Luka | 17

18.7K 2.4K 256
                                    


Bu Marida menyodorkan lembaran berkas juga beberapa map kepada Luka. Wanita berkacamata tipis itu menghela napas pelan, tersenyum kepada murid di depannya.

"Ibu kok sedih ya, kamu mau pindah," katanya kemudian tertawa pelan, membuat Luka ikut tersenyum tipis menerima berkas-berkas yang diberikan wali kelasnya itu.

"Saya juga sedih."

Bu Marida menghela napas pelan. "Nanti Gian pasti bakal kesepian," katanya.

"Dia udah ngambek duluan dari pagi, pas saya kasih tau," balas Luka, membuka lembaran-lembaran dalam map hijau itu, memeriksa kelengkapannya.

Bu Marida tertawa mendengarnya. "Wajar lah, temen mainnya kan cuma kamu," kata guru muda itu, memandangi anak yang duduk di depannya kini sedikit tersenyum merespon. Walau kemudian tatapannya meredup melihat anak itu menunduk memeriksa lembaran berkas di tangannya. "Kalau boleh tau, kenapa kamu pindahnya mendadak gini?"

Luka membasahi bibir bawah, tak tau harus menjawab apa. "A ... Oma saya udah lama tinggal sendiri di Jogja, dia udah tua, jadi saya mau temenin, Bu," jawab pemuda itu.

"Raken? Kamu adiknya Raken kan, jadi dia ikut pindah juga?"

Luka berdeham kecil tak nyaman. "Saya aja yang pindah. Raken sama orang tua saya tetep di sini."

"Ah ... gitu ya," balas Bu Marida mengangguk paham, walau dalam hati masih banyak pertanyaan untuk anak ini. Ia melirik toples kaca kecil berbentuk bulat di sampingnya, yang kemudian entah kenapa tergerak untuk membuka toples berisi permen itu, mengambil beberapa butir lalu memeberikannya pada Luka, membuat anak itu mengangkat alis bertanya dengan polos.

"Buat kamu," kata Bu Marida, tersenyum tipis meraih salah satu tangan Luka, menaruh permen-permen tersebut di telapak tangan muridnya, membuat Luka tertawa kecil dan mengucapkan terima kasih.

Luka menaruh permennya di saku seragam, menutup map dan lembaran lainnya. Ia hendak berdiri, pamit menyalimi tangan Bu Marida, membuat wali kelasnya itu tersenyum menepuk pundaknya sesaat.

"Kamu anak baik."

"Hm?"

"Ibu nggak banyak tau tentang kamu, Ibu juga nggak tau persis latar kamu gimana, Ibu nggak tau kenapa kamu lebih suka sendirian. Teman-teman cewek kamu di kelas sering bilang sama Ibu, katanya kamu itu ganteng tapi judes. Terus anak lain juga banyak yang nanya, kenapa kamu nggak suka ikut olah raga tapi Mister Mark selalu kasih maklum, kenapa kamu sering skip upacara tapi guru-guru seakan biasa aja. Ibu balik nanya aja, kenapa mereka gak tanya langsung sama kamu." Bu Marida tertawa sesaat. "Tapi kalau menurut Ibu, kamu itu malah unik. Kamu berbeda dari murid lain. Ibu kagum sama kamu, kamu murid yang nggak neko-neko, pendiam tapi tetap punya karisma, kamu selalu jadi diri sendiri, jadi apa adanya tanpa peduli orang mau bilang apa tentang kamu," kata Bu Marida, menghela napas pelan lalu melanjutkan, "Kita pasti bakal kangen sama kamu."

Luka tertawa kecil dengan canggung. Ia tak begitu dekat dengan wali kelasnya, apa lagi guru muda itu cukup sibuk karena masih bagian pembina OSIS. Jadi selain jam pelajaran, ia jarang ada waktu untuk mengontrol kelasnya. "Saya ada atau enggak, kayaknya nggak ada pengaruhnya di kelas."

"Loh, kok gitu?"

"Ya gimana, saya aja ngobrol cuma sama Gian."

Bu Marida berdecak, menolak apa yang Luka katakan. Ia memang tak seakrab itu dengan muridnya secara keseluruhan, mungkin hanya sebagian kecil muridnya yang ia hapal betul karakternya masing-masing. Begitu juga dengan Luka, Luka anak paling tenang yang ia temui di kelas, atau bahkan seantero sekolah. Anak ini seolah punya banyak sisi yang berbeda dari anak lainnya.

Another LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang