06 :: ENGLISH CONVERSATION

2 1 0
                                    

Ada bagian yang terlupa di kelas dua ini. Di pertengahan semester dua, sekolah mengadakan kegiatan wajib bagi kelas dua yaitu english conversation. Kegiatan ini dilakukan dengan hari yang diselang-seling tiap pulang sekolah (misalnya hari Senin, Rabu, Jumat) , sekitar pukul dua hingga pukul empat sore. Jadi, total ada tiga pertemuan tiap minggu.

Setelah mengikuti tes, aku, Anggun, dan Adel ternyata sekelas. Bersama teman dari kelas lain tentunya. Meskipun begitu, aku merasa senang. Setidaknya, aku tidak harus melakukan ritualku saat menemukan hal baru.

Sedangkan Juwita berada di kelas yang berbeda, namun bersama Shafa. Sedangkan Putri dan Nafa, mereka terpisah.

Untuk kegiatan ini, tiap kelas hanya terdiri dari satu gender saja. Jadi, antara laki-laki dan perempuan kelasnya dibedakan. Jika para perempuan kelasnya dimulai hari Senin, Rabu, dan Jumat, maka kelas para lelaki di hari Selasa, Kamis, dan Sabtu.

Di hari pertama mengikuti kelas english conversation ini, para tutor yang terdiri dari dua wanita yang masih muda itu mulai memperkenalkan diri masing-masing menggunakan bahasa Inggris yang kemudian ditranslate ke bahasa Indonesia.

Lalu, diberi materi yang masih tergolong mudah. Di akhir materi, kami diajak untuk bermain-sambil belajar pula.

Kira-kira, seperti itu lah ringkasan kegiatan dari english conversation.

***

Ada satu memori saat english conversation yang sampai saat ini masih ku ingat dan selalu sukses membuatku tersenyum. Entah ini karena aku yang terlalu ge-er, atau memang kejadiaannya real seperti itu.

Waktu itu, jadwalnya para lelaki. Sedangkan yang perempuan pulang. Kebetulan, kelasku mendapat tugas membuat tarian modern alias dance. Untuk konsep dan tariannya sudah ada, kami pun sudah berlatih beberapa hari sebelumnya. Jadi, ini untuk pemantapan saja.

Karena untuk kelompoknya memilih sendiri, jadilah aku, Anggun, dan Juwita yang memang tidak terlalu dekat dengan yang lain merasa terbuang. Akhirnya, kami bertiga membuat kelompok sendiri. Lalu, ada salah satu temanku bernama Eka yang tiba-tiba saja menawarkan diri untuk bergabung di kelompok kami. Jadilah anggota kelompok kami ada empat orang.

Kami memutuskan untuk latihan di depan kelas kami. Sebenarnya, sebelumnya kami memilih tempat di pojok yang tersembunyi dari mata orang lain. Namun, karena suasananya cukup gelap dan sepi, malah membuat kami takut hingga akhirnya memilih depan kelas sebagai tempat latihan.

Untung saja, semua murid perempuan sudah pulang. Kalaupun masih ada, paling mereka berada di kelas atau di lapangan belakang. Jadi, kecil kemungkinan ada yang melihat kami latihan sehingga kami pun merasa sedikit lega. Walau kadang ada murid lelaki yang tengah mengikuti kelas english conversation keluar untuk ke kamar mandi-atau malah nyasar ke kantin.

Jika seperti itu, kami akan berhenti sejenak. Malu juga jika dilihat, meski hanya beberapa saja yang menyadari ada kami di lantai dua.

Setelah dirasa lantai satu mulai sepi, kami pun memutar music video yang kami gunakan untuk latihan dan mulai menggerakkan badan kami seperti yang ada di video.

Kami tetap meneruskan latihan walau ada beberapa lelaki yang lalu lalang. Nanggung juga jika sedikit-sedikit berhenti, bisa-bisa nggak selesai latihannya.

Hingga sebuah pintu dari kelas bawah terbuka dan menampilkan sosok lelaki yang amat kukenal, diikuti dua lelaki lagi di belakangnya. Mereka berjalan mendekati tumpukan batu bata dan duduk di atasnya. Yang berarti, tempat mereka duduk itu berada di lantai satu dan jika dari lantau dua, itu sangatlah terlihat.

Gerakanku pun terhenti perlahan. Tubuhku terasa gemetar saat salah satu dari mereka mendongak dan melihat kami dengan sebuah senyum di bibirnya. Ya, itu dia.

Ketiga temanku tetap melanjutkan gerakan mereka. Namun, itu tak menghilangkan niat mereka untuk bertanya.

"Kenapa berhenti, La?" tanya Eka.

"Hah? Oh, nggak, gue lupa gerakannya," jawabku gugup.

Hingga Juwita menyadari apa yang menbuatku bereaksi seperti itu.

"Oh, gue tahu nih. Udah, lanjut aja, anggap nggak ada," ujar Juwita dengan senyum jahilnya yang membuatku malu.

"Kenapa sih? Ada apa emangnya? Ada siapa? Kasih tahu gue dong?" tanya Eka bertubi-tubi.

Yah, setelah beberapa hari kami latihan bersama, aku akhirnya tahu kalau sifat Eka sama dengan Yenni; sama-sama kepo. Dan jika kekepoan mereka terjawab, pasti akan memberitahu yang lainnya meski sudah berjanji untuk tutup mulut.

Kalau Anggun sih, aku sudah bercerita tentang dia padanya. Dan lewat mata Juwita yang menunjuk-nunjuk ke bawah, Anggun tahu alasanku berhenti.

"Udah ah, yok lanjut, biar cepet pulang," kataku sambil memutar kembali music video dari awal.

Kami berempat melanjutkan latihan. Tapi, tetap saja mulut kami tidak bisa berhenti untuk ngobrol. Dan masih membahas topik yang sama; yang membuat gerakanku berhenti.

Hingga Eka tahu alasannya karena sedari dari mataku menatap ke satu titik.

"Gue tahu nih! Dia kan?" serunya sambil menunjuk dia.

Aku segera menarik tangannya. "Ssssttt! Jangan nunjuk-nunjuk, jangan teriak juga," ujarku.

Dan Eka malah tertawa melihat wajah panikku yang menandakan kalau tebakannya benar. "Hahaha... Bener kan tebakan gue. Wah, lo suka sama dia, ya? Ngaku lo."

Aku berkali-kali menyangkalnya. Hingga akhirnya aku lelah dan mengatakan iya. Namun, dengan cepat aku menyuruhnya untuk tidak memberitahu siapa-siapa.

Beberapa menit kami pun terbuang hanya karena membahas apa dan siapa yang membuatku tiba-tiba berhenti. Akhirnya, kami pun menyudahi latihan ini tepat saat dia masuk kelas.

Sepanjang perjalanan menuju tempat parkir di samping sekolah, Eka tak henti-hentinya menggodaku. Apalagi, dia juga membawa sepeda yang artinya, dia tidak akan berhenti sampai kami sampai di parkiran.

Selama aku mengayuh sepedaku, kejadian tadi terus terulang di pikiranku. Cara dia mendongak, melihatku (atau aku saja yang terlalu ge-er), dan tersenyum. Membuatku sedikit berharap jika dia masih mengingat dan menganggapku sebagai temannya. Iya, temannya.

***

LAPUNASHA (COMPLETED)✔Where stories live. Discover now