Luka | 12

15.8K 2.4K 296
                                    

Hana mengernyit ketika sinar itu menerpa penglihatannya. Ia melihat ke sekitar, ruang putih tanpa dinding membuatnya merasa melayang di labirin tak berujung itu.

Hana terduduk memeluk lutut, merasa kesepian luar biasa dengan kekosongan ruang ini. Ia menundukkan wajah, entah kenapa merasa hatinya dipenuhi kesesakan tak berakhir.

"Mama ...."

Wanita itu mengangkat wajah, menoleh mencari sumber suara itu. "Raken!" panggilnya sekeras yang ia bisa.

"Raken, ini Mama!"

"Mas, kalian di mana?!"

"Raken kamu di mana, sayang?!" Hana beranjak, kini berjalan tak tentu arah mencari keberadaan putranya, ia menoleh kanan-kiri, juga memutar tubuhnya, mencari seseorang yang bisa ia temui. Wanita itu mulai frustasi, ia menangis, terisak pilu dengan kesepian luar biasa.

"RAKEN KAMU DI MANA? INI MAMA, SAYANG!" teriaknya gemetar, ia terjatuh, duduk lemah menutup wajahnya.

"Ma ... aku di sini."

Hana kembali terkesiap, menoleh ke segala arah mencoba menemukan suara itu. Namun nihil, hanya ruang putih yang ia lihat. Wanita itu menunduk lagi, kini mengacak rambutnya ke depan dengan gemas dan frustasi. Sepi ini benar-benar mengosongkan hatinya. Meski berikutnya ia terlonjak saat sebuah tangan menyentuh pundaknya dengan lembut.

Hana menoleh melihatnya. Anak itu tersenyum sayu, kulitnya tampak lebih putih dan pucat dengan sorot redup tanpa rona sedikit pun. Tapi senyumnya benar-benar tulus, terukir seakan tanpa beban memancarkan sinar indah.

Anak itu menyentuh wajah ibunya dengan lembut. "Kenapa cuma Raken sama Papa yang Mama panggil?" tanya anak itu terluka.

Air mata Hana lolos, terjatuh bebas. Luka menyeka dengan ibu jarinya yang lembut, tersenyum hangat menatapnya membuat wanita itu semakin meneteskan tetesan-tetesan berikutnya.

"Luka juga putra Mama, Mama pernah izinin Luka hidup di perut Mama, sama kayak Raken. Tapi kenapa Luka bahkan gak boleh panggil 'mama'?"

"Luka harus panggil Mama apa kalau gitu? Ibunya Luka kan cuma Mama, Luka gak punya ibu selain Mama."

Luka meraba dadanya. Hana melihat itu, yang kemudian ia menutup mulut terkejut saat melihat dada anak itu berdarah-darah terluka hingga menembus baju yang dikenakannya.

"Ini sakit banget, Ma .... Luka nggak bohong. Di sini bener-bener sakit."

Hana mendekap mulutnya, berusaha tak mengeluarkan isak sedikitpun.

Luka kini meraih tangan ibunya perlahan, meletakkan itu di dadanya hingga telapak tangan itu penuh darah.

"Obatin lukanya Luka, ya? Cuma Mama satu-satunya yang bisa sembuhin ini."

"Mama sebenernya sayang kan sama Luka? Ayah bilang gak ada ibu yang gak sayang anaknya."

Hana menunduk dalam dengan tangan masih menyentuh luka itu. Ia benar-benar tak kuat, rasanya begitu menyakitkan, kerongkongannya juga sesak, seakan ada gumpalan tak kasat mata yang menghalangi suaranya keluar.

"Kenapa Mama diem aja? Ngomong dong sama Luka, Luka gak pernah tau rasanya dibilang 'sayang' sama Mama kayak Raken."

Pertahanan Hana sia-sia, tangisnya pecah sejadi-jadinya. Wanita itu menangis keras, merasa hancur hanya karena berada dekat dengan putranya ini. Air matanya tak berhenti turun, jatuh bebas menyusul tetesan selanjutnya.

Another LukaWhere stories live. Discover now