Part 3

7.2K 585 93
                                    

Kehebohan terdengar ke seluruh penjuru pack, berita kehilangan adik dari pemimpin mereka membuat semua orang keresahan. Beberapa warior langsung ditugaskan Xander untuk mencari anaknya, sedangkan ia dan Nio akan memeriksa kamar Jessy.

Nio terpaksa menunda pekerjaan demi Jessy, padahal di meja kerjanya sudah ada setumpuk berkas yang harus diperiksa. Dia mengandalkan Liam terlebih dahulu untuk saat ini, setidaknya suami Jeslyn itu bisa diandalkan untuk urusan pekerjaan.

Dua laki-laki berbeda usia itu memperhatikan dengan teliti setiap sudut kamar Jessy, tapi tak ada yang mencurigakan. Semua barang-barang miliknya masih tertata rapi, selain tempat tidur yang sedikit berantakan.

"Daddy, bukankah ini terlalu rapi untuk penculikan?" tanya Nio.

Hanya helaan napas yang terdengar dari mulut Xander, kepalanya mendadak ingin pecah jika sudah berhubungan dengan Jessy. "Anak itu benar-benar!" geramnya.

"Uncle Evan bilang Jessy tidak ada di dunia manusia, dia tidak pernah pulang ke sana dari kemarin," jelas Nio, tadi ia sempat me-mindlink Evan untuk menanyakan keberadaan adiknya.

"Nio, terus cari petunjuk di sini! Dad ingin menemui mommy-mu dulu," ucap Xander.

Kali ini Nio yang menghela napas, daddy-nya itu memang benar-benar tidak bisa jauh dari mommy mereka. Sebenarnya untuk meminta bantuan dari Bella bisa saja melalui mindlink, tapi Xander lebih suka yang repot.

"Selalu seperti itu," gumam Nio setelah Xander hilang dari pandangannya.

Mata Nio menatap sekeliling lebih cermat, ia juga menggunakan penciumannya agar bisa mendeteksi bau yang tertinggal. Laki-laki itu mengeram pelan saat menyadari tidak ada satu pun petunjuk di sini, penculikan Jessy terlalu apik.

Semua itu bermula saat Bella tanpa sengaja tidak bisa mencium aroma Jessy, mommy-nya itu langsung memberi perintah untuk mencari Jessy ke seluruh tempat.

"Nio, apa sudah dapat petunjuknya?" tanya Karin.

Mendengar suara istrinya, Nio langsung menoleh dengan cepat. "Kenapa kau ke sini? Aku menyuruhmu untuk istirahat!" Ia menggenggam tangan Karin, bersiap untuk melesat ke kamar mereka.

Karin menahan lengan Nio dengan cepat, untuk sampai ke kamar Jessy saja ia harus mengerahkan sebagian tenaganya. "Tidak, aku ingin membantumu mencari Jessy."

"Dari mana kau tahu?" tanya Nio.

"Tadi aku tidak sengaja mendengar mom dan dad berbicara," jawab Karin.

Nio mendengkus pelan, seharusnya tadi ia menyarankan pada Xander untuk berbicara dengan Bella di kamar saja. Jika sudah seperti ini, dirinya juga yang repot.

Dari awal, ia sengaja menyuruh Karin untuk tetap berada di kamar. Tenaga gadis itu belum terlalu pulih meski ritualnya sudah sebulan berlalu, setidaknya Nio dapat menghalang agar Karin tidak berbuat nekat dengan menggunakan kekuatan yang tersisa.

"Tidak, Karin. Aku masih bisa mencari sendiri," tolak Nio.

"Kau tidak mau aku mencari adikmu? Keberadaannya lebih penting, Nio!" cerca Karin.

"Kesehatanmu juga penting," balas Nio kukuh. Cukup sekali ia melihat Karin kesakitan, sekarang itu tidak boleh terjadi lagi.

"Terserah."

Nio mengira-ngira tempat yang belum diperiksanya di kamar Jessy, ia baru ingat jika balkon belum tersentuh sama sekali.

Melihat Nio sudah menjauh darinya, Karin segera duduk di ranjang milik Jessy. Ia kembali melihat Nio yang yang berjalan ke arah balkon, memastikan suaminya tidak curiga. Sekarang mungkin saatnya untuk beraksi, menunggu izin dari Nio rasanya sangat mustahil.

