05 :: EMILIA

2 1 0
                                    

Di kelas dua ini, Putri mendapat beberapa teman baru tentunya. Sikapnya yang ramah dan penurut membuat beberapa dari mereka menyukai Putri—dan ada juga yang memanfaatkannya. Entah itu menyuruhnya membelikan sesuatu, atau mengajaknya kemanapun.

Dari semua temannya itu, hanya satu yang membuatku kesal dan sedikit cemburu. Namanya Emilia. Jika kulihat sekilas, ia seperti tidak terlalu akrab dengan teman sekelasnya. Tipe murid yang kuper. Yah, bisa kalian bayangkan seperti karakter nerd yang memakai kacamata. Dan memang seperti itu penampakannya.

Awalnya, aku biasa saja dan mencoba untuk mengenalnya juga. Siapa tahu, karena dia sudah dekat dengan Putri, dia akan mudah dekat denganku juga. Namun, lama-lama aku eneg juga melihatnya yang selalu menempel pada Putri kemanapun ia pergi. Bahkan, saat Putri bersamaku pun, dia tiba-tiba muncul dan meminta Putri untuk menemaninya—entah kemana.

Huh, menyebalkan sekali. Apalagi, cara bicaranya yang sok menurutku. Seperti dibuat-buat agar banyak yang menyukainya, padahal kalau menurutku malah membuat eneg saja, serasa pengin muntah.

Aku masih ingat, saat itu aku duluan yang mengajak Putri ke kantin karena Anggun tidak masuk. Juwita dan Adel juga sudah duluan.

Kami pun pergi ke kantin. Dan ternyata, dia ada di sana. Matanya dengan cepat mengenali Putri dan akhirnya memanggil kami—lebih tepatnya memanggil Putri. Bisa kulihat kalau Putri merasa tidak enak padaku, karena jujur saja ia pun cukup risih dengan Emilia. Tapi, mau gimana lagi, udah dipanggil juga, masa mau menghindar?

Dengan langkah gontai dan rasa kesal, aku pun mengikuti Putri dan duduk semeja dengan Emilia.

Sebenarnya, aku pernah merasa kasihan dan bersimpati pada Emilia karena ia terlihat seperti tidak ada yang mau berteman dengannya. Tapi, setelah melihat sikapnya yang seperti ini, justru malah membuat rasa simpatiku hilang dan berganti dengan rasa kesal.

Ia pun lebih mendominasi pembicaraan. Ia hanya berbicara dengan Putri, membahas hal-hal yang hanya mereka berdua saja yang tahu. Walau kadang Putri juga mengajakku bicara, tapi aku sudah terlanjur kesal dengan sikap Emilia yang seolah menunjukkan kalau ia dekat dengan Putri.

Benar-benar menyebalkan. Kenapa juga aku tadi tidak membawa bekal saja? Lebih baik aku makan sendirian di kelas daripada dicuekin seperti ini. Kenapa pula aku tidak ikut dengan Juwita dan Adel. Padahal, mereka berdua sudah mengajakku tadi.

Hingga akhirnya makanan kami habis. Setelah membayar, kami pun kembali ke kelas. Emilia langsung menyerer Putri untuk berjalan dengannya, dan meninggalkanku sendirian di belakang. Kalau aku berjalan beriringan dengan mereka, tentu akan menghambat jalan. Jadi, aku hanya bisa pasrah dengan posisiku saat ini. Tapi, aku tetap percaya diri. Karena Putri paati akan lebih memilih bersama denganku daripada dengan Emilia.

Di tengah perjalanan, kami bertemu Nafa dan beberapa teman barunya. Di kelas dua ini, aku bisa merasakan jika Nafa seperti sudah mendapat soulmate-nya. Karena aku lebih sering melihatnya dengan beberapa teman barunya dibanding dengan Putri. Dan tidak bisa dipungkiri jika aku juga merasa cemburu dengan teman barunya itu.

Tapi, aku tentu tidak boleh egois. Kita punya hak untuk berteman dengan siapapun dan dilarang untuk pilih-pilih dalam berteman. Walau akhirnya hal itu membuat hubunganku dengannya menjadi sedikit renggang.

Kembali pada Putri dan Emilia. Aku tahu jika Nafa merasakan apa yang kurasakan saat ini. Sepertinya, ia juga cemburu dan kesal dengan Emilia sehingga ia mencari teman lain. Di belakang Putri dan Emilia, aku dan Nafa membicarakan hal-hal yang terdengar seperti menyindir Emilia.

"Ya ampun, Put, Lal kasian nih. Masa dia jalan sendirian di belakang." Kira-kira, itu salah satu dari sekian banyak kalimat yang kami obrolkan.

Aku tahu jika Emilia mendengarnya. Tapi, dia bersikap seolah-olah tidak mendengarnya. Dia terus saja mengajak Putri berbicara hingga mereka sampai di kelas.

Aku pun langsung menuju kelasku tanpa berpamitan pada Putri. Hatiku sedang panas saat ini, hanya gara-gara satu orang saja. Huh, ini baru sehari aku makan dan berjalan bersama Emilia. Bagaimana dengan Putri yang setiap hari bersama Emilia, ya?

***

Sepulang sekolah, Putri menemuiku di kelas. Dia meminta maaf karena telah mengabaikanku tadi.

"Gue minta maaf, ya, gue nggak bermaksud buat mengabaikan lo tadi. Abisnya, si Emilia itu nyerocos terus. Kayak nggak ngasih kesempatan buat gue ngobrol sama lo."

"Iya, nggak pa-pa. Lupain aja, nggak usah sebut-sebut nama dia lagi. Eneg gue dengarnya. Sumpah! Kok bisa sih, ada spesies kayak dia di kelas lo? Kenapa nggak di kelas lain aja?"

Putri tertawa mendengar kekesalanku. "Mana gue tahu, La. Lagipula, dia penghuni asli di kelasnya. Lah gue kan cuma pendatang. Gue juga nggak enak kalo nolak, berasa jadi jahat gue."

"Gue sih berharap, semoga kelas tiga nanti lo nggak sekelas lagi sama dia dan nggak berhubungan lagi sama dia. Sumpah, kesel banget gue sama dia. Dikira gue debu kali yang cuma numpang lewat."

Putri tertawa dan menenangkanku. "Iya, gue juga kesel kok sama dia. Tapi, mau gimana lagi? Gue agak kasihan juga sama dia. Kayak nggak ada yang mau temenan gitu."

Curhatan kami pun harus berakhir karena Putri sudah dijemput ayahnya. Ya, sampai sekarang, Putri masih diantar jemput oleh ayahnya—kadang juga ibunya. Orang tua Putri memang benar-benar menyayangi Putri, hingga tak rela membuatnya berangkat dan pulang sendiri.

***

LAPUNASHA (COMPLETED)✔Where stories live. Discover now