Part 19

2.2K 274 7
                                    

Keluarga Wilkinson berkumpul di ruang bawah tanah, Karin mengangkut semuanya ke sana. Raut wanita iblis itu terlihat tak sehangat biasanya, tapi melihat genggaman tangan Nio membuat mereka merasa tenang.

"Kenapa bisa terjadi hal seperti ini?" tanya Jessy.

Ia merasa paling tidak tau apa-apa di sini, padahal Jeslyn juga sama. Jessy hanya melebih-lebihkan saja, tapi sampai detik ini pertanyaannya belum dijawab juga.

Keadaan masih hening sampai Xander terlihat mengernyitkan dahi saat melihat makhluk yang bukan dari keluarga Wilkinson, meskipun anaknya sedang mengandung keturunan klan laki-laki itu.

"Sejak kapan kau berada di sini, Aldrick?" tanya Xander.

"Sudah dari beberapa jam yang lalu," jawab Aldrick singkat.

Bagaimana pun ia masih segan berada di sana, terlebih semua yang berada di ruangan itu memiliki hubungan. Sebelum Jessy turun untuk berkumpul tadi, Aldrick sebenarnya enggan ikut.

Namun, permintaan wanita hamil itu tidak bisa ditolak. Apalagi ketika melihat raut wajah Jessy yang memelas, Aldrick semakin tak tega.

"Bagaimana kau bisa masuk?"

Kali ini giliran Nio bertanya, nada yang digunakan laki-laki itu terdengar tidak bersahabat. Aldrick bisa bertaruh jika sulung Wilkinson masih belum bisa menerima kehadirannya, apalagi dengan kehadiran anak dikandung Jessy terkesan paksaan.

"Sudah, aku bertanya sedari tadi tak ada yang menjawab. Kenapa kalian malah fokus mengintrogasi Aldrick jika Moon Godness sendiri membawanya ke sini?"

"Bagaimana bisa?" tanya Liam.

"Vampir juga makhluk immortal kalau kau lupa," sinis Jessy.

Nio mendengkus mendengar jawaban adiknya, entah kenapa semenjak hamil wanita itu semakin tidak tahu sopan santun.

Namun, tiba-tiba ia teringat dengan bantuan yang dikirimkan Aldrick saat perang tadi. Banyak pasukan vampir gugur, bahkan jumlahnya hampir menyamai warior dari Silvermoon Pack.

"Adrick, terima kasih bantuannya. Maaf, banyak vampir yang gugur tadi," ucap Nio.

"Tidak apa-apa, lagi pula perang mustahil tak memakan korban," balas Aldrick santai.

"Kukira kau ikut tadi, ada seseorang sangat menyerupai wajahmu," celetuk Xander.

"Dia saudaraku, namanya Tedrick."

Tak mungkin jika yang dilihat Xander adalah Fedrick, laki-laki satu itu penuh dengan jahitan di wajah. Lagi pula, Aldrick yakin adiknya tidak akan berdiam diri begitu saja saat di medan perang.

"Halo, apa tidak ada yang berniat menjawab pertanyaanku?" tanya Jessy dengan sengaja mengeraskan suara.

Bukannya mendapat apa yang dimauinya, mereka malah memilih meninggalkan ruangan. Sekarang hanya tersisa Aldrick dan Jessy di sana, laki-laki itu sama sekali tidak ada niatan untuk beranjak.

"Benar-benar menyebalkan," desis Jessy.

Tangan Aldrick langsung merangkul bahu Jessy, membawa kepala wanita itu agar bersandar di dadanya. Tak ada yang membuka suara, hanya bunyi hewan-hewan di luar menjadi sumber bunyi.

Setelah lama terdiam, Aldrick baru berani membuka suara sesudah menyusun kalimat untuk menenangkan Jessy. Ia tak mau membuat wanita itu merasa tidak penting di keluarganya, hal tersebut terlalu menyakitkan.

"Mungkin mereka belum siap menceritakannya. Kau tahu, peperangan adalah satu hal yang menyakitkan. Kita bisa kehilangan segala hal dan kerugian besar. Sebagai sosok penting di pack, mereka pasti tidak mau membuat warga kesusahan," terang Aldrick.

Jemari Aldrick aktif mengelus rambut Jessy, mencoba menenangkan wanita itu agar tidak meledak. Sebelahnya lagi bertengger di atas perut, menyapa anak mereka secara verbal.

"Sebelum seperti sekarang, aku juga pernah mengalami hal ini. Diasingkan, dinomor sekiankan, dan dikurung untuk menjadi vampir terkuat. Apa yang pernah terjadi di kerajaan tak ada satu pun informasi datang padaku, bahkan Tedrick ikut tutup mulut."

