah."

Adrian terkekeh pelan. "Gue kan cuma menyampaikan omongan lo. Salah sendiri ngomong sembarangan." Decakan kesal Dimas membuat tawa Adrian semakin kencang. "Andini langsung sewot begitu gue sampein omongan lo. Jadi, kesimpulannya adalah kesempatan buat lo udah kandas. Oke bro?" Tangan Adrian menepuk pelan pundak Dimas yang malah membuat temannya itu semakin menekuk wajah.

BEST MATEWhere stories live. Discover now