Dua Puluh Empat

72.7K 6.4K 550
                                    

Yeayyy aku double up khusus untuk edisi ulang tahun🎉🎉🎉 adakah yang excited??? Jangan lupa vote dan komen ya biar aku makin semangat buat sering² double up😘😘😘

08 Juli 2020


Otakku rasanya ingin pecah ketika Arjuna memaparkan kenyataan yang sesungguhnya tentang kejadian tempo hari.

Sedikit tidak masuk akal sebenarnya bagiku. Ayolah, memang apa hubungannya Bethari yang membenciku dengan Arjuna yang tidak mengakui siapa diriku di hadapan Winna? Tidak ada korelasinya sama sekali.

Jika dalam kasus Bethari yang membenciku, tentu seharusnya sekalian saja Arjuna tidak pernah mengenalkanku pada keluarganya. Dan itu justru lebih masuk akal bagiku ketimbang alasannya tidak mengakuiku di hadapan Winna.

Aku dan Winna bahkan tidak saling kenal satu sama lain. Dan kalaupun Arjuna mengakuiku lalu Winna mengadu pada Bethari, so what? Bukankah perempuan itu sendiri yang memilih mencampakkan Arjuna di masa lalu? Sedikitpun aku tak akan gentar seandainya saja suatu saat Winna melabrakku.

Tapi alasannya kali ini sungguh membuatku mengganjal. Kenapa Arjuna sangat takut mengakuiku hanya karena Bethari yang lebih menyukai Winna ketimbang diriku?

Memikirkan itu semua membuatku kelaparan luar biasa. Hari ini jadwal kuliahku full sampai jam lima sore. Dan perutku baru kuberi asupan segelas susu dan juga nasi kuning pada sarapan, sedangkan saat ini jam sudah menunjukkan pukul dua lewat lima belas. Masih ada waktu empat puluh lima menit lagi menuju kelas selanjutnya, dan itu kesempatan bagus bagiku untuk menyuplai ulang sumber tenaga.

Aku melangkah lelah menuju kantin prodi. Terlampau malas melangkahkan kaki menuju angkringan Mbak Sundari yang terkenal akan kelezatan nasi kucing lauk tumis jeroannya.

Memilih tempat duduk di paling ujung, aku memesan semangkuk bakwan malang dan juga segelas kopi susu dingin untuk mengisi lambungku yang sudah meronta.

Aku makan dengan tenang, ketika suasana kantin yang semula riuh akan celotehan mahasiswa, berubah menjadi hening bak pemakaman.

Awalnya aku acuh, namun ketika sadar ada seseorang yang menarik kursi tepat dihadapanku, mau tak mau aku tersentak kaget. Dan lebih parah lagi ketika aku melihat siapa sosok yang duduk di depanku.

Arjuna.

Dosen menyebalkan yang sayangnya perlahan mulai kucintai ini dengan santai nya duduk di hadapanku, sambil membawa kotak makan siang nya dengan penampilan hot, kemeja navy yang bagian lengannya sudah ia gulung hingga ke bagian siku. Dan jangan lupakan messy hair nya yang unch-unch.

Aku kesal bukan main. Padahal jelas-jelas masih amat sangat banyak kursi menganggur di kantin ini, tapi kenapa dia justru memilih duduk dihadapanku? Tidak tahukah ia kalau tindakannya itu memancing seluruh atensi mahasiswa yang ada di kantin ini?

"Kenapa duduk di sini? Saya lihat masih banyak meja kosong di kantin seluas ini." aku memilih menekuri makananku dengan menyeruput nikmat kuah bakwan malang pesananku. Ternyata, bakwan malang di sini rasa nya juara!

Kudengar helaan napas Arjuna yang terdengar berat. "Apa kamu masih marah sama Mas?"

Aku meneguk es kopi susu yang es nya sudah mulai mencair dengan nikmat. Tak menghiraukan tatapan sedih Arjuna yang baru pertama kali ini kulihat. Hmm, lumayan menggemaskan juga. Pesona nya memang sulit ditolak walau hatiku masih tak terima dengan perlakuannya tempo hari.

"Kenapa harus marah? Saya kan memang mahasiswi nya Pak Arjuna, kan?" jawabku sok cuek. Padahal dalam hati, aku sudah deg-degan bukan main.

Mata Arjuna menatapku semakin sendu. Ia terlihat seperti anak ayam yang terpisah dari induknya. Bingung sekaligus terlihat sedih secara bersamaan.

"Kamu bahkan nggak mau panggil 'Mas' lagi. Mas sedih, sayang." lirihnya yang sebenarnya juga melukai hatiku. Tapi mau bagaimana lagi? Keputusannya tempo hari yang sangat tidak masuk akal sungguh membuatku terhina.

Aku resmi meletakkan sendok dan garpu yang ada di dalam mangkuk berisi bakwan malangku demi menatap Arjuna yang mata nya nampak memerah dan juga berkantung. Sudah berapa malam dia tidak istirahat dengan baik?

"Pak, saya mohon dengan sangat, tolong hargai saya selaku mahasiswi di kampus ini. Perbuatan bapak ini memang sepele, namun kalau ada mahasiswa lain yang melihat dan melapor ke dewan etik kampus, saya bisa dipermasalahkan." tegasku mengingatkan tindakan impulsif Arjuna yang memancing atensi seluruh mahasiswa/i yang tengah berada di kantin.

Arjuna mengacak rambutnya frustasi. "Mas kacau, sayang. Mas tau kalo ucapan Mas itu sama sekali nggak benar. Tapi apa kamu bisa memandang hal itu dan perspektif nya Mas? Mas cuma nggak mau ke depannya, ketenangan kamu bakal terusik sama Winna, atau bahkan Bethari. Mas takut kalo kamu akan meninggalkan Mas." racau nya tak karuan.

Aku menghela napas dan memilih mencangklong tasku sambil menatap Arjuna yang sejak tadi bahkan belum menyentuh bekal makan siang nya. "Kalo gitu, coba di balik keadaannya. Coba Mas lihat kejadian kemarin lewat perspektifku. Kira-kira, apa Mas bakal terima kalo seandainya aku sebutin Mas di depan mantan pacar tersayangku sebagai seorang dosen setelah sebelumnya aku bilang cinta sama Mas?" aku tersenyum sinis kala melihat rahang Arjuna yang mengeras. Kucondongkan sedikit tubuhku sambil berbisik.

"Berkaca dulu sebelum Mas meracau hal yang nggak jelas tentang apa makna perspektif yang sesungguhnya. Jangan pernah mencubit kalo Mas nggak mau dicubit."

🍁🍁🍁🍁

Epiphany Where stories live. Discover now