Sembilan

82.6K 6.8K 86
                                    

Aku sedikit berontak ketika Arjuna berusaha menarik tanganku untuk menghampiri perempuan anggun yang ia panggil Mama itu. Aku bahkan nggak berani menatap wanita anggun itu lagi. Pikiranku sudah dipenuhi oleh adegan-adegan drama, di mana nanti Mama Arjuna akan menatap sinis padaku dan juga berakhir dengan caci maki pedas, khas Ibu-Ibu kalangan sosialita.

Hanya menatap lantai marmer inilah yang berani kulakukan. Mengabaikan ketika Arjuna melepas tautan tubuh kami untuk memeluk dan mengecup sayang sosok Mama nya.

"Akhirnya inget jalan pulang juga kamu, Jun."

Biasanya, semua tawa yang keluar dari bibir Arjuna, selalu berhasil membuatku takjub. Tapi sepertinya, hari ini pengecualian. Mungkin karena situasi dan kondisi yang tidak mengenakkan buatku.

"Juna baru sempat, Ma. Itu juga kalo nggak Mama paksa, Juna nggak bisa mampir. Masih harus siapin materi buat anak-anak."

Aku mencibir dalam hati. Kesal sih tepatnya. Itu artinya, Arjuna membawaku kemari hanya karena paksaan Mama nya saja, kan? Berbanding terbalik dengan ucapannya di mobil tadi.

"Hai, siapa gadis cantik ini?"

Jantungku seketika kembali kebat kebit tak keruan. Aku dengan segenap keberanian akhirnya mengangkat pandangan dan langsung bersirobok dengan mata Mama Arjuna yang tersenyum padaku. Sangat ramah.

Kulihat Arjuna tersenyum dan kembali mendekat padaku. Atau lebih tepatnya, memeluk pinggangku dengan sangat posesif, kalau boleh kutambahkan.

"Ma, ini Andrea. Dan Andrea, ini Mama."

Aku mengulurkan tangan ke arah Mama Arjuna. Dan responnya sungguh di luar dugaan. Beliau justru memelukku erat dengan menggoyangkan tubuh kami berdua ke kanan dan ke kiri. Mirip teletubbies nggak sih?

"Oh my sweety Andrea. Finally kamu datang juga, baby." sambut Mama Arjuna antusias. Hal ini sedikit banyak mempengaruhi moodku. Bisakah kusimpulkan kalau aku...diterima dengan layak dan baik oleh keluarga borjuis ini?

"Ha-Halo Tante." sapaku canggung yang justru mendapat gelengan tak suka dari Mama Arjuna.

"Panggil Mama dong, jangan Tante. Kan sebentar lagi, Mama juga jadi Mama kamu. Iya kan, Jun?" Mama Arjuna menoleh pada Arjuna dan mendapat anggukan mantap dari si dosen kaku itu.

"Secepat mungkin, Ma." timpal nya pede.

Aku meringis. Padahal, aku belum setuju sama sekali buat melangkah lebih serius bersama Arjuna. Boro-boro di ajak menikah, pacaran seperti saat ini saja kalau bukan karena paksaan, aku pasti ogah-ogahan.

"Kalo gitu, Andrea ikut Mama yuk. Temenin Mama masak buat makan malem ya?" ini sebenar nya curang. Bagaimana aku bisa menolak kalau cara Mama Arjuna mengajakku begitu lembut dan membujuk? Aku paling lemah menghadapi kelembutan.

Maka dari itu, sekali saja ajakan Mama Arjuna untukku, tanpa bersusah payah, aku langsung mengangguk menyetujui nya.

Kami berjalan beriringan menuju dapur, meninggalkan Arjuna yang entah kemana karena tadi sempat kulihat ia menaiki anak tangga menuju lantai dua.

Dapur rumah ini bahkan sangat besar dan elegan. Besarnya melebihi luas nya seluruh area rumahku. Timpang nya perekonomian rakyat di Indonesia ternyata memang mengerikan. Aku jamin, Ibu pasti akan betah sekali jika memiliki dapur se 'wah' ini. Bisa dua puluh empat jam beliau berkutat di dapur.

"Annie mau makan malam pake apa?"

Aku mengernyit bingung. Ngomong-ngomong, Annie siapa ya?

Mungkin karena melihat kebingunganku, Mama Arjuna malah jadi tertawa dan mengusap lembut pipi berminyakku. Duh, malu banget!

"Kamu keberatan kalo Mama panggil Annie? Kedengarannya menggemaskan. Cocok kalo buat perempuan seperti kamu, sayang."

Aku hanya bisa mengangguk pasrah. Memang nya siapa aku yang berani menolak? Selama tidak memanggilku dengan nama-nama binatang, aku sih oke oke saja.

"Jadi kamu mau makan apa?"

"Andrea nurut aja, tant..Ma." ringisku yang kelepasan memanggil Mama Arjuna dengan sebutan Tante.

"Punya masalah sama seafood?"

Aku langsung melotot ngeri. "Ehm, kalau Mama dan keluarga suka, nggak masalah Ma. Tapi, Andrea nggak bisa makan seafood." ringisku tak enak. Sudah numpang makan, banyak protes pula.

Mama terkesiap lalu meminta maaf, hal yang agak lebay sih menurutku. "Ya ampun maaf ya sayang. Mama nggak tau. Kalau gitu, gimana sama daging? Punya pantangan?"

Aku seketika tersenyum dan menggeleng. "Nggak sama sekali, Ma."

Beliau tersenyum dan segera membuka kulkas yang lebih mirip seperti supermarket mini itu. Dalam hati aku sedikit banyak lega dan juga bersyukur.

Setidak nya, sekurang mampu apapun aku, masih ada orang-orang yang mau dan sudi memandang serta menerimaku. Seperti Arjuna dan keluarga nya.

🍁🍁🍁🍁

Banyak banget ya penulis hebat yang menentukan target vote buat unlock next part nya😓 pengen sih ikutan kaya gitu. Tapi aku nggak se pro mereka. Ada yang mau vote aja bersyukur banget😂

10 Mei 2020

Epiphany Where stories live. Discover now