Part 15

2.9K 334 7
                                    

Alam seakan tidak mendukung rencana Jessy untuk kabur, hampir semua hewan berkeluaran dan mengelilingi rumah yang ditempatinya. Belum lagi dengan harimau putih dan beruang putih berada di setiap akses keluar masuk, entah itu pintu maupun jendela.

"Aneh, padahal tadi satu makhluk pun tidak ada yang keluar. Kenapa jadi seperti ini?" tanya Jessy.

Raut senang yang terpatri di wajah Jessy berubah seketika, netra biru itu langsung meredup kala tidak menemukan jalan lain agar bisa bertemu sang pujaan hati.

Tangan Jessy bergerak mengusap perutnya dengan pelan, air mata yang sedari tadi ia tahan sudah mulai tidak tertampung.

"Aldrick, aku merindukanmu," ucap Jessy nyaris seperti gumaman.

Tak tahan dengan rasa rindu yang semakin membuncah, Jessy menjatuhkan diri ke atas ranjang dan bergulung di bawah selimut putih tebal itu. Cairan bening langsung mengalir di sepanjang pipinya, diikuti isakan menyayat hati.

"Aku harus apa agar bisa menemuimu, Aldrick?" Suara Jessy terdengar putus asa, gairah hidup wanita itu seakan menghilang karena tidak bertemu dengan mate sejatinya selama beberapa hari belakangan ini.

Ketukan di jendela kamar membuat ia langsung terduduk tegap, pasalnya tidak mungkin itu perbuatan kedua orang tua dan para hewan. Setahu Jessy, jendela berlapis perak tersebut mengarah ke loteng.

Tanpa menaruh rasa curiga, Jessy segera memanjat tangga yang menjadi akses naik ke sana. Wanita itu langsung mendorong jendela tersebut agar bisa melihat sumber suara tadi.

Loteng itu tidak memiliki penerangan sama sekali, tapi Jessy sama sekali tidak merasa takut. Kakinya malah semakin melangkah ke ujung lotong, di sana terdapat bayang-bayang sesuatu yang cukup mencurigakan.

Wanita berambut sepinggang itu terpaku, kaki yang tadi berjalan tanpa ragu seolah tidak bisa bergerak lagi untuk mendekat pada subjek di hadapannya.

Tidak ada ekspresi di wajah cantik itu, bahkan matanya semakin meredup setelah kejadian tadi. Isak tangis yang sempat berhenti kembali terdengar, sehingga pelaku ketukan tersebut merasa ikut teriris melihat kondisi sang pujaan hati.

"Jessy, aku minta maaf," sesal Aldrick.

Laki-laki itu tidak bisa berbuat apa pun karena Jessy menjauhkan diri darinya, wajah Aldrick tampak semakin mengenaskan karena sang mate tak mau disentuh.

Ia menyadari kesalahan yang sudah diperbuatnya, tapi sekarang semua itu tidak berarti jika hanya disesali saja. "Aku tahu ini semua terjadi karena ulahku. Maaf, Jessy," mohon Aldrick.

"Kenapa baru menemuiku sekarang?" tanya Jessy dengan suara yang cukup pelan, bahkan nyaris seperti gumaman.

"Aku selalu menemuimu, hanya saja baru sekarang aku berani menampakkan diri. Aku juga merasakan apa yang kau rasakan, Jessy. Kita sama-sama tersiksa saat ini." Aldrick kembali mencoba mendekati Jessy, tangan yang bergantung bebas itu digapainya dengan mudah karena sang pemilik tidak menghindar.

Dua insan yang sedang dirundung rasa rindu itu saling mendekap, sepatah kata pun tidak ada yang keluar dari mulut keduanya. Deru napas mereka beradu, berlomba menghirup candu yang beberapa hari belakangan tidak tercium.

Berkali-kali Aldrick menahan hasrat vampirnya untuk tidak menggisap darah Jessy sekarang, ia masih sadar jika wanita itu sedang hamil sekarang.

Laki-laki itu jelas tahu jika mengandung anak dari klan vampir sangat rumit, apalagi mereka berbeda. Darah kehidupan yang dimiliki Jessy belum cukup kuat untuk melahirkan nanti, bisa saja jiwanya yang menjadi ancaman ketika proses persalinan.

