Fromob 1

91 23 42
                                    

Pulang.

Satu kata yang sangat dinantikan oleh hampir semua orang. Melepas penat dan bersenda gurau dengan keluarga. Menikmati malam yang penuh dengan tawa bahagia. Hal itu juga diharapkan oleh Bia. Jika sudah berharap jangan lupa siapkan diri untuk merasakan kecewa juga.

Saat sampai di rumah seharusnya sapaan senang dari kedua orang tua adalah hal pertama yang diterima. Paling tidak ada sebuah sapaan yang terucap. Namun, apa yang dia lihat kali ini?

"MANA UANG HARI INI?"

"Aku gak ada uang, Mas. Hari ini daganganku sepi. Hiks"

"ALAH ALESAN AJA KAN KAMU!"

"Beneran, Mas. Hiks hiks."

"UDAH GAK USAH NANGIS. INI HUKUMAN BUAT KAMU!"

Pria itu bersiap melayangkan tamparannya.

PLAK

"BIA...!"

"APA YANG KAU LAKUKAN BOCAH!"

"Sebelum Anda melepaskan tamparan Anda ke mama saya sebaiknya Anda harus merasakannya terlebih dahulu," ucap Bia tanpa rasa takut.

"INI BUKAN URUSANMU GADIS PEMBANGKANG!"

Pria itu bersiap melepaskan tamparannya lagi. Sementara ibunya, terduduk menangis sesegukan.

PLAAK

Kali ini tamparan itu mendarat di pipi Bia.

"Uhuuk..."

Bia terbatuk dan mengusap cairan merah yang mengalir dari hidungnya.

"Ciih pengecut, beraninya main tangan sama perempuan. Kalo dalam hitungan 3 detik Anda tidak keluar ini saya tidak segan untuk melaporkan Anda pada polisi atas tuduhan tindak kekerasan kepada anak di bawah umur."

Wajah pria itu memerah menahan amarah. Dia tak mau berurusan dengan polisi. Memang pecundang bukan?

Sekarang hanya ada dia dan ibunya yang masih sesegukan mencoba untuk berhenti menangis.

"Ma, please jangan nangis," lirihnya sambil mengusap air mata mamanya yang masih mengalir.

"Tapi hidung kamu berdarah nak."

"Gak papa kok, Ma. Mama gak dijahatin sama orang tadi, kan? Mama gak diapa-apain, kan?"

"Gak kok,Mama gak papa. Ayo ke dapur, Mama obatin lukamu itu."

"Iya, Ma. Mama jangan nangis lagi dong."

Mamanya hanya mengangguk sambil menahan isak tangis yang tersisa agar tak keluar.

Sudah sering Bia melihat mamanya dibentak, diancam, dan terkadang merasakan kekerasan dari pria tadi. Pria gila. Sebenarnya pria tadi adalah ayah tirinya. Sebelumnya dia merupakan sosok ayah tiri yang baik. Hanya saja dia berubah saat kehilangan semua hartanya. Itu karena ulahnya sendiri, dia hanya karyawan biasa di perusahaan swasta. Tapi saat mengalami kenaikan pangkat dia mulai bermalas-malasan.

Awalnya, dia senang atas kenaikan pangkatnya, tetapi lama kelamaan dia mulai capek dan kewalahan menjalani pekerjaannya, serta bosan dengan pekerjaannya. Dia ingin mendapatkan banyak uang tanpa harus capek bekerja. Akhirnya dia memilih bermain judi. Saat judi dia jarang sekali menang dan kehilangan banyak tabungan yang selama ini dia kumpulkan untuk pensiun dihari tua. Akibat ketidak beruntungannya bermain judi, dia kehilangan semua hartanya. Sejak saat itu dia mulai melakukan kekerasan pada mamanya.

Entah kenapa mamanya tidak memilih untuk berpisah saja dengan pria itu. Setiap Bia bertanya, mamanya selalu menjawab kalau dia masih cinta. Cinta macam apa ini? Cinta seharusnya saling mengkasihi bukan? Saling menjaga, hidup bersama dalam suka maupun duka tanpa adanya kekerasan.

Bia mungkin membenci hidupnya tapi sampai kapan pun dia tak akan bisa membenci mamanya. Apapun keputusan yang telah dipilih ibunya mau tak mau dia harus terima.