Cerita masa lalu yang dijabarkan Aldrick membuat Jessy merasa tertarik, wanita itu mengubah posisi dengan berbaring di pangkuan laki-laki pilihannya.

Walaupun mata mereka bersitatap, Jessy dapat melihat Aldrick hanya menatap kosong. Pikiran dan hati laki-laki itu sedang tidak berada di raganya, berkelana di masa lalu yang disimpan rapat.

"Ketika aku terbebas, kerajaan sudah runtuh dan kedua orang tuaku ... meninggal. Mereka meninggalkanku di bangunan runtuh itu dan membawa Tedrick pergi. Daerah kekuasaan kami juga melepas diri dan bergabung dengan kerajaan lain," ungkap laki-laki itu.

"Fedrick?" tanya Jessy.

"Dia bukan adik kandungku, keluarga Fedrick saat itu belum memiliki anak sehingga membawa Tedrick bersama mereka."

Dengan posisi seperti ini, Jessy dapat melihat jelas ekspresi yang dikeluarkan Aldrick. Laki-laki itu marah, kecewa, dan terlihat putus asa.

Walaupun tak pernah pisah secara paksa oleh keluarganya, Jessy seakan mengerti apa yang dirasakan laki-laki itu. Jika tak mengingat gengsi, ia ingin menangis mendengar masa lalu Aldrick.

"Bagaimana kau menemukan Tedrick?" tanya Jessy penasaran.

"Aku tak pernah menemui dan mencarinya, dia sendiri yang datang padaku. Namun, karena sudah terbiasa tinggal dari kecil bersama keluarga Fedrick, dia lebih sering bergabung dengan mereka. Aku tak melarang, bahkan orang tua si gila itu menyuruhku memanggil mom dan dad."

"Apalagi?"

Pertanyaan yang dilemparkan Jessy seakan belum puas dengan cerita Aldrick, ia masih penasaran kehidupan laki-laki itu. Untuk sampai seperti saat ini, pasti banyak rintangan dan hambatannya.

Bukannya melanjutkan, Aldrick dengan sengaja menjepit hidung Jessy. Ia gemas dengan tingkah wanita itu, apalagi wajah penasaran yang ditunjukkan.

"Cerita masa laluku terlalu kejam untuk menjadi dongeng pengantar tidur. Jadi, lain kali akan dilanjutkan. Sekarang kau harus segera istirahat, Sweetheart," kata Aldrick.

Sejujurnya, ia masih belum siap untuk menceritakan semua hal yang terjadi di masa lalu. Di masa itu, Aldrick merasa menjadi pribadi paling menyedihkan.

Hidup tanpa ada bimbingan sampai memiliki kerajaan yang dibangun dari nol tentu menyakitkan, bahkan ia mengurus semua hal sendiri. Aldrick tak mudah percaya dengan orang lain.

"Istirahat, Jessy!" perintah Aldrick saat Jessy tak bergerak dari pangkuannya.

Jengah dengan kelakuan wanita itu, Aldrick langsung membopongnya menuju kamar. Sedari tadi, Jessy memang menunggu situasi ini.

Entah kenapa untuk bergerak saja ia sudah malas, apalagi berjalan menuju kamar. Mood yang tak menentu dan ingin mendapat perhatian dari Aldrick menjadi faktor pendukung.

"Kau tidak akan pergi, kan?" tanya Jessy.

Tiba-tiba saja ia kepikiran Aldrick akan pergi ketika sedang tertidur, keberadaan keluarganya di sini mempermudah akses keluar masuk.

"Jangan pergi!" cegah Jessy penuh harap.

Jika Aldrick keluar dari tempat ini, ia tak tahu kapan lagi bisa bertemu. Namun, kesibukan laki-laki itu di kerajaannya juga pasti sudah menunggu.

Salahkah jika dirinya menginginkan Aldrick tetap di sini?

Kediaman Aldrick seakan menjadi jawaban laki-laki itu, ia berencana akan pergi setelah Jessy tertidur. Namun, hati kecilnya juga merasa tak rela.

"Tanggung jawabku sudah menunggu di sana, Jessy. Aku tak mungkin membiarkan Tedrick mengatur semuanya sendirian."

***

Sorry banget dua malam kemaren gak bisa update🙃
Aku sibuk sampe gak bisa ngetik cerita ini
.
Sorry😭
.
Btewe, sebenernya aku hari ini ujian. Tapi karena servernya lagi down dari pagi, jadi enggak. Makanya bisa nulis buat malam ini☺

The Queen [END]Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum