Luka | 14

15.9K 2.2K 191
                                    

Luka melangkah di lobi yang sepi. Bel masuk sudah berbunyi tepat ketika ia memarkirkan mobil di parkiran tadi. Ia berbelok ke kooridor, tersenyum tipis menyapa beberapa guru yang mulai menuju kelasnya. Pemuda itu memelankan langkah ketika di simpangan, melirik tangga menuju lantai dua, ia diam sesaat, menghela napas pelan lalu naik ke sana.

"Luka!"

Pemuda itu menoleh ketika seseorang memanggilnya dari pintu ruang guru, yang kemudian ia tersenyum tipis dengan sopan pada wanita berhijab di sana.

"Mau kemana? Ibu udah mau ke kelas, ayo masuk kelas kamu," kata Bu Marida, guru muda itu memperbaiki buku-buku di lengannya, dengan tangan satunya menjinjing laptop yang biasa ia gunakan untuk mengajar.

"Saya nggak enak badan, Bu. Nanti bikin kartu izin dari UKS, boleh kan?" balas Luka seadanya.

"Ah ... memang pucat sih kamu," kata wanita cantik itu. "Istirahat aja, minta roti atau apa buat ganjel perut. Kamu kan jarang banget sarapan di rumah, minum yang banyak juga," lanjutnya, yang kemudian pamit setelah Luka tersenyum menghargai.

Luka menaiki tangga dengan pelan, berpegangan pada besi di samping. Sebenarnya sakit seperti ini masih bisa ia tahan, toh hanya pusing dan lemas sedikit. Tapi entah kenapa, untuk hari ini ia merasa ... ingin memberi jeda.

Pemuda itu membuka pintu UKS, tanpa permisi masuk menaruh tasnya di lantai dekat tempat tidur langganannya. Ia duduk di sana, mengeluarkan ponsel dari saku celana dan menaruhnya di meja samping.

"Astaga!"

"Eh?" Luka mengangkat wajah, melihat Mbak Dira yang baru datang setelah mengambil stok-stok obat dari luar terkejut hingga kotak-kotak obat itu jatuh ke lantai.

"Luka, Mbak kan udah bilang kalau mau masuk tuh permisi dulu!" kata suster muda itu, berjongkok meraih kotak-kotak yang berserakan dan segera menaruhnya di meja.

"Permisi apaan, Mbaknya gak di dalem ya tetep aja bakal kaget kalau liat aku," balas Luka tak ambil peduli, kini merebahkan tubuhnya, memejam berusaha untuk lupa dengan kejadian tadi pagi dengan ibunya.

Mbak Dira melengos, memasukkan obat-obat serta alat kesehatan lainnya ke laci masing-masing. "Kok ke sini? Bolos ya kamu?" tanya wanita cantik itu.

"Hm. Makanya Mbak diem aja, aku lagi capek."

"Kayak punya beban idup gede aja kamu."

Luka tersenyum miris mendengarnya. "Terserah Mbak," kata pemuda itu, kini mengangkat lengan menutupi sebagian wajahnya. "Oh ya, Mbak, aku mau minta kartu izin buat dua jam. Bu Marida juga udah bolehin kok."

Mbak Dira mencibir, beralih ke rak di samping tempat tidur Luka untuk membereskan kotak plester dan kapas di sana. "Enak banget ya jadi kamu, mentang-mentang pinter dibolehin aja sama guru."

"Kalau iri gak usah dipamerin, Mbak."

Mbak Dira menyebik, kini kembali ke mejanya mengurus kartu izin sakit anak itu. "Eh, Ka, kok Mbak udah lama gak liat Raken? Dia kemana deh? Biasanya tuh ya, kalau jam istirahat kedua dia mainnya di lapangan. Three on three sama temen-temennya. Bikin hati geter-geter aja, mana rambutnya basah abis wudhu lagi," kata wanita itu.

"Kesetrum kali geter-geter," balas pemuda itu membuat Mbak Dira berdecak kesal di mejanya, meski berikutnya kembali terdiam teringat pada kakaknya di sana. Kata Pak Atuy, Raken makin hari makin kurus, Pak Atuy juga seringkali melihat Mama menangis di sana, kadang sampai ketiduran, dengan Papa yang menenangkan Mama sambil berkata bahwa Rakem akan bangun lagi.

"Temen-temennya juga gak pernah keliatan, sesekali sih Mbak liat kalau di Masjid doang sholat duhur. Tapi gak pernah liat Raken lagi sama mereka." Mbak Dira mengambil sampel di laci, menempelkannya di kartu, walau berikutnya ia melebarkan mata tersadar.

Another LukaWhere stories live. Discover now