Bab 29 - Bukan Akhir (Selesai)

98.1K 3.5K 884
                                    

Attha tidak bisa tidur lagi setelah bangun dari mimpi itu. Ia takut untuk bermimpi lagi. Ia tak mau merasakan kehilangan orang yang dicintainya. Cukup berpisah dengan suaminya saja. Jangan dengan Aulianya.

Kalau boleh, biarkan Attha yang terlebih dulu menyusul mendiang suami tercintanya.

Nalurinya sebagai ibu tak akan pernah salah. Walau putrinya sudah menikah, mengandung, melahirkan, seorang ibu akan tetap menjadi seorang ibu bagi putrinya.

Mimpi barusan membuat hatinya tak tenang. Tapi ia tak mungkin datang ke rumah sakit pukul 3 dini hari. Atau meminta Juna mengantarnya.

Hanya album foto yang ia simpan rapi di nakas yang bisa menjadi obat rindunya. Attha duduk menyamping di lantai, membuka album itu dengan kasur yang ia gunakan sebagai meja.

Fotonya saat hamil besar Juna bersama suaminya menjadi pembuka kenangan masa lalu.

Empat halaman ia lalui. Usahanya menahan air mata gagal. Ia jatuh. Ia sakit. Ia perih. Ia sakit. Ia rindu.

Halaman-halaman selanjutnya makin semarak dengan hadirnya Aulia kecil di sana. Foto itu menjadi satu-satunya foto keluarganya dengan formasi lengkap. Diambil tepat sebelum 2 bulan kematian suaminya.

Ia balik lagi halaman demi halaman. Foto Juna dan Aulia dengan toga, foto mereka saat menikah, foto mereka dengan pasangan masing-masing, juga foto bertiga antara dia dan kedua anaknya.

Belum puas ia memandangi fotonya bertiga dengan Aulia dan Juna, ponselnya berbunyi di atas nakas.

"Kenapa, Mbak?" tanya Aulia pada Ditha di seberang telpon.

Ditha terisak sebelum menjawab. "Aulia, Mbak,"

"Aulia kenapaa??" 

"Hiks, mbak. Aulia nggak ada," Ponsel di genggaman Attha jatuh dari tangannya. Suara Ditha memanggilnya berulang terdengar, tapi tak ia hiraukan. Ia tak menangis, tatapannya kosong. Entah, ia tak bisa merasakan sakit lagi. Atau, saking sakitnya sampai mati rasa.

"Maa," Juna mengetuk pintu kamar ibunya setelah ayah ipar adiknya menelepon, mengatakan kalau adiknya sudah menemui sang papa.

"Mama?" Gedoran Juna semakin keras saat Attha tak kunjung merespon. Kalau saja pintu ini tidak dikunci, ia akan masuk langsung.

Juna yakin kalau ibunya sudah tau kabar ini. Dan, Juna bisa bayangkan keadaan Attha.

"Dobrak aja, mas," usul Riska yang sama khawatirnya. Juna menatap ragu pintu jati di depannya.

Dobrak?

Tapi apa salahnya mencoba?

Juna mengambil ancang-ancang, bahunya ia arahkan kuat ke pintu. Hitingan ketiga ia mendorong kuat pintu itu. Tidak berhasil. Percobaan kedua, ketiga, juga belum.

Pada percobaan keempat, Attha sudah membuka pintunya sebelum bahu Juna mengenai pintu. Juna dan Riska sampai dibuat kaget. Apalagi penampilan Attha yang sudah megenakan pakaian serba putih.

"Ma?" panggil Juna cemas.

Attha tersenyum. Ia seakan kebal oleh rasa sakit. Kehilangan orang tua, suami, dan sekarang anaknya.

"Mama ikhlas." Hanya dua patah kata, tapi Juna dan Riska sama-sama tau kalau maknanya tak sesingkat itu.
Juna dan Riska memeluk Attha yang masih diam.

"Kita emang harus ikhlas. Apalagi ini berat buat Mama dan Aldi."

OoO

4 tahun kemudian...

"Minal Aidzin walfaidzin," Seluruh penjuru tempat sedang bergembira dengan berakhirnya bulan suci dan datangnya hari kemenangan.

MADOS [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang