Part 9

5.2K 454 134
                                    

Satu kata yang cocok untuk mendeskripsikan kamar Jessy sekarang, berantakan.

Entah apa yang dilakukan Liam pada Evan, ia tidak ambil pusing dan tidak akan pernah peduli. Saat ini yang terpenting baginya adalah tidur, mengistirahatkan otak dan tubuh yang sudah lelah seharian ini.

Baru saja ingin memejamkan matanya, aroma mawar yang memabukkan kembali mengusik penciuman Jessy. "Aldrick, kau datang?" tanyanya.

Tak lama sosok yang ditebaknya itu keluar dari tempat persembunyian, Jessy langsung berlari dan memeluk Aldrick dengan erat.

"Aku merindukanmu," ucapnya.

Aldrick terkekeh pelan, ia membalas pelukan Jessy tak kalah erat. Sebelah tangannya mengusap surai panjang Jessy yang tergerai indah. "Aku juga merindukanmu," balasnya.

Pelukan mereka terurai saat sudah melampiaskan rasa rindu masing-masing, lalu keduanya melangkah duduk di sofa yang berada di pojok ruangan.

Jessy meringis melihat kamarnya yang berantakan, apalagi saat ia sadar Aldrick menatap sekitarnya dengan intens. "Aldrick, maaf kamarku berantakan," ujar Jessy tak nyaman.

"Tidak apa-apa." Aldrick membalas dengan nada yang santai, tatapannya juga tidak memperlihatkan bahwa laki-laki itu risih.

"Sebentar!"

Tangan Jessy bergerak sesuai dengan barang yang disihirnya, ia meletakkan kembali barang tersebut ke tempat semula. Satu per satu barang dipindahkan, hingga akhirnya kamar Jessy kembali seperti sedia kala.

"Kau hebat!" puji Aldrick.

Laki-laki itu menarik Jessy agar bersandar di dada bidang miliknya, lalu ia meletakkan dagu di atas kepala gadis yang kini sedang didekapnya dari belakang.

Berada dalam posisi yang seperti ini, membuat jantung Jessy berdetak tak sehat. Debaran itu terasa sangat menggebu-gebu, belum lagi dengan wajahnya yang kini berubah warna.

Pipi Jessy merasa panas hingga menjalar sampai di telinganya, tubuh gadis itu juga seakan kaku untuk digerakkan. Benar-benar, jatuh cinta itu merepotkan.

"Kau tidak ingin tidur?" tanya Aldrick.

"Sepertinya belum," jawab Jessy.

Rasa kantuk dan lelah yang tadi ia rasakan seolah lenyap saat kedatangan Aldrick, bahkan Jessy merasa tubuhnya segar sekali.

Aldrick melepaskan pelukannya, ia duduk tegak sambil memandang Jessy dari samping. "Kau perlu istirahat," kata laki-laki itu.

Tanpa menunggu jawaban dari Jessy, Aldrick langsung menggendong gadis keturunan Wilkinson itu menuju ranjang yang berada di tengah ruangan. Ia juga ikut merebahkan diri di sana, sebelah tangannya dijadikan bantal untuk Jessy.

Gadis yang awalnya berbaring terlentang itu berubah posisi menjadi menghadap Aldrick, ia kembali memeluk laki-laki itu dari samping. "Aldrick, jangan pergi!" Jessy sudah nyaman dengan lelaki yang membalas pelukannya ini, ia tak mau mereka berjauhan.

"Tidurlah!" Bagaikan seperti disihir, mata Jessy perlahan terpejam. Tindakannya tidak sesuai dengan apa yang ia ucapkan tadi.

Saat Jessy sudah jatuh dalam alam mimpinya, mata Aldrick menatap sekitar dengan pandangan menghunus. Hasil berantakan tadi bukan karena ulah Liam sepenuhnya, tapi ia juga ikut campur dalam penyerangan Evan tadi.

Aldrick merasa hatinya panas ketika ada laki-laki lain masuk ke kamar Jessy, apalagi dengan seenaknya tidur di ranjang yang sekarang mereka pakai.

Sudah cukup selama ini Aldrick menahan segala rasa cemburunya, kali ini ia tidak mau membiarkan Evan mendekati Jessy lagi. "You are mine!" ujar Aldrick posesif.

Sesuatu yang sudah ia anggap menjadi miliknya, tidak boleh dimiliki oleh orang lain. Aldrick memejamkan matanya, menahan gejolak yang kini sedang ingin timbul di permukaan.

Jessy terlihat tidur dengan nyenyak, jadi sebisa mungkin Aldrick tidak ingin membangunkannya. "Aku tidak bisa menahan diri lama-lama," ucap Aldrick.

