01 :: AWAL PERTEMUAN

15 2 0
                                    

Akan kuceritakan kepada kalian, bagaimana kami bisa bertemu. Saat itu, baru beberapa bulan sejak MOS berlalu. Kami sekelas. Namun, tempat duduk kami cukup jauh.

Aku ada di baris kedua dari belakang, sedangkan mereka bertiga yang memang satu SMP memilih untuk duduk di depan.

Aku belum terlalu paham dengan wajah serta nama teman sekelasku. Hingga akhirnya waktu olahraga renang terjadi. Entah bagaimana, aku dan Putri berjalan bersama dari kelas menuju angkot di depan sekolah. Ya, kami naik angkot untuk menuju kolam renang yang berada di pusat kota. Bisa dibilang, ini merupakan tradisi di daerahku dengan menaiki angkot saat olahraga renang tiba.

Back to the topic, kami pun akhirnya duduk bersebelahan. Selama perjalanan berangkat hingga pulang, kami hanya diam saja. Dan aku menyimpulkam bahwa Putri termasuk cewek pendiam.

Namun ternyata, pepatah 'don't jugde a book by a cover' memang benar. Mungkin, karena saat itu kami baru pertama kali bertemu secara langsung, berjalan bersama, duduk bersebelahan, sehingga sulit untuk kami menemukan topik yang pas untuk membuka pembicaraan yang pasti akan berujung kebosanan.

Beberapa hari setelahnya, secara sadar maupun tidak kami selalu pergi ke kantin bersama. Perlahan, Putri menceritakan hal-hal yang bisa dibilang bersifat pribadi. Dan aku hanya mendengarkan dengan seksama. Aku belum berani untuk menceritakan hal-hal pribadiku.

Putri juga mengenalkanku pada kedua temannya saat di SMP, yaitu Nafa dan Shafa. Menurutku, mereka cukup ramah padaku. Bisa dibilang, aku sebagai pendatang baru di daerah mereka, dan mereka telah menyambutku dengan baik. Sehingga tanpa terasa, aku pun mulai merasa nyaman dengan mereka.

Beberapa kali kami pergi ke kantin bersama, makan bersama, saling bercanda, saling menertawakan satu sama lain, dan melakukan hal lain yang menyenangkan.

Akan ku deskripsikan bagaimana ketiga temanku ini agar kalian mengerti.

Pertama, Putri. Badannya mungil, kulitnya putih, rambutnya cepak seperti laki-laki dengan poni yang menjuntai hingga alis. Rambutnya selalu basah seperti diberi minyak, dan itu membuatku selalu melihatnya seperti masih anak-anak. Ditambah dengan sifatnya yang cukup ceria, suka bercerita, ramah, mudah tersenyum apalagi tertawa, perhatian, tidak enakan, tidak tegaan, dan lemah lembut.

Kedua, Nafa. Badannya cukup bongsor namun terlihat manis dengan rambut bergelombang dan poni miringnya. Kulitnya bisa dibilang mendekati sawo matang. Dia satu-satunya anggota LAPUNASHA yang memiliki semangat overload. Walau memiliki badan seperti itu, Nafa cukup energik dibanding aku yang memiliki tubuh sedikit kurus darinya. Stok lelah dalam dirinya seolah telah menguap saat ia beraktifitas. Nafa pun cukup ceria, bahkan lebih ceria dari Putri. Dia mudah bergaul juga, bisa membuat orang-orang di sekitarnya tertawa, dan satu sikapnya yang terkadang membuatku kesal; dia selalu menempel jika sudah akrab dan nyaman dengan seseorang. Seperti padaku.

Terakhir, Shafa. Badannya tidak terlalu gendut, juga tidak bisa dibilang kurus dengan rambut yang menjuntai hingga punggung. Dia juga ceria, lebih tepatnya mencoba untuk ceria walau ada masalah. Tapi, jika sudah bergelut dengan masalah, ia akan sedih luar biasa. Mengalami kepanikan sendiri tanpa tahu bagaimana cata menyelesaikannya.

Dari deskripsi di atas, bisa kalian lihat bahwa Nafa-lah yang paling banyak. Padahal, sampai saat ini teman yang benar-benar masih berhubungan baik denganku hanyalah Putri. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa Nafa membuat beberapa kenangan manis yang tak mudah terlupakan olehku. Walau aku pernah kecewa akan sikapnya, setidaknya aku pernah bahagia dan bangga pernah menjadi teman dekatnya.

***

Beberapa hari setelah kami kenal dan mulai dekat, Nafa membelikan kami gelang. Dengan wajah sumringah, ia membagikan gelang berwarna merah muda itu dan menyuruh kami untuk memakainya.

Setelah itu, kami juga disuruh untuk berfoto. Entah itu sendiri-sendiri ataupun bersama. Dan aku, karena belum pernah berfoto sendirian jadi bingung harus berpose seperti apa. Alhasil, Nafa pun menjadi pengarah gaya untukku, dan Shafa yang memotret. Saat itu, aku belum tahu cara tersenyum yang baik dan benar untuk berfoto. Terdrngar aneh sih sampai ke cara tersenyum, tapi kalau aku melihat beberapa temanku yang berfoto di kelas, cara mereka tersenyum di waktu biasa berbeda dengan saat di kamera.

Ini adalah kali pertama aku mau berfoto bersama teman. Biasanya, aku selalu menolak dengan cara apapun karena aku merasa malu. Aku selalu merasa ada yang kurang dengan diriku, apalagi melihat hasil fotoku. Meskipun ada rasa sedikit bangga karena aku terlihat tidak terlalu buruk juga dalam foto, tapi tetap saja ada rasa tidak puas dalam diriku. Entah itu senyumku yang kurang bagus, gayanya yang kaku, atau ekspresiku yang terlihat seperti tertekan.

"Jangan lupa gelangnya dipakai tiap hari, ya," pinta Nafa dengan semangat.

Dan kami hanya mengangguk. Aku selalu tersenyum saat mengingat hal ini. Setidaknya, aku pernah menjadi orang yang sangat berarti bagi orang lain, dan itu membuatku senang. Tapi, kesenangan itu tidak berlangsung selamanya. Karena nyatanya, saat di kelas dua, kami tidak sekelas dan semua kacau balau karena itu.

***

LAPUNASHA (COMPLETED)✔Where stories live. Discover now