Luka | 05

17.6K 2.4K 214
                                    

Raken menggeram kesal, dengan muka bantal ia mengucek matanya yang masih mengantuk berat, membuka pintu kamar Luka yang tak pernah dikunci.

"Ka, alarm lo ganggu ah!" marahnya mendekat, mematikan alarm dari jam digital di meja belajar Luka. Ia menghela napas melihat adiknya yang kebal banget nggak kebangun sama sekali padahal bunyi alarm tadi jelas-jelas membuat kupingnya keleyengan.

"Kebo banget lo, kambing."

Raken menyibak selimut Luka, menemukan anak itu tidur dengan posisi tengkurap dengan wajah menghadap ke arahnya, mungkin karena punggungnya masih sakit jika tidur dengan posisi terlentang.

Luka yang bergeming tak bergerak sedikit pun membuat Raken menyebikkan bibir dan jongkok di depan wajah adiknya. Walau berikutnya pemuda itu mengernyit dengan tatapan melunak.

Wajah Luka pucat dan ada jejak-jejak air di matanya. Artinya ... Luka menangis dalam tidur?

Tangan Raken terangkat mengusap wajah damai Luka, menyeka sisa-sisa basah yang hampir mengering di rapat matanya. Pemuda itu menipiskan bibir, ini pasti kalau Luka nggak sedang tidur tangannya langsung digeplak dengan mulus. Bibir tipis adiknya yang sedikit terbuka dengan napas teratur membuat dada Raken sesak, mengingat hari-hari berat yang anak ini jalani sepanjang hidupnya. Rasanya Raken telah gagal menjadi seorang kakak, ia bahkan tak bisa berbuat apa-apa ketika orangtua mereka menyakiti Luka.

Raken juga terkadang geram oleh sikap Luka yang seakan menerima apa yang ibu dan ayahnya katakan. Tak peduli setajam apa pun belati yang mereka tancapkan pada hatinya, Luka akan tetap diam dan hanya bergeming di tempat seakan ia menerimanya tanpa alasan.

Lalu Raken tersadar ketika tangannya menyentuh kening Luka yang lebih hangat dari pipinya, keringat juga membuat beberapa helai rambut anak itu menempel pada dahi. Jelas sekali anak ini demam. Ia berdecak. Kebiasaan, tipikal anak seperti Luka, jangankan demam, mau tiba-tiba sakit stroke pun pasti ia akan selalu diam.

"Ka," panggil Raken dengan pelan menggoyangkam pundak Luka. Tak ada gerakan, pemuda itu mengulang dengan lebih diberi tekanan. "Luka," panggilnya.

Luka bergerak kecil lalu meringis pelan merasa kesakitan kecil di punggungnya. Dengan Raken yang memundurkan tubuh ketika adiknya menarik lagi selimutnya tanpa membuka mata, menutupi seluruh tubuhnya.

"Lo-"

"Gue gak mau sekolah, Ken," potong Luka bergumam tanpa minat.

"Lah kan emang sekarang mah Minggu," kata Raken, pemuda itu lalu keluar kamar menuruni tangga menuju dapur. Bertepatan dengan ayahnya yang hendak naik ke lantai atas.

"Papa tumben udah bangun," sapa pemuda berkolor hitam itu, memelankan langkah.

Efan mengangkat wajah tak terima, "Harusnya Papa yang bilang gitu sama kamu. Apalagi Minggu, biasanya kamu lagi simulasi mati."

"Astagfirullah, Pa," balas Raken merasa tersakiti, menyentuh dadanya dengan dramatis ketika ayahnya tak membalas dan melewatinya. Pemuda itu tak lanjut peduli, menuju dapur untuk menemui Bi Ana.

"Bi, Luka demam."

Mendengarnya, Efan berhenti di ujung tangga, lalu langkahnya memelan mendekati kamar Luka yang terbuka. Pria itu memperbaiki letak kacamatanya, memastikan apa yang ia lihat. Luka berjalan dengan ... pincang? Dengan tangan memegangi dinding seakan takut tumbang, walau kemudian anak itu jadi berjongkok dan memegang kuat dadanya. Tapi pria itu menggeleng tersadar, tak mau ambil peduli dan kembali melanjutkan langkahnya begitu saja.

Bi Ana yang sedang beberes menyiapkan bahan untuk dimasak dari kulkas menoleh, mendapati Raken tengah mengisi air di panci di wastafel. Wanita berusia setengah abad itu mendekat, mengambil alih pekerjaan Raken.

Another LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang