Tiga

119K 7.9K 76
                                    

Tahu rasanya jadi bahan ghibah seantero mahasiswi di kelas yang jumlah nya nyaris seratus orang? Kalau belum tahu, beruntunglah kalian, wahai para anak Adam dan Hawa!

Aku sekarang tak ubah nya seperti pencuri yang tertangkap basah sedang mengutil sesuatu. Sialnya lagi, karena aku telat datang ke kelas, aku tidak bisa memilih kursi, yang mana berakhir menjadi kesialanku karena kebagian duduk di urutan paling depan, memudahkan para ghibahers untuk mencemooh dan menatapku dengan leluasa.

Sepanjang Pak Agus mengocehkan senandung cinta materi perkuliahan nya, aku hanya bisa menunduk. Malu banget, asli!

Pak Agus yang biasa nya menatap orang seakan ingin mencakar, bahkan mengejutkan aku karena menatap dengan raut ramah nya ketika aku jelas-jelas terlambat di kelas nya.

Bad day ever! Hingga kelas berakhir pun, lambe para ghibahers terus saja mendengungkan namaku. Andrea yang inilah, Andrea yang itulah. Huh sebal!

Beruntung hari ini hanya ada satu mata kuliah saja. Setidaknya, aku bisa terbebas dari tatapan sebal dan sinis para mahasiswi yang merasa terluka karena kekasih bersama mereka direbut oleh upik abu macam diriku.

"Kakak pulang Bu." aku lemas sekali. Aku bahkan sudah berpose layak nya korban tabrak lari di lantai ruang tamu rumahku. Dinginnya lantai setidak nya menyamankan panas nya otak, tubuh dan juga hatiku.

"Kak, kamu ngapain tiduran di situ?" Ibu sepertinya heran melihat fosilku yang teronggok naas di lantai ruang tamu.

Aku menatap Ibu dengan wajah yang kuyakini sangat jelek karena cemberut. "Bu, boleh nggak kalo Kakak pindah kampus aja?"

Aku meringis ketika spatula kayu yang disiapkan oleh Ibu untuk menguleni adonan kue pukis berlabuh cantik di kepalaku.

"Ngawur aja kalo ngomong! Ibu sama Ayah itu bukan keluarga sultan, nak. Kamu inget nggak gimana susah nya kamu mau duduk di kursi kampus mu? Kamu kerja bertahun-tahun, Ibu masak katering gila-gilaan, dan Ayah yang nabung sekian lama demi kamu."

Aku tahu Ibu tidak bermaksud untuk menyindirku akan bagaimana jatuh bangunnya kami bertiga untuk bisa mengantarku duduk di kursi perguruan tinggi. Ucapan Ibu lebih ke arah untuk menyadarkanku kalau apapun yang sudah kita jalani, jangan pernah setengah-setengah.

"Maafin Kakak, Bu." ucapku pelan. Karena bagaimanapun, ucapan Ibu ada benar nya. Harusnya aku bersyukur bisa masuk ke salah satu perguruan tinggi terbaik di kotaku, di saat tak semua orang bisa merasakan nya. Bukannya malah berlagak seperti anak sultan yang ingin apa langsung bisa terkabul saat itu juga.

"Kalo ada masalah itu di selesaikan, Kak. Bukan malah kabur. Ibu sama Ayah nggak pernah ajarin kamu buat jadi anak yang seperti itu. Umur kamu udah dewasa, bahkan temen-temen kamu aja lebih muda lima tahun dari kamu."

Aku meringis. Memang benar ya, radar Ibu-Ibu itu peka nya luar biasa. "Ish, Kakak nggak ada masalah kok! Siapa juga yang mau kabur?"

Aku menerima besek berisi telur yang Ibu sodorkan untuk kupecahkan sebagai salah satu bahan baku pembuatan kue pukis. Selain makanan berat, katering milik Ibu juga melayani pesanan jajan pasar yang biasa nya rutin di pesan oleh salah satu tempat ibadah tiap minggu nya.

"Kakak pikir Kakak lagi bohongin siapa sih, nak? Ini Ibu, lho. Perempuan desa yang mengandung dan melahirkan kamu."

Telur yang kupecahkan nyaris menggelinding karena lagi-lagi radar Ibu sangat tepat sasaran!

Aku menyengir. "Ibu susah banget sih diakalin dikit?"

"Dosa kamu kalo coba-coba bohongin Ibu. Ipk mu nanti nggak nyampe tiga, baru deh kamu nangis-nangis."

Astaga, itu beneran Ibuku, kan? Nyonya Ester Sutedja? Istrinya bapak Andreas Sutedja?

"Ya ampun Buuuu, doa nya jelek banget ih sama anak sendiri." sungutku miris.

Ibu justru tertawa lepas melihat bibirku yang mencebik karena ucapan maha dahsyat nya barusan.

"Bercanda, Kak. Nggak mungkin lah Ibu doain anak sendiri jelek. Biaya kuliah kamu mahal. Kalo ipk mu sampe di bawah tiga, Ibu gorok lehermu."

Aku nyengir saja. Aku yakin kok kalau ipk ku pasti bagus. Cuma ya itu, tergantung satu dosen pengampu mata kuliah Biostatistika. Si Arjuna Wiwaha. Bisa saja kan, dia menyoretkan nilai C di atas kertas ipk ku?

"Ck, Kakak yakin ipk Kakak pasti bagus. Kakak kan pinter, Bu." belaku tak terima.

Alih-alih mengaminkan, aku justru kaget saat melihat ekspresi Ibu yang seolah sangsi akan ucapanku.

"Yakin, Kak? Terus, gimana bisa Ibu denger dari Arjuna kalo kamu sering absen di kelas nya?"

Aku melotot kaget.

Tuhan, apalagi ini! Dasar Arjuna kampret!!!

🍁🍁🍁🍁

Pokok nya selama ada ide, aku pasti up. Nggak peduli apapun cerita nya. Bisa aja tdol, ssc, atau epiphany, bahkan mdk😂 pengertiannya ya dear😘
Btw, selamat hari kartini buat seluruh perempuan tangguh di Indonesia🎉🎉🎉

21 April 2020

Epiphany Where stories live. Discover now