TUJUH BELAS

3.6K 492 33
                                    

Andini sedang memandangi layar laptopnya yang menampilkan website resmi Belle dengan tatapan kosong. Sudah dua minggu sejak acara peluncuran Belle dan pagi tadi ia mendapat laporan jika angka penjualan daring mereka ternyata cukup tinggi untuk ukuran merk yang baru dikenal masyarakat. Pencapaian yang seharusnya membuat senyumnya merekah lebar alih-alih berwajah muram seperti sekarang.

Mengusap wajahnya dengan kedua tangan, Andini menghela napasnya pelan mencoba menghilangkan gundah. Beruntung dering ponsel yang ia letakkan di samping laptop mengalihkan perhatiannya. Nama 'Mas Nendra' tertera di sana membuatnya menarik sedikit ujung bibir.

"Iya, Mas?"

"Sibuk?" Suara Ganendra di seberang sana sedikit berteriak mencoba mengimbangi suara bising yang terdengar di sekitarnya.

"Nggak kok, Mas. Kenapa?"

"Besok jalan yuk?"

"Besok? Uhm... kayaknya aku nggak bisa, Mas?"

"Kenapa? Besok hari sabtu loh Din, weekend. Masa kamu kerja terus?"

Andini tertawa pelan sebelum menjawab, "Justru karena besok weekend. Aku nggak bisa melewatkan momen-momen sibuk pertama kami, seminggu ini aja Belle rame terus loh, Mas."

Desah kecewa terdengar samar saat Ganendra kembali bersuara, "Padahal Mas pengen ajak kamu makan malam. Mas baru aja mendapat kasus pertama di firma yang sekarang. Masih jadi  anak bawang sih, tapi ini termasuk cepat di bandingin senior Mas yang harus magang lagi selama tiga bulan.

"Hari minggu aja gimana?" Andini coba menawar. "Soalnya besok juga abangku sama istrinya nginep. Jadi Mama pasti nggak ngasih aku keluar."

Sudah menjadi kesepakatan jika satu bulan sekali seluruh anggota keluarga Hadikusuma akan menghabiskan waktu bersama di rumah. Di tengah kesibukkan masing-masing, setidaknya ada satu hari mereka berkumpul, sekadar bertukar cerita atau berlibur ke villa. 

"Oke, Mas jemput di rumah?"

"Boleh, kalo nggak ngerepotin."

"Nggak dong. Ya udah ketemu hari minggu ya..."

"Iya, Mas."

Setelah mengucapkan salam, Ganendra memutuskan panggilan. Andini menatap ponsel di tangannya dengan senyum sedih hingga layarnya menggelap.

Sebenarnya saat ponselnya berbunyi nyaring tadi, Andini berharap nama orang lain yang tertera di layarnya. Nama seseorang yang diam-diam diharapkannya untuk menghubungi, walau kenyataannya ia sendiri yang menghindar selama hampir dua minggu ini.

****

"Din lo udah lihat laporan penjualan kita minggu lalu? Gue nggak nyangka sih ternyata peminatnya Belle banyak juga. Menurut lo kita perlu tambah karyawan lagi nggak ya? Gue takut yang sekarang nggak bisa cover semua pesanan. Apalagi penjualan online kita lumayan banyak."

"Udah nggak kepegang banget?" tanya Andini singkat.

"Ya, kalo pesanan semakin banyak gue takut itu penjahitnya pada nggak bisa fokus karena mau cepet. Entar jadinya malah di produknya yang jelek."

"Nunggu satu bulan ini dulu gimana? Sambil nyari," ujar Andini. Nada suaranya yang terdengar tanpa semangat membuat Ana melangkah mendekat.

"Lo ada masalah?" Ana menarik kursi yang ada di depan meja kerja Andini, duduk di sana dan menatap gadis itu penuh tanya. "Kok lo kayak nggak semangat gitu sih?"

Diam, Andini hanya menatap kakak iparnya itu dengan pandangan yang tak bisa diartikan. Melengos ke arah kiri, ia pejamkan matanya sebentar sebelum kembali menatap Ana yang masih menunggunya menjawab.

BEST MATEWhere stories live. Discover now