12 :: BERBURU KADO

1 1 0
                                    

Bulan Oktober. Kira-kira, sudah dua bulan setengah aku menjalani kehidupan sebagai seorang mahasiswi. Kukira, bakal banyak hari yang kosong. Memang benar, tapi hari-hari kosong tersebut tidak serta-merta membuatku bebas untuk melakukan semua yang kuinginkan, karena tugas dari para dosen di tiap mata kuliah membelengguku dengan deadline sekitar seminggu.

Itu artinya, sama saja aku tidak bisa bersantai. Sementara itu, dua hari yang lalu aku diundang oleh Nafa untuk datang ke acara ulang tahunnya. Ya, karena Nafa tergolong anak dari orang tua yang berkecukupan, tentu saja tiap ulang tahunnya akan dirayakan.

Tentunya tidak hanya aku saja yang dari teman SMA-nya, Putri dan Shafa pun juga diundang. Hanya saja, Shafa tidak bisa janji untuk datang karena ia harus mempersiapkan sebuah acara untuk keesokan harinya.

Sungguh aku dan Putri merasa senang karena undangan tersebut. Walau belum sampai setahun kita berpisah, tapi aku sudah sangat rindu dengan mereka. Aku ingin memceritakan semua kisah yang kualami semasa kuliah. Begitu pula dengan mereka yang pasti akan bercerita mengenai pengalaman masing-masing.

Dua hari menjelang hari-H, aku ketemuan dengan Putri. Lebih tepatnya, aku yang menjemput dia di kampusnya—karena dia masih diantar jemput oleh ayahnya. Rencananya, kami akan iuran untuk membeli sebuah kado untuk Nafa. Maka dari itu, sebelum aku membawa Putri ke rumahku, kami mampir ke sebuah toko alat tulis yang sepaket dengan toko aksesoris di pasar.

Kami pun berjalan mengelilingi tiap lorong di sana sambil mencari barang yang kiranya 'pantas' untuk dijadikan kado.

Hingga mataku tertumbuk pada sebuah jam tangan berwarna hijau tosca dengan model seperti gelang. Aku pun menghampiri benda itu dan melihatnya beberapa detik. Hingga Putri datang dan ikut mengamati jam itu. Dia langsung tahu mana jam tangan yang sedang kulihat, karena dari semua model jam di sana, hanya satu yang berwarna hijau tosca, dan Nafa merupakan pecinta hijau tosca.

"Beli yang itu aja gimana?" tawar Putri. "Gue tadi juga liat ada kuncir rambut warna hijau tosca. Lumayan, harganya murah. Hehehe..."

Aku pun melirik harga dari jam tersebut. Cukup sih, bahkan masih sisa walau tidak banyak.

"Boleh," ujarku akhirnya.

Putri pun meminta mbak pegawainya untuk menyimpan jam tersebut, karena kita akan keliling lagi. Selain untuk melihat kuncir rambut yang tadi dibilang Putri, mungkin kita bisa mendapatkan sebuah benda lagi yang cocok dengan sisa uang kita.

Dan pilihan kami jatuh pada sebuah buku bersampul tebal itu, atau biasa disebut diary. Warnanya pun pas dengan yang kami inginkan; hijau tosca. Dengan semangat, aku mengambil benda tersebut dan membawanya ke kasir untuk dibayar beserta jam tadi.

Selesai membayar, kami mampir sebentar di supermarket untuk membeli minuman, es krim, serta camilan. Itung-itung sebagai teman saat membungkus kado nanti.

***

Kami sampai di rumahku pukul satu siang. Aku menaruh barang-barang belanjaan kami di atas meja ruang tamu. Tentu saja aku sudah mempersilahkan Putri untuk duduk di sana sembari menungguku ganti baju dan mengambil beberapa peralatan untuk membungkus kado.

Tujuh menit berlalu. Aku menghampiri Putri dengan sebuah kardus bekas sepatu, kertas kado, gunting, dan isolasi di kedua tanganku.

"Es krim lo mau cair nih, makan dulu sana," suruh Putri sambil memberikan es krim milikku. Bukan milikku juga sih, karena es krim ini dibelikan Putri. Lagipula, aku tidak terlalu senang makan es krim di siang hari. Ujung-ujungnya malah membuatku semakin haus. Tapi, karena Putri ingin membeli es krim dan padahal aku sudah bilang tidak beli, tetap saja Putri mengambilkan satu untukku. Lantas, aku bisa apa selain menerima?

Oke, cukup untuk cerita asal muasal es krim. Setelah es krim-ku habis, aku pun mulai membersihkan kardus yang sudah berdebu itu. Sedangkan Putri melepas label harga pada barang yang telah kami beli.

"Lo tata deh barangnya di kardus, udah gue bersihin nih. Gue mau nulis surat," ujarku. Aku pun menyobek selembar kertas dari buku tulisku dan mulai menulis di sana.

To : Nafa

Selamat ulang tahun, ya, Naf. Gue nggak nyangka kalo lo bakal tetap ngadain ulang tahun pas kuliah. Hehehe...

Btw, maafin ya kalo hadiah dari gue dan Putri cuma segini. Tapi, setidaknya kita tulus kok ngasih ke lo. Semoga lo suka, ya.

Dan tolong, tetap jadi Nafa yang kukenal. Nafa yang hiperaktif, cerewet, ceria, antusias, dan lucu.

Kira-kira, seperti itulah isi suratku. Pada paragraf terakhir, bukan tanpa sengaja aku menuliskan seperti itu. Walaupun aku tahu, bahwa sekarang Nafa sudah dewasa, sudah bisa merias diri, sudah menemukan teman-teman baru yang bisa diajak jalan bareng. Tapi, tetap saja aku lebih menyukai Nafa yang masih seperti anak kecil. Yang selalu mengikuti kemanapun aku pergi, yang selalu berteriak memanggil namaku meski jaraknya cukup jauh, yang selalu antusias saat menceritakan sesuatu, dan lainnya yang membuatku malah menitikkan air mata. Untung saja Putri masih fokus untuk menulis surat. Jadi, aku buru-buru menghapus dan menahan tangisanku agar tidak keluar.

"Udah nih suratnya, masukin amplop atau taruh di atasnya aja?" tanya Putri.

"Emang kita punya amplop?" tanyaku balik, yang langsung dijawab gelengan kepala oleh Putri.

"Taruh di dalam aja deh. Pasti keliatan juga kalo dibuka," ujar Putri kemudian.

Aku pun mulai membungkusnya dengan kertas kado yang kubeli di toko dekat rumahku.

"Akhirnya selesai juga. Biasa banget, ya, keliatannya. Gue jadi minder."

"Kenapa minder?"

Aku mengedikkan bahu sambil membereskan peralatan yang tercecer. "Lo tahu sendiri kan, Nafa sekarang kuliah di negeri, pasti temen-temennya berkelas semua. Apalagi Nafa juga mampu secara finansial. Pasti gampang lah buat dia bergaul dengan mereka. Dan pasti mereka ngasih kado yang mahal, nggak kayak kita."

Aku merasakan elusan lembut di punggungku.

"Hei, jangan pikirin mahalnya dong. Pikirin gimana serunya kita pas cari kado, dan rasa tulus kita untuk berteman dengannya."

Dan aku hanya bisa mengangguk. Tapi, tetap saja aku merasa minder.

***

LAPUNASHA (COMPLETED)✔On viuen les histories. Descobreix ara