Tak peduli dengan ucapan Nio yang melarangnya, Karin segera menutup mata dan melacak keberadaan Jessy. Cahaya merah yang melingkupi tubuhnya semakin pekat saat gadis itu memaksakan kekuatan yang ia miliki untuk mencari Jessy.

Tubuhnya limbung seketika, bertepatan dengan cahaya merah yang mulai meredup. Bersyukur Nio langsung melesat saat melihat Karin hampir tumbang, ia sudah mengira akan terjadi seperti ini.

"Ini akibatnya jika kau tak mendengarkan ucapanku," ujar Nio.

Karin perlahan membuka matanya, lalu bergumam pelan, "Aku tahu keberadaan Jessy sekarang."

***

Lenguhan keluar dari mulut Jessy, ia mengerjapkan matanya untuk melihat lebih jelas. Merah, satu kata untuk mendeskripsikan tempat ini.

Saat menyadari satu hal, Jessy langsung terduduk. Ia mengedarkan pandangan ke sekitar, semua tampak asing. Kamarnya di dunia mortal berwarna kuning, sedangkan di dunia immortal berwarna biru.

Suara pintu yang terbuka membuat Jessy menoleh, napasnya memburu ketika ia mulai sadar.

"Sudah bangun?" Bagai alunan merdu, suara itu terdengar sangat indah untuk Jessy. Suara yang sama dengan sapaan setiap ia terlelap.

Tampan

Jessy mengerjapkan mata berkali-kali ketika satu kata itu terlintas di otaknya, ingin menyangkal pun tidak bisa. Laki-laki yang kini duduk di depannya memang benar-benar tampan, menghipnotis siapa pun untuk menatapnya lebih lama. Rahang tegas, hidung mancung, mata yang tajam, dan berwajah pucat.

Pucat?

Kaki Jessy menendang kasur, menjauhkan diri dari laki-laki di depannya. Ia berusaha mengontrol diri, sadar jika tempat ini sangat berbahaya.

"Greva," panggil Jessy.

"Greva, jawab!"

"Berbicara dengan serigalamu?"

Senyum yang menurut Jessy sangat mengerikan timbul dari wajah laki-laki yang sialnya sangat tampan itu, tubuh mereka semakin dekat karena ia sama sekali tidak bisa menggerakkan tubuhnya.

"Nio, tolong aku!"

"Daddy!"

Jessy me-mindlink siapa pun yang bisa menolongnya, tapi semuanya gagal. Ia menatap laki-laki itu gelisah, sisi serigalanya benar-benar tidak bisa digunakan saat ini.

"Siapa kau?" tanya Jessy, suaranya bergetar karena ketakutan. Ia tak pernah setakut ini, bahkan dengan daddy-nya sekali pun.

Tangan laki-laki yang tidak Jessy ketahui namanya itu bergantung di udara, berisyarat agar mereka bersalaman. "Namaku Aldrick Pregnotide," ucapnya.

Ragu-ragu Jessy menjabat tangannya, ia merasa membeku saat tangan mereka bersentuhan. "Jessy Wilkinson," balas Jessy.

"Aku tahu."

Sedari tadi Jessy menahan diri untuk tidak bertanya, lebih tepatnya memastikan suatu hal. Saat ingin mengeluarkan pertanyaan itu, mata tajam Aldrick seakan menghipnotisnya.

"Apa aku membuatmu takut?" tanya Aldrick, kedua tangan Jessy di genggam oleh laki-laki itu. Ia menutup mata, kepalanya mengangguk mengiyakan pertanyaan Aldrick. Hawa dingin yang ia rasakan berangsur-angsur menghangat.

"Maaf," sesal Aldrick.

"Aku sudah tidak bisa menahan diri," sambung laki-laki itu.

Mereka lama terdiam, hingga akhirnya Jessy membuka suara. "Al, kau ... vampir?" Suara yang ia keluarkan sangat pelan, nyaris tidak terdengar.

"Iya."

Jessy mengangguk pelan, satu pertanyaan yang berada di kepalanya sudah terjawab. "Kenapa aku bisa di sini?" tanya Jessy pelan.

"Aku yang membawamu." Jawaban dari Aldrick membuat Jessy tersentak kaget, bukankah keluarganya tidak pernah berurusan dengan vampir? Lalu untuk apa laki-laki itu membawanya ke sini?

"Untuk apa?"

"Tidak untuk apa-apa, hanya saja ... aku menyukaimu."

The Queen [END]Where stories live. Discover now