04 :: TEMAN BARU

2 1 0
                                    

Semester pertama di tahun kedua. Aku berpisah dengan mereka bertiga. Nafa dan Putri berada di IPA 2,Shafa di IPA 3, sedangkan aku di IPA 4. Dan aku kembali merasa sendirian seperti saat pertama kali menjadi murid baru di sini. Aku harus memulai semuanya dari awal. Mencari teman yang cocok denganku, menyesuaikan diri, dan memahami karakteristik tiap orang di sini.

Huh, memikirkannya saja sudah membuatku menghela napas. Sebenarnya, aku tidak benar-benar sendirian di sini. Ada beberapa temanku yang sama di kelas sebelumnya, tapi kami tidak terlalu dekat. Hanya sebatas kenal saja, dan dipanggil saat butuh.

Memasuki kelas untuk kali pertama membuatku canggung. Suasana kelas yang baru dan beberapa wajah baru mulai menyapaku. Aku bingung, mau duduk di mana?

Sampai sebuah tangan melambai padaku dengan senyum merekah di bibirnya. Dengan senang hati, aku menghampirinya. Walau kami tidak begitu dekat, tapi sepertinya dia cukup baik dan polos. Sepertinya, aku akan cocok dengannya.

Ah iya, aku baru ingat kalau nomor absennya satu tingkat di atasku, sehingga kami terkadang duduk bersebelahan. Hal itulah yang membuatku merasa sedikit nyaman dengannya dibanding dengan teman kelasku yang lain.

"Duduk bareng gue aja," ajaknya sambil menepuk kursi kosong di sebelahnya.

Aku mengangguk senang dan menaruh tasku di sana. Kami duduk di deretan kursi pojok nomor dua dekat pintu. Itu berarti, tempatku duduk saat ini juga dekat jendela, walau bukan aku yang berada tepat di sampingnya.

Tapi, karena kelasku saat ini berada di lantai dua dan di gedung depan, jadi aku tidak bisa lagi melihat aktivitas siswa lain di lapangan—khususnya dia.

Yah sudahlah, apa mau dikata. Masa aku mau protes? Sudah pasti aku akan kalah bahkan sebelum memulai protes.

Beberapa menit kemudian, bangku di depanku terisi oleh dua perempuan yang badannya cukup subur alias gemuk. Sambil menunggu wali kelas datang, kami berempat pun mengobrol. Entah mengapa aku merasa cukup nyaman dengan mereka. Seperti tidak ada beban di punggungku.

Padahal, ini kali pertama aku ngobrol dengan mereka berdua.

"Untung absen kita deketan, jadi sekelas lagi deh," ujar Juwita—teman sebangkuku. Dia perempuan yang cukup ceria, seperti Nafa. Itu kesan pertama saat aku melihat dan ngobrol beberapa menit dengannya.

Sedangkan untuk dua perempuan yang duduk di depanku, aku rasa mereka memiliki kemampuan bersosialisasi yang tinggi, karena mereka mudah sekali menemukan topik dan membuat kami seperti sudah lama kenal. Namun, aku hanya merasa sangat nyaman dengan salah satu dari mereka, yaitu Anggun.

Desas desus yang aku dengar saat masih kelas satu, Anggun ini anak yang pintar, namun pelit jika menyangkut jawaban, entah itu ulangan atau tugas.

Awalnya, aku sempat tidak menyukai sifatnya yang seperti itu. Namun, beberapa hari setelah kami kenal dan makin dekat, aku jadi tahu kalau dia menyukai kejujuran. Aku pun sebenarnya setuju dengan sikapnya yang seperti itu. Lagipula, hanya orang-orang bodoh yang mau memberika jawaban yang sudah dipikirkan dengan matang selama berhari-hari. Tapi, kalau jawabannya tinggal copy paste di google atau jawaban orang lain sih beda persoalan lagi.

Intinya, selama aku di kelas dua, aku menjadi sangat dekat dengan Anggun. Bahkan, tidak sampai satu bulan kami menjadi teman sebangku. Karena Juwita diminta Adel untuk duduk dengannya, yang saat itu tengah mengalami suasana yang kurang enak dengan teman-temannya.

Adel ini juga satu grup dengan Amita, teman sebangku Anggun sebelumnya. Karena kesalahpahaman yang terjadi di lingkup pertemanannya, ia jadi dekat dengan Juwita, dan otomatis dekat denganku juga Anggun. Adel pun anaknya cukup asik. Padahal, kukira awalnya dia anak yang sombong karena teman dekatnya rata-rata sombong. Tapi, ternyata tidak. Dan aku cukup menyukainya.

Jadilah kami berempat dekat di semester pertama tahun kedua ini.

***

Meskipun kini aku selalu kemana-mana dengan Anggun—kadang juga dengan Juwita dan Adel, bukan berarti aku melupakan ketiga temanku. Terkadang, kami bertemu di kantin dan makan satu meja.

Karena sifat Anggun yang mudah bergaul, dalam waktu beberapa menit saja mereka sudah akrab, dan aku merasa senang. Begitupun dengan Juwita dan Adel.

Waktu terus berjalan, hingga semester dua telah kulalui. Selama itu pula, aku mulai berani menceritakan masalah pribadiku kepada Anggun-khususnya dia. Dia pun juga sama. Malah dia yang kali pertama menceritakan laki-laki yang ia suka, baru setelah itu aku mulai berani mengungkapkan kepada siapa aku menaruh hati.

Tanggapannya cukup sama dengan ketiga temanku. Kadang, kalau dia lewat, Anggun akan menyenggol lenganku atau mengedipkan matanya, seakan memberi kode. Padahal, sebelum dia tahu aku pun sudah tahu.

Walaupun begitu, tetap saja aku merasa malu tiap kali Anggun melakukan hal itu. Namun, di sisi lain aku merasa senang, karena menurutku Anggun peduli padaku jika ia melakukan hal kecil semacam padaku.

***

LAPUNASHA (COMPLETED)✔Where stories live. Discover now