08 :: KELAS TIGA

4 1 0
                                    

Semester pertama di tahun ketiga. Sekarang, aku sudah kelas tiga. Kelasku pun diacak kembali. Aku tetap berada di kelas yang sama bersama Adel, Anggun, dan Juwita (karena absen kami yang berdekatan), hanya beberapa saja yang berubah alias bertukar dengan kelas sebelah.

Dari awal aku melihat nama-nama yang tertera di pintu, aku sudah menghembuskan napas. Pasalnya, sebagian dari mereka yang berasal dari kelas sebelah adalah anak-anak yang nakal dan suka membuat kegaduhan maupun keributan. Ya, walaupun masih dalam batas wajar, tapi tetap saja aku tidak suka.

Kali ini, aku kembali duduk bersama Anggun tepat di depan meja guru. Sedangkan Adel dan Juwita berada di sebelah kanan kami. Kini, kami berempat menjadi cukup akrab. Karena kemampuan bergaul mereka lebih tinggi dibanding diriku, mereka pun juga cepat akrab dengan Putri, Nafa, dan Shafa.

Mereka bertiga sekarang berada di kelas yang sama, letak kelasnya pun tepat di sebelahku. Sehingga, saat istirahat tiba, mereka akan ke kelasku dan menceritakan beberapa hal. Yah, bisa dibilang itulah kesempatan kami untuk ngobrol di saat kami selalu terpisah sejak kelas dua.  Terkadang pula, aku yang ke kelas mereka jika sedang jamkos atau merasa kesepian, khususnya saat Anggun tidak masuk kelas.

Di kelas tiga ini, kami fokus belajar untuk menyambut UN di tahun depan. Ah, ralat, maksudnya semester depan. Dan anak-anak yang kupikir nakal itu, ternyata tidak senakal yang kubayangkan. Yah, walau kadang ada saja yang membuatku kesal.

Setidaknya, mereka bisa menahan keinginan mereka untuk membuat gaduh kelas demi mendengarkan guru yang sedang menjelaskan pelajaran. Ya, walaupun aku yakin sih mereka tidak benar-benar bisa mendengarkan dengan seksama.

Di kelas tiga ini, Putri sudah terbebas dari Emilia, dan aku cukup senang akan hal itu. Meskipun di kelas barunya ini, ia seperti menjadi bahan bullyan karena kepolosannya. Tapi, setidaknya aku tidak perlu merasa resah karena makhluk pengikut itu.

Sejak kelas mereka berbeda, aku juga jarang melihat Emilia mengobrol atau sekedar menyapa Putri. Padahal, mereka terkadang berpapasan. Tapi, ya sudahlah. Sekarang aku tidak perlu merasa cemburu lagi.

Di kelas tiga ini, aku mendapat wali kelas yang menurutku the best banget. Bagaimana tidak? Aku belum pernah melihat beliau marah—tergantung situasi-kondisi juga sih, dan selalu memberi hadiah atau sekedar mentraktir makanan. Bahkan, jika kami meminta uang pun pasti diberi. Dan aku sudah beberapa kali mengalaminya.

Saat itu, aku dan Anggun disuruh membeli beberapa barang di supermarket. Dan kami diberi uang serta sebotol minuman yang tadi kami beli di supermarket sebagai upah. Langsung saja aku habiskan minuman itu bersama Anggun di jalan. Aku tidak mau teman-teman sekelasku tahu jika itu dari wali kelas. Karena mereka pasti iri dan menyangka kami murid kesayangan.

Di kelas tiga ini, aku mengenal Rian dan Berliano, yang ternyata sekelas juga denganku saat kelas dua. Yah, aku sadar dan ingat sih kalau kita pernah sekelas. Hanya saja, situasinya saat itu cukup canggung karena mejanya dengan mejaku cukup jauh sehingga kami tidak punya kesempatan untuk ngobrol. Kami juga pernah satu kelompok saat seni budaya, tapi saat itu juga masih canggung rasanya.

Dan kini, karena meja mereka berada tepat di sampingku, aku jadi cukup mengenal mereka—setidaknya aku tahu bagaimana sifat dan sikapnya. Tidak semuanya sih, hanya beberapa dari sifat dan sikap yang mereka tunjukkan secara umum.

Menurutku, mereka berdua sedikit berbeda dari yang lain. Ingat ya, hanya sedikit, yang membedakan hanyalah sikap mereka yang cukup lembut dan pengertian. Tidak seperti yang lain yang kasar dan cenderung memaksa.

Mereka berdua pun bisa dibilang pintar jika dibanding murid laki-laki lain. Apalagi masalah hitung-hitungan di pelajaran Matematika. Sungguh sulit untuk dipercaya bahwa ada laki-laki yang bisa di pelajaran itu. Bahkan, aku dan Anggun—bukan bermaksud sombong ya—yang tergolong pintar pun kadang masih kurang nyambung dengan Matematika. Sedangkan mereka berdua, sekali diterangkan sudah langsung paham.

Huh, sepertinya memang faktor keturunan. Kadang, mereka juga tidak menbawa buku cetak—hanya buku tulis, khususnya bagi Rian. Kalau Berliano, kudengar dia memang mengikuti les. Jadi, ya, tidak heran jika dia bisa dan lebih unggul dari yang lain.

Ada satu kisah yang selalu membuatku tersenyum jika mengingatnya. Saat itu, kami mendapat tugas mengerjakan Matematika. Aku dan Anggun tidak paham dengan soalnya, harus diapakan agar jawabannya bisa ketemu.

Hingga akhirnya, kami menyerah dan meminta bantuan Rian. Dia pun ke meja kami. Sambil berdiri, dia mengajari kami cara mengerjakannya. Di sela-sela ia menerangkan dan bertanya, aku menggodanya hingga membuatnya ngambek.

"Ini dari mana, Yan, kok bisa jadi gini?" tanyaku kala itu sambil menunjuk bagian yang tidak kupahami.

Kulihat Rian menghembuskan napas lelahnya sambil menggaruk rambut. "Dari sini, kan udah dijelasin tadi. Masa masih nggak paham juga?"

Aku dan Anggun terkikik mendengarnya. Lucu juga, apalagi melihat ekspresi wajah kesalnya yang malah terlihat seperti malu-malu.

"Loh, bukannya dari sini, Yan?" tanyaku lagi. Kali ini, aku memang benar-benar bertanya. Tapi, Rian malah ngambek dan kembali ke mejanya.

"Yah, Yan, kok malah ngambek sih?" ujarku. Setelahnya, aku dan Anggun tertawa cukup keras dan lama melihat ekspresi Rian yang seperti salah tingkah sendiri menghadapi kecerewetanku dalam bertanya.

Hmm... Itu beberapa kisahku saat berada di kelas tiga. Selain belajar untuk UN, aku juga memiliki kegiatan lain yang membuatku merasa senang karena bisa menghabiskan masa-masa SMA ku.

Setidaknya, aku harus tetap bersyukur karena masih bisa lanjut sekolah, walaupun ada saja yang membuatku kesal.

***

LAPUNASHA (COMPLETED)✔Where stories live. Discover now