Pertimbangan Keputusan

10.8K 976 17
                                    

8


POV Kaisar.

Umur ku baru 16 tahun saat tugas memimpin sebuah negara dibebankan padaku. Aku dilantik tepat tiga hari setelah ayahanda kaisar wafat. Tidak ada waktu untuk menangis dan bersedih berlama-lama.

Sejak kecil aku telah menerima berbagai macam pelajaran, seni perang, seni pedang, strategi perang, seni lukis, seni sastra, semua harus dipelajari dengan sempurna karena status ku saat itu adalah pangeran mahkota. Aku tahu suatu saat nanti aku pasti akan menggantikan peran ayahanda sebagai seorang kaisar. Satu hal yang tidak sesuai dengan prediksi ku adalah waktu itu tiba lebih cepat dari yang kubayangkan.

Ambisi kotor Jenderal Liang untuk menggulingkan kekuasaan ayahanda menjadi titik penting dalam hidupku. Aku hanya bisa menyaksikan pertempuran di istana tanpa bisa membantu. Perintah ayahanda untuk menyelamatkan putra mahkota dan permaisuri serta selir dan anak-anaknya yang lain dipatuhi dengan baik oleh prajurit yang setia pada ayahanda.

Aku hanya bisa lari, menyelamatkan secuil nyawa yang ku punya, meninggalkan ayahanda berjuang sendirian di istana dengan beberapa prajurit. Untungnya Jenderal Li Hao yang saat itu bertugas di perbatasan menerima surat penting dari istana dan segera berangkat dari perbatasan untuk menyelamatkan kota dan kaisarnya.

Namun, Tian berkehendak lain. Pengkhianat memang berhasil ditumpas. Kota berhasil direbut, istana kembali diduduki, akan tetapi nyawa ayahanda tidak berhasil diselamatkan. Beliau bertaruh nyawa sampai titik darah penghabisan. Meninggalkan segulung surat wasiat bahwa pengangkatan putra mahkota harus dilaksanakan tiga hari setelah kepergiannya agar tidak terjadi kekosongan tahta.

Pelantikan ku sebagai kaisar yang baru menuai pro dan kontra. Banyak pejabat yang menyangsikan kemampuan ku mengurus negara. Di sinilah peran penting ibunda permaisuri dimulai. Di sisi lain ibunda masih menangisi mendiang ayahanda, tapi di sisi lain beliau harus berpura-pura tegas dan tegar agar bisa membantu ku mengurus kerajaan.

Ayahanda hanya mempunyai seorang pangeran penerus tahta dari permaisuri dan itu aku. Dan 4 putri dari 2 selir berbeda.

Sembilan tahun yang penuh perjuangan mengembalikan kerajaan ke kondisi normal tidak mudah ku lalui. Menumpas pemberontakan yang muncul silih berganti. Mengadakan kerjasama dengan kerajaan lain untuk menstabilkan pemerintahan membuatku semakin lupa dengan segala kelembutan dan keceriaan masa muda.

Dalam hatiku hanya ada keinginan untuk melihat kerajaan ku menjadi kerajaan yang damai, makmur, tenteram, dan sejahtera. Ku perintah kerajaan dengan tegas, kujalankan hukum dan peraturan dengan disiplin.

Kuhukum orang-orang yang menyalahi peraturan dan ku basmi hingga ke akar-akarnya menjadikan ku terkenal sebagai kaisar yang dingin dan kejam di mata musuh.
Keberhasilan ku memimpin kerajaan menjadikan kerajaan Wu menjadi salah satu yang terkuat di 5 negara besar.

Kini tahun ke-sepuluh pemerintahanku, para pejabat - pejabat itu sudah mulai merongrong ku untuk memiliki pendamping sebagai cara meneruskan garis keturunan. Ibu Suri pun mulai memilihkan kandidat yang menurutnya mampu untuk mengimbangi ku.

Bagiku itu semua tak penting. Pernikahan perlu dilakukan untuk meneruskan garis keturunan. Tak kupedulikan siapa yang akan menjadi permaisuri ku. Bagiku asal aku mempunyai ribuan prajurit yang setia padaku, apapun bisa kudapatkan bahkan sebuah negara.

______________________________________________________________________________

"Yang mulia,"panggil Kasim Kang. Tak ada jawaban dari sang kaisar.

"Yang mulia."

Masih hening. Kasim Kang melihat kaisarnya tengah serius berpikir, atau katakanlah melamun. Hal yang seharusnya tidak dilakukan oleh seorang kaisar.

My Empress from the Future (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang