Part 4

7.2K 548 98
                                    

Lapangan hijau yang dipenuhi berbagai macam tumbuhan itu sangat memanjakan mata, apalagi dengan adanya bunga mawar yang berwarna-warni.

Senyum tipis terbit di bibir Jessy, ia kagum sekali dengan tempat yang sedang diinjaknya sekarang. Di pack milik keluarga Wilkinson atau pun di dunia immortal, tak pernah ada tempat seindah ini.

Rasanya sangat disayangkan jika tidak memanjakan mata, belum lagi dengan air terjun yang berada di sudut lain taman. "Aldrick, ini sangat indah," puji Jessy.

"Kau lebih indah dari pada tempat ini, Jessy," balas Aldrick, laki-laki itu tidak ragu untuk mengeluarkan kalimat godaannya.

Rona merah menjalar dari pipi hingga telinga Jessy, baru kali ini dirinya blushing saat digoda seorang laki-laki. Dulu ketika berada di dunia manusia, ia bahkan digoda dengan kata-kata yang lebih manis. Efeknya tidak ada yang seperti ini, terlalu manis.

"Ka-kau bisa saja," ujar Jessy malu-malu.

Sungguh, ia tak pantas seperti ini. Jika saja ada Nio di sini, pasti laki-laki itu akan menertawainya. Jessy itu ... sejenis perempuan urakan, cuek, dan tomboy. Sangat jauh dari kata feminim dan sebagainya.

"Aku serius, kau adalah gadis tercantik yang pernah aku temui," aku Aldrick.

"Sayangnya aku tidak percaya dengan ucapanmu, di sini pasti banyak gadis cantik. Bangsa kalian itu memiliki keturunan yang nyaris sempurna, tidak ada cacat sama sekali," tutur Jessy merendahkan diri.

Faktanya memang begitu, bangsa vampir tercipta dengan garis kehidupan yang sempurna. Dagu runcing mereka selaras dengan rahang yang tegas, walaupun kesan pucat tidak bisa dihilangkan sama sekali.

"Kau mau ke air terjun?" tawar Aldrick.

Jessy mengalihkan arah pandangnya ke arah Aldrick, ia memandang laki-laki itu dengan binar bahagia yang luar biasa. "Bolehkah?" tanyanya balik.

"Tentu saja, apa pun untukmu." Keduanya mendekatkan diri ke air terjun, duduk di batuan besar yang menghadap langsung ke air terjun terbesar dari beberapa yang lebih kecil.

Tangan Jessy memainkan air yang mengalir di dekatnya dengan sihir, di sini kekuatannya yang satu itu masih bisa digunakan. Ia membuat gelembung besar, lalu memecahkannya hingga terjadi hujan kecil sekejap.

Tawa yang keluar dari gadis itu mengalihkan pandangan Aldrick, selama ini laki-laki itu tidak pernah melihat Jessy tertawa dengan lepas seperti sekarang.

"Kau senang?"

"Sangat senang. Terima kasih, Aldrick," ucap Jessy tulus.

Tak pernah dirinya berada senyaman ini dengan laki-laki lain, setidaknya selain daddy dan Nio. Perlahan senyum yang tadi tersungging di wajah Jessy langsung hilang, ia baru teringat dengan keluarganya.

"Ada apa?" tanya Aldrick yang mengerti akan perubahan sikap Jessy, laki-laki itu mengubah arah duduknya sehingga ia menghadap langsung ke arah Jessy.

"Aku teringat dengan daddy dan mommy, pasti mereka khawatir aku menghilang," jawab Jessy pelan, bahkan nyaris tak terdengar.

Aldrick mengangguk tanda mengerti, orang tua mana yang tidak panik anaknya menghilang? Bahkan Aldrick pernah seperti itu. Bedanya ia dulu bermain jauh dari kerajaan, bukan diculik seperti Jessy sekarang.

"Sebenarnya aku meninggalkan semacam surat, mungkin bisa menjadi petunjuk untuk mereka mengetahui keberadaanmu," ungkap Aldrick.

"Ah, syukurlah," ucap Jessy sedikit lega.

"Hanya saja aku tak tahu mereka akan menemukannya atau tidak," sambung laki-laki itu.

Ucapan dari Aldrick membuat tubuh Jessy kaku, ia khawatir jika siapa pun yang mencari keberadaannya tidak menemukan petunjuk yang dibuat laki-laki itu.

"Kau bisa berenang?" tanya Aldrick sengaja mengalihkan percakapan, ia tidak ingin Jessy berlarut-larut memikirkan hal tersebut. Dirinya masih ingin bersama gadis itu, menghabiskan waktu berdua.

