Luka | 10

15.4K 2.1K 88
                                    


Pak Atuy masuk ke dalam ruangan, menghampiri Luka yang tertidur meringkuk membelakanginya dengan selimut menutupi seluruh tubuh.

"Mas," panggil Pak Atuy hati-hati. Merasa tak ada jawaban, pria kurus itu meletakkan kunci rumah dan kunci mobil beserta sebuah ponsel di meja nakas besi tepat di samping mangkuk bubur yang masih tertutup plastik bening. "Ini kunci mobil, rumah, sama hape Mas saya taruh di nakas, ya. Tadi baru saya ambil dari rumah ayahnya Mas Luka."

Pak Atuy melihat mangkuk bubur yang belum tersentuh sama sekali, "Makan dulu, Mas," katanya, kemudian mencoba menarik selimut, namun tertahan. Anak ini masih enggan membuka diri.

Pak Atuy paham apa yang Luka rasakan, sehancur apa anak itu, dan sesakit apa hatinya. Sekuat-kuatnya Luka mencoba menutup rasa sakitnya, tetap saja ia masih seorang remaja yang rapuh. Hati Pak Atuy rasanya nyeri, membayangkan bagaimana anak itu hidup selama enam tahun tanpa ibu dan hanya ditemani oleh seorang ayah. Lalu setelah ayahnya pergi untuk selamanya, ibu yang ia harapkan ternyata jauh tak tersentuh sama sekali. Bahkan setelah tinggal bersama sang ibu, anak ini justru seperti tak punya ibu. Tak punya apa pun.

Beberapa hari lalu pria itu melihat Oma Lia menangis tersedu di pelukan Bi Ana. Menceritakan semua yang terjadi, apa yang Hana lakukan dan katakan hari itu kepada Luka. Demi Tuhan, hatinya benar-benar sakit mendengar itu.

"Mas, nanti dimakan ya makanannya. Saya tinggal dulu. Bi Ana lagi beberes buat keperluan Mas Luka selama di sini."

Pak Atuy menarik napas, menyendu ketika pemuda yang membelakanginya itu tak merespon bahkan dengan pergerakan sedikit pun. Ia mengusap pundak Luka sejenak, sebelum beranjak keluar dan menutup pintu kembali.

Sementara Luka yang berada di balik selimut kini membuka mata sayunya perlahan. Merasakan ruangan kembali senyap tak bersuara sedikitpun. Pemuda itu meremas selimut yang ia genggam, sepi luar biasa mengosongkan hatinya.

Oma sudah pulang kembali ke Yogyakarta karena urusan butiknya, itu pun harus Luka paksa mati-matian karena Oma tak mau pulang tanpa membawanya. Walau pada akhirnya wanita itu yang mengalah, setelah mendengar Luka akan baik-baik saja dengan awasan Bi Ana dan Pak Atuy.

Luka sedikit menurunkan selimut, melihat matahari mulai menyorot kamar rawat inapnya. Ia berdecak, menutup lagi wajahnya dengan selimut, meringkuk menahan nyeri di dadanya. Bukan nyeri secara fisik, namun nyeri yang entah titiknya berada dimana, nyeri yang membatin. Tanpa ampun.

"Dia bukan anakku kan, Mas? Anakku cuma Raken."

Ya Tuhan, ini sangat sakit.

Luka memejamkan mata, ingin tidur saja untuk melenyapkan semua pikiran yang bertumpu di kepalanya. Pemuda itu berdecak, mengganti posisi jadi menghadap pintu, walau berikutnya ia mendesis merasa nyeri di bagian lengan atasnya.

Luka melirik ponsel di nakas, menampilkan layar menyala dan bergetar menandakan ada telepon masuk. Tangannya terulur mengambil benda itu, melihat nama yang tertera di sana.

Masa Depan Mbak Dira is calling ....

Alis Luka terangkat tinggi, ia mendengus sinis melihat nama kontak yang dibuat sendiri oleh pemiliknya. Pemuda itu menggeser tanda dial di layar.

"ELU KEMANA ANJIR?!" sambut si penelpon membuat Luka refleks menjauhkan ponsel dari telinga.

"Kaget gue," balas Luka datar.

"Gila lo udah empat hari alpa anjir mau kena D.O. lu? Gue yang panik, Setan."

"Kenapa dah--" Luka berdeham ketika tenggorokannya terasa serak, bangun untuk mengambil gelas di nakas dan meminumnya seteguk, kemudian kembali meringkuk menutup tubuhnya dengan selimut. "Kenapa? Gak ada temen? Emang di sini tuh cuma gue orang yang mau-maunya jadi temen cowok bar-bar kayak lo."

Another LukaWhere stories live. Discover now