"Aku dibantu kakak iparmu untuk masuk ke tempat ini, kekuatanku sudah jelas tidak bisa menandingi barier hutan putih. Ketika aku ingin menemuimu, tidak semudah ketika kau berada di pack atau dunia manusia, para hewan di sini sangat menjagamu dengan ketat."

"Setelah dua hari, aku menemukan loteng ini. Hanya di sini satu-satunya tempat yang tidak bisa terjamah oleh para hewan, bahkan kekuatan kita tidak bekerja," sambung Aldrick.

Helaan napas Aldrick semakin berat setelah mengatakan hal yang selama ini dialaminya, tubuh laki-laki itu bahkan hampir bertopang pada badan Jessy.

"Aldrick?"

Tubuh tegap itu terkulai lemah dalam rengkuhan Jessy, mata yang biasa menatap tajam pada lawan terpejam dengan damai. Raut kesakitan perlahan memudar, lalu berganti dengan senyuman tipis.

"Waktu kalian habis," celetuk Karin yang tiba-tiba berada di tempat itu.

Jantung Jessy yang masih berdetak tak normal karena kejadian Aldrick pingsan tadi semakin memacu lebih cepat, kedatangan dan suara Karin membuatnya tidak bisa menguasai diri. "Apa?" tanya Jessy syok.

"Ini akibat jika kalian bertemu, Jessy. Aldrick harus menahan napsu lapar agar tidak menggigitmu, tenaganya habis karena membendung hasrat vampir yang terus memberontak," jawab Karin.

Jemari Karin menunjuk ke arah Aldrick yang sedang tidak sadarkan diri, tubuhnya langsung mengudara mengikuti pergerakan dari tangan gadis berpakaian aneh itu.

"Kalian mau ke mana?"

"Pulang." Karin menjawab pertanyaan Jessy dengan enteng, sejujurnya gadis itu sudah ingin mengistirahatkan tubuh di kasur empuk yang menari-nari di pikirannya.

"Bisakah Aldrick tetap di sini? Aku bisa merawatnya," pinta Jessy penuh harap.

"Vampir bukan serigala, Jessy. Ketika sisi yang berbeda mengambil alih, maka dia tidak akan mengenali siapa pun," balas Karin.

Perasaan Jessy mendadak mulai tidak enak, bayangan perpisahan mendominasi pikiran wanita hamil itu. "Aku boleh ikut mengantarnya?" tanya Jessy sedikit ragu.

Ia kembali teringat dengan penjagaan ketat di seluruh akses keluar masuk, ada sedikit rasa kurang percaya ketika bisa lolos dari para hewan tersebut.

"Tentu saja."

Seperti biasa Karin selalu seenaknya sendiri, bahkan saat ini mereka sudah sampai di perbatasan hutan putih dalam sekedipan mata.

"Ada yang ingin kau katakan?" tanya Karin pada Jessy.

Cukup lama Jessy berdiam diri tanpa menjawab pertanyaan Karin, wanita itu menatap Aldrick dengan lekat seolah-olah mereka tidak akan bertemu lagi.

"Bisikkan saja ke telinganya!" perintah Karin.

Tak ingin mengganggu pasangan mate itu, Karin menjauhkan dari mereka. Walaupun apa yang diucapkan Jessy pasti terdengar, ia tidak mau membuat adik iparnya merasa kurang bebas.

"Aku akan selalu merindukanmu, Aldrick. Kumohon bertahanlah!" bisik Jessy.

Tubuh Aldrick yang masih melayang ke udara itu perlahan menembus barier hutan putih, lalu turun tepat di depan Fedrick dan Tedrick.

Dua saudara kembar itu sudah diperintahkan Karin untuk tetap menetap di sana selama Aldrick berada di dalam hutan putih, hal tersebut demi berjaga-jaga ketika masalah seperti ini terjadi.

Mereka mengangguk hormat pada Karin sebelum membawa Aldrick pergi dari sana. Namun sebelum berbalik badan, Fedrick menyempatkan diri mengedipkan sebelah matanya untuk Jessy.

Adik Aldrick yang berwajah hancur itu memang tidak ada takutnya. Bahkan saat ini di samping Jessy masih ada Karin, bisa-bisanya dia menggoda dengan begitu santai.

"Ayo pulang! Kakakmu sedari tadi sudah mengomel menyuruhku kembali ke pack," adu Karin.

The Queen [END]Where stories live. Discover now