Hari sudah malam, tapi kedua wanita di rumah itu belum juga tidur. Mereka sedang sibuk memasak di dapur. Membuat kue untuk dijual besok. Sejak ayah tirinya bangkrut, Bia dan mamanya berusaha sekuat tenaga untuk bertahan hidup. Mamanya sibuk berdagang dan kadang menjadi buruh cuci setrika untuk orang-orang kaya. Bia sendiri berkerja paruh waktu di cafe. Dan jika akhir pekan dia menjadi penjaga stand ikan di suatu swalayan. Di sekolah pun tanpa malu dia berjualan kue pada guru dan teman-temannya.

Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Bia baru bisa membaringkan tubuh di kasur sederhananya. Masih menatap langit-langit kamarnya. Raganya di sini tapi pikirannya melayang kemana-mana. Otaknya memutar kembali memori saat dia kecil. Hidup bahagia dengan keluarga kecilnya.

"Kenapa papa pergi duluan sih?"

Tanpa Bia sadari, air mata telah menggenang di pelupuk matanya dan siap untuk terjun kapan saja.

"Andai papa gak pergi ke luar kota waktu itu, pasti hidup Bia gak begini, Pa. Hiks. Orang kaya itu memang jahat. Mereka dengan mudahnya menelantarkan papa. Hiks."

Bia kembali mengeluh pada langit-langit kamarnya. Dia menangis lagi dalam sunyinya malam. Hanya malam sepi yang menemani, kala dia bersedih seorang diri. Biarlah dia tertidur karena lelah ini. Setidaknya dia harus siap untuk menerima kesedihan di esok hari.

***
Sementara itu...

Sudah lewat tengah malam, seorang pemuda mengendap-endap memasuki rumahnya sendiri. Dia takut ketahuan sang Ayah. Dengan perlahan tapi pasti dia melangkah masuk rumah lewat dapur. Baru sampai di meja makan dia terkejut. Semua lampu mendadak menyala. Tampak seorang pria paruh baya sambil merangkul seorang wanita muda. Ah...dia ketahuan.

"NGAPAIN AJA KAMU TIKUS KECIL! KENAPA BARU PULANG SEKARANG HAAH!"

Sebenarnya remaja itu tak ingin ribut malam-malam, oops ini sudah pagi ya pagi buta. Rasa takutnya tadi lenyap saat melihat pria yang dia sebut ayahnya itu merangkul wanita muda lagi. Hal itu memang bukan yang pertama kali. Bahkan ibunya masih hidup dan dengan mudahnya ayahnya membawa wanita lain masuk rumah.

"Apa pedulimu? Memangnya aku ini masih kau anggap anak hah, Pak tua?"

"JAGA MULUTMU, BEGINI IBUMU MENGAJARKAN SOPAN SANTUN HAH!"

"APA !TAK USAH BAWA - BAWA IBUKU BAHKAN DIA TIDAK JAUH BEDA DENGANMU PAK TUA!!!"

"APA KATAMU!"

"SUDAHLAH LUPAKAN SAJA! AKU BERSUMPAH TAK AKAN MENGINJAKKAN KAKIKU DI RUMAH INI LAGI, PAK TUA. CAMKAN ITU!"

"PERGI SANA PERGI YANG JAUH KE NERAKA SAJA SEKALIAN ANAK KURANG AJAR!"

Remaja itu segera keluar kembali. Niatnya tadi untuk mengambil barangnya pun sudah hilang. Dia melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Deru motornya memecah kesunyian malam itu. Dia berhenti di sebuah pohon besar. Memakirkan motor itu, dan segera meraih hang mugnya. Dia tak khawatir akan hujan turun. Malam ini tak ada tanda-tanda hujan akan berkunjung, malam indah bertabur bintang-bintang. Pemandangan yang sangat indah tak seperti kehidupannya.

Sampai sekarang dia masih mencari apa tujuannya hidup. Jika dilihat dunia luar hidupnya bisa dikatakan sempurna, tapi nyatanya tak seperti itu. Dia bahkan tak pernah merasakan apa itu bahagia sejak kakaknya meninggal. Satu-satunya orang yang mengerti dia, orang yang membuatnya bahagia.

Malam itu dia tertidur beratapkan bintang-bintang menyiapkan diri apa pun yang terjadi. Bagaimana pun dia harus tetap menipu dunia bahwa dia baik baik saja di luar sana. Bukankah itu yang ditampakkan oleh semua orang. Bersikap seolah semua baik-baik saja. Biarlah tetap seperti ini, dia yakin semuanya pasti berlalu. Tinggal tunggu waktu habisnya semua penderitaan ini.

Apa dia harus mati? Mati? Satu kata yang sering terdengar di telinganya saat dia sendiri. Dia terlelap dalam sunyi agar bisa menjalani harinya esok hari jika dia belum mati.

Frobly-MoblyWhere stories live. Discover now