Luka | extra part-1

21K 2.2K 321
                                    


Hana melangkah masuk ke gerbang rumah dengan Efan merangkulnya di samping, melihat beberapa orang masih setia berduka di sana. Di pemakaman tadi ia jatuh pingsan, benar-benar tak kuat ketika melihat tubuh putranya dimasukkan ke liang lahat. Bahkan ia menolak untuk diajak pulang. Ia hanya ingin menemani putranya yang lama ia lupakan.

Hana mencoba menipu diri untuk percaya bahwa itu hanya sebuah mimpi buruk, dan nanti ia akan terbangun lalu memeluk Luka, minta maaf padanya, kemudian menjadi obat baru untuk putranya sembuh. Namun semakin percaya, ia semakin tertampar kenyataan bahwa ini semua memang nyata, bahwa putranya telah pergi sangat jauh.

Wanita dengan mata sembab dan wajah kacau itu kemudian berhenti ketika melihat mobil Luka terparkir rapi seperti biasa di garasi. Mungkin Pak Atuy sudah membereskan semuanya.

Air matanya lolos kembali. Ia melirik Efan yang memegangi pundaknya sesaat, kemudian melepaskan rangkulan suaminya itu dengan lembut, melangkah dengan pelan dan lesu ke bagian garasi belakang tempat mobil itu terparkir seperti biasanya. Yang kemudian pertahanannya runtuh lagi, ia menangis menutup wajahnya, lututnya yang melemas membuat tubuhnya ikut jatuh bersimpuh di samping mobil putranya.

Hana terisak, namun berusaha tak mengeluarkan suara sedikit pun, membuat dadanya makin sesak seakan teremas tanpa ampun.

Namun Hana tak berhenti begitu saja, ia berdiri berpegangan pada mobil sedan itu, walau masih dengan air mata yang tak berhenti jatuh. Wanita itu membuka bagian bagasi, hatinya mencelos sakit melihat koper-koper dan kardus besar di dalam sana, ia mengambil dua koper besar itu dari sana, menurunkannya ke lantai.

"Aku bantu."

Wanita itu menoleh ketika Efan datang, mengambil dua tumpuk kardus besar dari bagasi. Ia tersenyum kecil melihat istrinya. "Ayo," kata pria itu, melangkah pelan mendahului Hana ke dalam.

Hana menarik napas sesak, menyeret dua koper di tangannya, mengikuti Efan naik ke kamar Luka di lantai dua. Ia kemudian menaruh koper itu di lantai, tersentil ketika melihat ruangan itu sudah kosong dan dingin.

Kamar itu benar-benar persis seperti sebelum kedatangan Luka.

"Aku mau sendiri, Mas," kata Hana pelan ketika Efan mengusap rambutnya lembut. Pria itu mengangguk dengan wajah redup, mengecup singkat pelipis istrinya kemudian melangkah keluar dan menutup pintu.

Perlahan Hana melangkah lebih dalam, merasakan dingin dan hampanya udara di kamar Luka. Ia membuka gorden, membuat cahaya matahari sedikit masuk menerangi kamar itu.

Hana mendekat ke meja belajar ketika melihat sebuah kotak hijau terletak di sana, ada satu pot kaktus berukuran kecil di dalam kotak cantik yang terbuka itu. Hana meraihnya, kemudian membaca sebuah note kecil yang tertempel di bagian pot.

19 September.

Selamat ulang tahun! Maaf karena Luka harus lahir sebagai anak Mama, ngerepotin Mama, bikin Mama sedih. Sayang banget sama Mama. Luka pamit ya.

Sekali lagi selamat ulang tahun!

Hana tersenyum, tertawa kecil, namun air matanya menetes. Ia kemudian menaruhnya di kusen jendela, membuatnya terlihat lebih indah ketika diterpa cahaya matahari. Wanita itu memandanginya lama, melihat gambar smile di pot putih itu yang menghadap ke arahnya.

"Luka nggak perlu minta maaf, sayang. Mama yang salah, Mama yang nyakitin kamu ...." Jari-jari lembutnya mengusap pot itu. "Kamu juga baik-baik ya di sana. Yang tenang sama Ayah ... Terima kasih sudah lahir sebagai putra Mama yang kuat," lirihnya, meski kemudian ia tersenyum getir, merasa malu untuk menjadi seorang ibu dari anak setulus Luka.

Wanita itu memandangi udara di depannya, langit cukup cerah hari ini, berbanding terbalik dengan hatinya.

"Mama bahkan nggak pernah ingat ulang tahun kamu ...," bisik Hana pada udara, mengusap air matanya yang seakan tak berhenti jatuh dari sarangnya. Wanita itu kini melirik barang-barang Luka di lantai, ia mendekat, duduk di sana kemudian mulai membuka koper itu.

Another LukaWhere stories live. Discover now