Lehernya semakin lama menjadi panas, dua gigi taring yang dimiliki Aldrick muncul dengan sendirinya. "Tidak, aku tidak ingin mengganggu Jessy," tegas Aldrick pada dirinya sendiri.

Nyatanya, rasa gelisah yang Aldrick rasakan membuat Jessy terbangun. "Ada apa, Aldrick?" tanya Jessy dengan suara parau.

"Tidak, tidurlah kembali!" perintah Aldrick.

Jessy menggeleng, ia tahu pasti ada yang tidak beres dari laki-laki di sampingnya. "Tidak mau," tolak Jessy.

Jika sudah seperti ini, Aldrick tidak bisa menahan lagi gejolaknya. "Jessy, aku haus." Kata haus yang diucapkan Aldrick langsung ditangkap baik oleh Jessy.

Gadis itu menggulung lengan bajunya yang panjang, lalu menyodorkan tangannya di depan wajah Aldrick. "Minumlah!" ucapnya.

Sebisa mungkin Jessy tidak berteriak saat kedua tarik Aldrick menebus kulit tangannya, ia bisa melihat laki-laki itu menghisap darahnya seperti orang rakus.

Ini bukan pertama kali Aldrick meminum darah Jessy, terhitung sudah dua kali laki-laki itu meminum darahnya. Meski rasa sakit yang ia rasakan tidak seperti waktu gigitan pertama, tapi tetap saja Jessy kaget saat benda runcing dan dingin itu menyobek kulitnya.

Setelah puas, Aldrick melepaskan tangan Jessy. Diusapnya bekas gigitan tadi dengan pandangan sendu, pasti gadis yang kini jatuh pingsan itu kesakitan. "Maaf, aku tidak bisa menahannya lagi," sesal Aldrick.

Jessy masih bisa mendengar apa yang Aldrick katakan, tapi untuk menjawab, ia sudah tidak mampu lagi. Perlahan, pandangannya mulai kabur, rasa pening mulai menjalar di kepalanya.

Kulit di wajahnya juga semakin pucat, mungkin karena Aldrick terlalu banyak menghisap darah Jessy.

Insting vampirnya menguat kala ada sesuatu yang ia rasakan berjalan mendekat ke arah kamar Jessy. Tak ingin membuat keributan, Aldrick langsung bangkit dari tidurnya. Lagi pula lawannya kali ini terlalu tangguh, ia saja tidak yakin akan menang jika diserang oleh orang itu.

Ia menatap Jessy sejenak sebelum meninggalkan kamar gadis itu, meskipun rasanya tidak rela harus berpisah kembali. "Aku akan kembali, Sweetheart," ujarnya.

Beberapa detik sepeninggalan Aldrick, pintu kamar Jessy terbuka. Di sana ada Nio dan Karin yang menatap sekitar dengan pandangan waspada.

"Dia sudah pergi, Nio," tutur Karin.

"Kita terlambat," sambungnya.

Wajah Nio tampak murka, apalagi ketika ia melihat wajah Jessy yang pucat pasi. Mereka mendekat, menelisik tubuh Jessy yang terbaring lemah. "Vampir sialan! Berani-beraninya dia menggigit Jessy lagi," maki Nio saat mendapati bekas gigitan di lengan adiknya.

Tak lama Xander datang bersama Bella. Laki-laki berjulukan King of Werewolf itu baru dapat merasakan ada penyusup yang masuk di wilayah pimpinan anaknya.

"Nio, apa yang terjadi?" tanya Bella.

"Vampir itu datang ke sini, Mom. Dia juga menggigit tangan Jessy." Nio memperlihatkan tangan Jessy yang terdapat dua titik di sana, sudah pasti itu bekas gigitan vampir.

Bella mendekat, mengusapkan tangannya di bekas gigitan itu. Sinar putih yang menyilaukan keluar ketika Bella menyentuh luka Jessy, hingga sinar itu menghilang dan tangan Jessy kembali seperti semula.

"Panggil dokter pack, Nio!" perintah Bella.

Nio segera me-mindlink Freta agar segera datang, ia juga menyuruh dokter paruh baya itu membawa peralatan yang lengkap. "Sudah, Mom. Freta akan segera datang," jawab Nio.

Tak membutuhkan waktu lama, Freta datang dengan menenteng sekotak alat kedokteran miliknya. "Permisi, King, Queen," tunduk Freta hormat.

"Langsung saja, Freta!" perintah Xander.

Dokter kepercayaan keluarga Wilkinson itu langsung menjalankan tugasnya, memeriksa Jessy dengan teliti. "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Nona hanya kekurangan darah. Cukup berikan makanan yang sehat, terutama daging untuk menambah darahnya," tutur Freta.

The Queen [END]Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum