Luka | 11

15.8K 2.1K 126
                                    


Luka menutup pintu ruangannya, melirik lorong menuju lobi sesaat sebelum melangkah ke arah berlawanan dengan lobi. Ia berbelok ke deretan kamar VIP, lalu berhenti di depan sebuah pintu.

Luka agak ragu, tapi mengingat Pak Atuy mengatakan bahwa Raken sedang sendirian karena Mama dan Papa keluar ada urusan pertemuan di acara kantor, juga Nenek yang baru pulang kemarin, Luka memberanikan diri untuk datang sebelum ia pulang. Ah ya, Pak Atuy juga sedang menunggunya di parkiran, jadi ia tak punya banyak waktu.

Pemuda itu membuka pintu perlahan, disambut oleh sunyi dan dinginnya ruang itu. Raken ada di sana, terpejam dengan alat medis melekat di dada dan lengannya, juga beberapa plester luka di wajah. Luka menipiskan bibir, menunduk ketika rasa bersalah itu makin melukainya tanpa ampun. Ia mendekat setelah menutup pintu, berdiri di samping tempat tidur kakaknya.

Luka membuang napas pelan, melepas tudung jaket hitamnya, mengalihkan wajah tak mau melihat Raken yang terbaring lemah tak bergerak sama sekali. Ia meraih tangan Raken yang bebas dari jarum infus, menggenggamnya erat dan kini menatap sendu wajah pucat yang tegas itu.

"Jangan lama-lama, Ken. Kasian Mama sama Papa."

Mata Luka menghangat. Ia tak pernah membayangkan akan melihat Raken dalam keadaan ini, karena dari kecil, Raken selalu lebih kuat darinya. Raken yang maju melindungi ketika ada anak kompleks yang ingin menyentuhnya, mengingat Luka hanya anak pendiam yang jarang bicara, apalagi ia anak baru di perumahan itu, jelas jadi sasaran empuk pembulian beberapa anak yang kurang ajar. Raken yang akan menggenggam tangannya kemana pun ia pergi, benar-benar menggenggamnya, layaknya seorang kakak kepada adiknya, meski mereka bukan benar-benar saudara kandung.

"Please, bangun. Gue takut sendirian, Ken, gue takut kalau nggak ada lo di rumah." Luka menunduk, mengeratkan genggamannya di tangan Arsen. Ia menarik napas dalam, menatap kakaknya yang tak merespon sama sekali.

"Oma bakal bawa gue ke Jogja saat gue lulus. Mungkin satu tahun lebih lagi, tapi itu terlalu sebentar buat Mama sama Papa nerima gue." Luka tersenyum getir. "Dan sekarang mereka tambah benci sama gue karena bikin lo kayak gini. Gue harus gimana?"

Luka mengusap matanya yang hangat. "Please, bangun. Seenggaknya buat gue ...."

Suara pintu yang terbuka membuat Luka menoleh tersentak dan segera melepas tautan tangannya di tangan Raken. Ia berdiri, menatap takut ibunya yang mematung menatapnya dingin di pintu.

"Keluar."

Luka tergagap sesaat. "Luka cuma mau liat Raken, Ma ...," ucapnya lirih.

Hana membuang wajah muak lalu mendekat, menarik kasar lengan Luka dan membawanya menjauh kemudian menghempasnya dengan kasar pula.

"Saya gak sudi anak saya dekat dengan kamu," kata Hana lirih penuh penekanan. "Kalau saja Raken nggak pergi cari kamu, mungkin sekarang gak akan kayak gini."

Luka mengalihkan tatapan, menggerakkan bola mata ketika bening hangat itu akan segera menetes. Ia meremas ujung belakang jaketnya, menahan kesakitan tak terhingga di dalam sana.

"Kamu perlu tau, Luka, hidup kamu gak lebih dari pembawa sial."

Pemuda itu mengangkat wajah dengan sayu menatap ibunya. Benar-benar tak menyiapkan hati untuk mendengar kalimat itu.

".... Kenapa?"

"Masih nanya?"

"Ma, Luka salah apa sama Mama?"

Hana tertawa sinis, mengalihkan wajah mendengar pertanyaan polos itu. Pertanyaan yang entah mengapa membuat desiran berbeda di hatinya. Wanita cantik itu mengangguk tegas, "Ya, kamu emang nggak salah. Ayah kamu yang salah. Ayah kamu dalang dari semua kekacauan di keluarga saya, termasuk kehadiran kamu."

Another LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang