DUA PULUH TIGA

10.2K 685 53
                                    

Nggak tau kenapa nyelesaiin bab ini tuh susah bgt. Udah nulis ribuan kata terus pas dibaca ulang rasanya kok gak sreg. Tulis-hapus berulang kali, entahlah.

Mungkin aku lelah...

Wkwkwk...

Enjoy reading....

Jgn lupa vomentnya ya...

Sampai jumpa di ceritaku yg lain dan terima kasih udah ngikutin cerita ini dari awal sampai saat ini

🖤🖤🖤

=================================

Adrian berdiri gamang di tempatnya. Kedua tangannya menggenggam erat buket bunga lili dan dan plastik berisi kue pie hingga buku-buku jarinya memutih. Dari tempatnya saat ini, Andini terlihat begitu ceria. Entah apa yang sedang dibicarakan gadis itu bersama Ganendra. Ramai orang berlalu-lalang di sekitar mereka tampaknya tak menjadi masalah. Keduanya terlalu asyik sendiri hingga melupakan sekeliling.

Dengan wajah muram, Adrian berbalik, melangkahkan kakinya meninggalkan lobi. Setiap langkahnya terasa berat, seolah kedua kakinya ditimpa batu. Beberapa kali kepalanya menoleh ke belakang, berharap Andini sendirian, namun kenyataannya netranya mendapati dua orang tadi masih berada di tempat yang sama.

Begitu sampai di mobilnya yang terparkir di halaman depan lobi, Adrian menelungkupkan kepalanya pada kemudi dengan mata terpejam. Hatinya panas. Ia kesal melihat Andini tertawa bersama Ganendra seperti tadi. Namun Adrian sadar, dirinya bukan siapa-siapa. Ingin marah pun tidak punya hak. Mau melarang Andini untuk tidak terlalu dekat dengan laki-laki lain, tapi akhirnya sadar dirinya dan Andini bahkan tidak terikat apa pun.

Ah, apa memang begini rasanya terjebak di zona abu-abu?

Mendesah kesal, Adrian menyandarkan kepalanya pada kursi. Tangannya mengusap wajah perlahan.  Bayangan kebersamaan gadis itu bersama lelaki lain memenuhi kepala Adrian membuatnya seketika menggeleng. Apa dirinya sanggup melepaskan Andini begitu saja?

Tidak, ia tidak bisa. Dirinya bahkan belum melakukan apapun. Bagaimana bisa ia menyerah secepat ini? Sekalipun benar Andini sudah bersama Ganendra, ia tetap akan memperjuangkan gadis itu.

Ya, setidaknya seorang Adrian Adiwijaya pernah berjuang sampai akhir untuk mendapatkan gadis yang dicintainya. Bukan hanya diam berpangku tangan, merenungi nasib di halaman parkir apartemen!

Setelah mencoba meyakinkan diri, Adrian menarik dan menghembuskan napasnya perlahan, mencoba tenang. Setelah dirasa cukup, diraihnya kembali buket bunga dan plastik berisi kue favorit Andini dari kursi sampingnya. Ia akan menemui Andini sekarang juga. Tidak peduli keberadaan Ganendra di samping gadis itu membuatnya ingin melemparkan kedua benda yang di genggamnya saat ini untuk mengusirnya. Mengganggu saja.

"Andini." Adrian memanggilnya saat jarak tersisa beberapa langkah saja dari gadis itu. Senyum tipis tersungging di wajahnya saat obrolan gadis itu terhenti. Bagus.

"Eh, Yan?" Andini sedikit terkejut dengan kehadiran Adrian. Matanya mengerling ke arah Ganendra yang juga sedang menatapnya.

"Kalau gitu, Mas pulang dulu ya. Dari tadi pamit pulang malah keterusan ngobrol nggak selesai-selesai." Ganendra terkekeh yang di sambung dengan tawa pelan Andini.

Adrian merengut melihatnya. Apa-apaan. Kalau mau pulang ya buruan kek. Ngapain juga dari tadi berdiri di lobi tapi belum angkat kaki juga.

"Mas pulang ya." Ganendra mengacak pelan rambut Andini yang di sambut tawa oleh gadis itu. "Nanti kita sambung lagi." Lalu menatap ke arah Adrian dan mengangguk pelan sebelum melangkah ke arah luar.

BEST MATEWhere stories live. Discover now