Atensi Jessy beralih, ia menatap Aldrick dengan mata elangnya. "Kau bercanda? Aku tidak bisa berenang? Yang benar saja!" pekik gadis itu.

"Segala kemungkinan bisa saja terjadi, bukan?" sindir Aldrick. Sebelum bisa bertatap muka dengan Jessy, laki-laki itu sudah mengetahui segalanya tentang gadis itu.

Perasaannya bukan obsesi, tapi rasa posesif. Baik atau buruk kelakuan Jessy sudah ia ketahui, bahkan soal keluarga gadis itu. Segala kemungkinan juga sudah dipikirkannya secara matang, jika mereka bisa bersama nanti.

"Adrick!"

Teriakan dari Jessy membuyarkan lamunan laki-laki itu, ia menatap gadis yang sudah terjun terlebih dahulu itu. Senyum kecil terbit di wajah keduanya, memperlihatkan betapa bahagia mereka dengan keadaan sesederhana ini.

"Apa yang kau lamunkan? Sepertinya dirimu banyak pikiran, benar?" tanya Jessy saat Aldrick mendekat ke arahnya yang sudah basah kuyup.

"Bisa kau buat hujan seperti tadi, Sweetheart?" pinta Aldrick mengalihkan percakapan mereka lagi.

"Sweetheart?" beo Jessy.

"Kau ...." Jessy tak mampu menyelesaikan kata-katanya, ia tidak percaya bertemu dengan orang yang memanggilnya sweetheart selama ini.

Saat itu pula Aldrick merutuki diri, ia kelepasan. Mulutnya sudah terbiasa memanggil gadis yang berada di depannya seperti itu.

Sekarang ia tidak bisa mengelak lagi, Jessy sudah tahu meskipun sebenarnya tidak perlu diperjelas. "Ya, aku adalah orang yang menghampirimu di saat lelap. Orang yang selalu memelukmu dan membisikkan kata-kata itu, Jessy," ungkap Aldrick.

"Bagaimana bisa?" tanya Jessy tak percaya.

"Segala kemungkinan bisa saja terjadi, bukan?" Lagi, kalimat itu yang diucapkan Aldrick. Ia terlalu bingung untuk mengucapkan alasannya, lebih baik dipendam untuk saat ini.

Tak disangka, Jessy langsung menerjang Aldrick dengan pelukan. Gadis itu mulai terisak pelan, menumpahkan apa yang ia rasakan.

Aldrick, orang yang Jessy cari selama ini. Pemberi kenyamanan di kala ia terlelap, sandaran di saat dirinya terpuruk. Sekarang gadis itu sudah mengetahui pemilik pelukan hangat itu, bahkan berkali-kali lipat lebih nyaman dari pada bersama Evan.

"Terima kasih," ucap Jessy.

Pelukan mereka dilepas Aldrick secara paksa, laki-laki itu menghapus air mata Jessy dengan kedua ibu jarinya. "Jangan menangis lagi!" cegah Aldrick.

Kepala Jessy menggeleng berkali-kali, ia tersenyum sebentar lalu memeluk Aldrick kembali. Keduanya hanyut dalam kenyamanan, kicauan burung-burung yang berada di dahan pohon seolah menambah kesan romantis untuk mereka.

"Sudah merasa lebih baik?" tanya Aldrick di saat pelukan mereka terlepas.

Jessy tersenyum, ia selalu merasa lebih baik dalam dekapan Aldrick. "Kau menyukai mawar?" tanya gadis itu balik.

"Lumayan suka," jawab Aldrick.

"Pantas saja tubuhmu beraroma bunga mawar," balas Jessy sambil terkekeh.

Dahi Aldrick mengerut, tak mengerti dengan ucapan Jessy. "Aku tidak pernah menggunakan parfum, seperti yang kau gunakan di dunia manusia. Apalagi beraroma bunga mawar, tidak pernah sama sekali," bantah Aldrick.

"Aldrick, jangan bercanda! Jelas-jelas tubuhmu bau bunga mawar," ucap Jessy tak percaya.

"Aku serius, Jessy. Aku tak pernah menggunakan apa pun menyangkut bunga mawar di tubuhku," tegas Aldrick.

"Kau tak berbohong?"

Gelengan dari kepala Aldrick menarik sesuatu dalam diri Jessy, gadis itu berpikir keras. Tidak mungkin jika laki-laki di depannya kini mate-nya, kan?

The Queen [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang