Luka | 13

16.3K 2.5K 188
                                    

Luka meneguk airnya setelah selesai sarapan. Ini pertama kali ia kembali merasakan makan pagi di meja makan setelah sekian lama. Biasanya, kalau Mama dan Papa ada di rumah, Luka tak pernah ikut sarapan bersama, ia selalu punya stok roti kemasan di meja belajar seperti biasa, entah Bi Ana yang menyiapkan atau ia yang beli sendiri ketika pulang sekolah. Apa lagi setelah dosis obat yang ia konsumsi bertambah, Bi Ana semakin rewel mewanti-wantinya agar tidak sembarangan memilih makanan.

Pernah sekali ketika Luka ikut sarapan di meja bersama Mama dan Papa karena diseret paksa oleh Raken saat itu, suasana di meja makan langsung hening, walau Raken terus ngoceh mencoba membuka topik yang mirisnya tak ada yang menyahut. Papa dengan cepat menyelesaikan makannya lalu berangkat ke kantor begitu saja, dengan Mama yang segera mengikuti pergi dari sana dan masuk ke kamar. Karena itu Luka memilih tak pernah ikut di sana, lagipula ia juga merasa tertekan oleh rasa canggung.

Semenjak Raken koma di rumah sakit beberapa minggu lalu, Mama dan Papa tak pernah di rumah. Mereka menghabiskan waktu di sana menemani putranya. Pulang pun hanya sesekali untuk mengambil baju, laptop atau berkas kerja, atau hanya untuk beristirahat sejenak sambil membersihkan diri, setelah itu mereka tak pernah ingat pulang lagi.

Wajar. Luka juga mengerti, karena Raken adalah putra yang mereka anggap satu-satunya. Walau Luka tak bisa menipu diri kalau ia sakit dalam keadaan ini, namun ia  sadar kalau Raken seperti ini karenanya.

"Aku berangkat," pamit pemuda itu mendekat ingin mencium tangan Bi Ana yang sedang mencuci sisa perabotan di wastafel.

Bi Ana menoleh. "Tangan Bibi kotor, kamu langsung berangkat aja, nanti tangan kamu ikut bau amis," katanya, walau tetap saja ia segera mencuci tangan ketika anak itu masih tetap berdiri di sampingnya.

Luka mencium tangan Bi Ana, membuat wanita itu tersenyum hangat. "Bi, kalo Mama pulang kasih tau ya," kata pemuda itu.

"Kenapa?"

"Aku pengen liat Raken. Udah lama banget rasanya. Sepi juga di rumah kalau nggak ada yang usil."

"Heh, kamu tuh ya, orang lagi sakit," cibir Bi Ana ingin menabok lengan Luka membuat anak itu berkilah menghindar. "Emang kalau Mama kamu pulang kenapa?"

"Hadehhh, ya kalau Mama ada di sana juga, aku mana dibolehin masuk. Kalo Papa kan pulang Magrib, jadi aku ke sana langsung abis pulang sekolah," kata Luka dengan tenang, meski berikutnya mengangkat sudut bibir dengan miris mengingat terakhir kali ia mengunjungi Raken hari itu, lalu Mama datang menyeretnya keluar dengan makian menyesakkan. Sejak itu Luka tak pernah lagi mengunjungi Raken. Bukan karena tak peduli atau lepas dari rasa bersalah atas tabrakan itu, Luka hanya takut ditolak kembali.

Bi Ana menghela napas, mengusap bahu anak itu dan mencoba menguatkannya. "Ka, kamu jangan ke sana dulu yah, kan Pak Atuy juga sering ngasih kabar Raken gimana, dia mah bolak-balik terus nganterin ini-itu ke rumah sakit. Bibi bukannya apa-apa, Bibi cuma takut mereka bikin kamu sakit. Apalagi akhir-akhir ini sesak kamu sering kambuh kan. Bibi tau kamu kuat, tapi kalau tekanan mereka terus-terusan, Bibi takut kamu yang sakit."

Luka terdiam sesaat, lalu ia tertawa pelan. "Bibi apaan deh. Lebay," elak pemuda itu, walau tak bisa dipungkiri ia juga diam-diam mengiyakan ucapan Bi Ana.

Luka mencoba kuat selama ini, ia memendam semua rasa sakit yang bertumpu di dalam sana, menumpuk tanpa terobati sedikit pun. Luka bertahan bertahun-tahun di rumah ini hanya dengan kasih sayang seorang asisten rumah tangga, tanpa sedikit pun kasih dari ibu atau ayahnya. Luka mencoba tetap tegap meski pemuda itu tau dirinya benar-benar rapuh.

Luka tahu, manusia pada hakikatnya diciptakan dengan berbagai rasa sakit, maka Luka menahannya. Karena ia percaya kalau tak akan ada luka yang berakhir tanpa bahagia. Luka percaya suatu hari yang entah kapan, Mama akan meraihnya, merangkulnya, memberinya kehangatan layaknya seorang ibu pada anaknya. Mama akan membawanya ke tempat yang lebih terang dari sisa hidupnya yang gelap ini.

Another LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang