Luka | 06

16.2K 2.3K 250
                                    

Luka turun dari mobil, bersamaan juga dengan Raken turun dari kursi kemudi, menutup pintu dan mendekat ke arahnya. Luka yang bisa membaca pergerakan itu menyebikkan bibir, lalu mundur selangkah.

"Gue nggak lumpuh, gak usah dipapah. Lebay banget sih lu," kata Luka mencibir jengah. Sejak masuk rumah sakit dua hari lalu, Raken jadi lebih protektif terhadapnya. Pernah sekali saat di rumah sakit, Luka pergi ke toilet dan Raken membuntuti menunggunya di depan pintu, padahal toiletnya masih di dalam kamar Luka dirawat.

Raken tertawa kecil kemudian mendengus, "Tau aja lo, kambing," kata pemuda tinggi itu, kemudian ponselnya berdering dari dalam mobil. "Langsung masuk kamar, gue nyusul," lanjutnya kembali membuka pintu mobil.

"Geli, kayak mau ngapain di kamar."

"Pikiran lo aja tumpah-tumpah kemana-mana," kata Raken mulai mengangkat telepon dan menjauh ke pos satpam, menyapa Pak Atuy sesaat sebelum mulai menyambut si penelepon.

Luka melengos, melangkah lebih dulu menaiki tangga teras, ia lalu membuka pintu utama, yang langsung disambut oleh Hana dan Efan di sofa ruang keluarga yang menyatu dengan ruang tamu luas. Ah, kenapa ia harus masuk lewat depan, harusnya lewat pintu dapur dan bertemu Bi Ana yang menunggunya seperti biasa.

Luka berhenti di sekat pintu. Canggung begitu saja ketika mereka berdua yang tadinya sibuk dengan kegiatan masing-masing kini jadi mengangkat wajah menatapnya agak terkejut dengan sengak dan terkesan tak peduli. Hana menurunkan gunting kukunya, menghela napas dan mendelik sinis dengan muak. Sedangkan Efan tak peduli banyak kembali sibuk dengan laptop di meja.

"Saya kira kamu udah sekarat."

Luka membatu dengan dada ngilu, ia yang menunduk refleks mengangkat wajah menatap tepat netra ibunya. Kekosongan dadanya semakin sarat terasa ketika mendengar kalimat itu. Bibir dan lidah Luka terasa kelu, tak berani membuka mulut untuk bicara.

"Saya dengar dari Bi Ana kamu sakit. Udah hidup numpang, sakit lagi. Gak tau diri, bikin repot aja," kata Hana, memotong kuku di jari-jari lentiknya. "Kenapa nggak sekalian mati aja sih."

Sesuatu di dalam sana meminta dikeluarkan, tumpukan luka yang berantakan dalam kosongnya hati minta dilepaskan dalam bentuk air mata. Luka menggigit bibir kuat-kuat, mencoba setengah mati menahan ribuan pecahan kaca yang menikam dadanya.

"Ma ... Luka minta maaf-"

"Saya bukan mama kamu, berhenti panggil saya dengan sebutan itu."

Efan menghela napas, mencoba meredakan atmosfer tak mengenakkan ini. "Hana," panggilnya lembut mengingatkan untuk tahu batas.

Hana memainkan rahangnya dengan muak. Menaruh gunting kukunya di samping laptop kerja Efan. "Nggak usah sok paling sakit di sini, nggak ada yang peduli juga," kata Hana masih tak mau berhenti.

Luka menggigit bibir dalam, menahan bening hangat yang bersarang di pelupuk matanya. Tertohok dengan penuturan itu, ia menahan getar di bibirnya, berusaha mati-matian untuk tidak meneteskan satu pun. Mencoba tetap kuat dengan hati yang sudah hancur tak berbentuk. Bahkan kakinya sudah lemas seakan tak menapaki lantai, ia seperti kehilangan jiwa, terenggut oleh sakit yang menguasai hati rapuhnya.

"Luka harus panggil Mama apa?" tanyanya mencoba tetap menguasai diri.

"Terserah. Muak saya liat kamu," kata wanita cantik itu, berdiri meninggalkan Luka dan suaminya ke kamar.

Luka terdiam sesaat, menghela napas panjang dan mengangkat wajah, meredakan panas di matanya.

"Luka ke kamar dulu," kata pemuda itu lirih, melangkah lebih jauh menghindari orang tuanya. Tanpa sadar matanya kembali mengembun. Langkahnya melemah ketika Bi Ana muncul dari dapur, mata wanita itu memerah menatapnya, membuat Luka segera mengubah air wajah menjadi setenang biasanya, yang kemudian Bi Ana menghambur, memeluk erat tubuh anak itu.

Another LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang