Luka | 03

20.5K 2.4K 168
                                    

Luka menyibak-nyibak selimut dari pinggir tempat tidur. Ponselnya berdering tapi ia tak tahu benda itu ada dimana. Dari sumber deringnya sih ya dari tempat tidur, tapi sampai Luka obrak-abrik pun ponselnya masih tak mau ditemukan. Pemuda yang sudah rapi dengan seragam sekolahnya itu berdecak kesal ketika dering ponselnya sudah berhenti. Ia keluar kamar membuka kamar Raken tanpa izin, yang langsung disambut pemandangan mengotori mata sucinya.

"ANJING ANJING ANJING. HEH!!!" Raken panik membalikkan tubuh dan menaikkan lagi handuknya. Ia menatap Luka dengan marah. "Masuk tuh ketok dulu, nyelonong aja untung gue dah make sempak!"

"Elunya kagak dikunci, untung gue yang masuk, coba kalo Bi Ana," balas Luka dengan santai, membuat Raken menatapnya makin tajam, apalagi saat adiknya itu mengambil ponselnya tanpa dosa di meja belajar.

"Itu lo mau ngapain lagi?"

"Minjem."

Raken yang kesal berjalan mendekat, tentu dengan handuk sudah terlilit kuat di pinggangnya. "Apaan sih lo main ambil-ambil aja, mau ngapain?" tanyanya, merebut ponselnya dari tangan Luka

Luka menyebikkan bibir dengan jengah. "Hape lo ada bokepnya ya?"

"Sembarangan!" balas Raken tak terima. "Gini-gini gue gak pernah nonton kayak gitu, ya," lanjutnya membawa benda itu menjauh ke lemari untuk mengambil seragamnya.

"Ken, minjem elah."

Raken tak menoleh. "Apaan sih?"

"Hape lo."

"Mau apa sih? Kayak pacar aja suka ngecek-ngecek hape," balas Raken sambil memasangkan lengan baju pada lengannya, masih dengan handuk terlilit di pinggang.

Luka memutar bola mata jengahnya. Siapa juga yang mau cek ponsel kakaknya itu? Nggak ada kerjaan, pikirnya. "Telepon nomor gue, hape gue ilang."

"Lah, di mana? Semalam gue liat lo masih ngotak-ngatik hape." Raken mengangkat wajah menatap adiknya, tak terlalu kaget atau panik juga. Luka punya banyak uang, ia bisa beli ponsel baru kapan saja.

"Kamar."

Dengan refleks Raken menoleh mendatarkan tatapan dengan tak menduga. "Lo lagi gabut main petak umpet sama hape lo apa gimana?"

Luka berdecak kesal. "Lo tinggal call nomor gue aja susah amat, gue mau berangkat abis ini."

Raken mencibir, menunjuk ponsel yang sebelumnya sudah ia taruh di nakas di samping pot tanaman mini sebelah lemari. "Sarapan di rumah," kata pemuda itu, memperhatikan adiknya yang menotak-atik ponsel miliknya.

"Lo aja," gumam Luka tanpa repot-repot menoleh. Ia sibuk mencari nama kontaknya yang tak ketemu-ketemu.

"Gue maksa."

"Gue gak mau."

"Sampe kapan lo mau kayak gini?"

Gerakan jari Luka di layar berhenti sesaat, untuk kemudian mendengus kecil, merasa lucu dengan ucapan Raken barusan. Bukannya ia yang seharusnya bertanya begitu? Sampai kapan ia akan diperlakukan seakan tak terlihat? "Nomor gue lo namain apa sih?" tanya Luka mengalihkan.

"Rakenza."

Luka membuang napas samar, meski tangan dan matanya masih sibuk di ponsel Raken, tapi fokusnya melayang begitu saja. Ia segera menurunkan ponsel Raken setelah selesai menghubungi nomornya.

"Ka, gue lagi ngomong," kata Raken tegas ketika melihat adiknya diam saja.

Luka menipiskan bibir. "Ken, mau gimana pun, di rumah ini gue harus tetep tau posisi, Ken. Gue bukan siapa-siapa, dan gue nggak punya hak apa-apa. Apa yang lo mau tentang gue sama Mama, gue juga mau. Gue iri sama lo, gue ngaku. Cuma ya balik lagi, gue bukan siapa-siapa dan nggak ada hak apa-apa di sini."

Another LukaWhere stories live. Discover now